Mohon tunggu...
Julio Nangkoda
Julio Nangkoda Mohon Tunggu... -

Mahasiswa tahap akhir, cinta travelling, Buku, Design dan Olahraga (Sepak Bola)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta dan Payung di Kala Hujan

7 Februari 2012   11:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:57 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Dalam pesona derasnya hujan aku berjalan mengumpulkan serpihan rupiah, seribu rupiah. Kalian tidak tahu bagaimana prahara kehidupan ku, bagaimana aku berjuang bertahan dalam hidup ku yang rapuh. Bila kebanyakan orang mengidam-idamkan cuaca yang cerah bagi ku itu sulit, hujan lah yang membawa rupiah walau hanya rupiah-rupiah receh. Bila cuaca cerah aku harus bersiap memutar fikiran mencari kerja menjadi kuli atau tukang parkir. Tidak jarang prahara hidup ku lebih berat dari apa yang kalian bayangkan. Aku didepak karena dianggap mengambil lahan kerja orang lain, tidak jarang mata ku biru lebam membengkak penuh darah. Lalu hal apa yang akan mempesona kalian di tulisan ini, tidak ada kawan!!!

Aku adalah mahasiswa berpendidikan di sebuah universitas ternama di jakarta. Orang tua ku bisa dibilang pengusaha sukses di jakarta. Dalam garasi rumah ku saja ada hampir 5 mobil mewah terparkir. Dua diantaranya milikku. Sebuah Mini Cooper dan Toyota Fortuner. Mewah. Jangan ditanya lagi. Kawan, kalian tahu siapa orang tersebut, yang pasti bukan diri ku.

Aku ini seperti apa yang kalian lihat.

Malam ini terlihat mendung, aku tahu itu. Aku seperti berteman dengan kegelapan malam. Aku tahu ciri khas malam yang semakin rapuh. Aku persiapkan payung-payung penghasil rupiah ku, semakin bersiap mendapatkan rupiah. Aku tahu akan segera hujan. Memang hujanlah yang aku tunggu-tunggu, hujanlah yang bisa membuat ku mendapatkan rupiah dengan menyenangkan. Dalam persiapan ini, tidak sampai 30 menit kemudian, benar saja hujan turun dengan derasnya. Kali ini aku terlambat, karena hujan sudah turun dan aku masih berada digubuk dalam gang sempit dekat mall besar itu. Aku berlari menembus kelembutan jarum-jarum hujan. Dalam sekejap kaki kecil ku berada tepat di depan pintu utama gedung mall itu. Dalam keheningan jiwa yang sendiri aku mulai mengais rupiah dari payung-payung ku ini, yang tidak bisa dibilang bagus.

Dalam ratusan hanya beberapa puluh saja yang dapat menghasilkan rupiah untuk ku. Awalnya aku tidak pernah ada hubungan atau perasaan yang istimewa dengan wanita. Aku ini bak sampah yang tidak ada seorangpun yang ingin memungutnya. Dalam beberapa hari terakhir aku tersadar bahwa kini hujan telah menunjukkan superiornya, bahwa sekarang telah memasuki musim hujan. Aku tidak pernah mengingat siapa saja yang telah mendapatkan jasa payung rapuh ku ini. Akupun tidak pernah tersadar bahwa ada seorang wanita yang hampir tiap hari, tiap hujan datang menggunakan jasa payung ku ini. Aku tersadar ketika dia melihat ku dengan serius, mungkin iba atau semacamnya. Aku tidak terlalu perdulikan itu, yang aku inginkan hanyalah rupiahnya untuk menyambung hidup. Esokkannya wanita itu menggunakan jasa payung ku lagi, lalu esokkan harinya, kemudian sama hingga hujan turun ditiap malam dalam kurun waktu satu minggu berturut-turut. Hingga malam ini, malam di hari kamis ini. Aku kembali mengantarnya ke shelter bis yang tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat, selalu seperti itu. Dalam langkah rapuh ku yang selalu tepat berada satu langkah dibelakang pelanggan ku, dia menoleh ke arah ku untuk ke sekian kalinya, dan untuk kesekian kalinya aku menunduk. Lalu dia menghentikan langkahnya. Aku berhenti tepat satu langkah di belakangnya. Kami diam, ada keheningan diantara kami. Dalam detik yang cukup lama aku melihat punggungnya yang menawan, lalu dia berputar membalikkan badannya. Ku lihat paras menawan seorang wanita yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Aku tidak tahu dia akan berbicara atau mempertanyakan kelayakan payung yang dia pakain.

"Bisa temanin aku ngobrol sambil makan?"

Aku telalu bodoh untuk mengartikan perkataan tersebut. Bagaimana bisa seorang wanita cantik ingin mengajak seorang tukang payung kala hujan untuk ngobrol dan makan bersama. Bagi ku ini tidak masuk akal. Namun tanpa ku sadari aku telah berada tepat didepan wanita yang tidak dapat ku jelaskan kecantikannya. Kalian harus melihatnya langsung, kawan. Akhh!! Mungkin aku akan mendapatkan masalah dengan ini. Dia melihat ku seakan ingin mengatakan sesuatu, aku tidak dapat menatapnya lebih lama, aku hanya menunduk.

"Sudah berapa lama kerja beginian?"

Aku tidak tahu harus berkata apa, rahang mulut ku gemeretak tidak karuan. Dalam semua itu aku mulai mengerti bahwa secara kebetulan dia selalu menggunakan jasa payung ku. Seperti sudah terbiasa dan merasa nyaman hingga akhirnya kami duduk disini dan saling terhanyut dalam pembicaraan dibalik reduh redam hujan malam itu. Kami habiskan malam disana. Malam berikutnya sama, lalu berikutnya lagi tidak ada bedanya, seperti tidak bosan-bosannya kami mengulang itu semua. Namun semua sama tidak ada hubungan yang berubah diantara kami. Kenapa??

Dalam semua ini aku mengerti situasi dan kehidupan ku. Kami bertemu, saling berbincang namun tidak bercinta. Hanya payung dan recehan rupiah yang dapat ku hasilkan dari  prahara kehidupan ku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun