Mohon tunggu...
Julio Ivanez Whandifidya
Julio Ivanez Whandifidya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa psikologi tingkat akhir

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sandwich Generation, Keluarga Normal dan Tekanan yang Dihadapi Keduanya

15 Januari 2024   13:10 Diperbarui: 15 Januari 2024   13:22 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sandwich Generation adalah generasi paruh baya yang melakukan pengasuhan baik secara fisik dan finansial terhadap anak-anaknya sekaligus kepada orang tuanya, dimana keduanya, baik orang tua maupun anaknya sama-sama tak berdaya dan membutuhkan dukungan. Kondisi tersebut diibaratkan seperti sandwich dimana sepotong daging terhimpit oleh dua roti bagian atas dan bawahnya. Roti atas dianalogikan sebagai orang tua, roti bagian bawah diibaratkan anak, sedangkan daging isinya adalah sandwich generation itu sendiri. Suatu fenomena yang dapat memengaruhi siapa saja yang memiliki orang tua dan anak-anak yang membutuhkan dukungan pada saat yang sama. Generasi ini disebut sandwich karena mereka terhimpit sebuah situasi yang membutuhkan pertolongan dan dukungan. Orang-orang yang "terimpit" ini menjadi bertanggung jawab untuk merawat orang tua dan anak-anak mereka pada saat yang sama. Mereka dapat membantu orang yang mereka cintai dengan tugas sehari-hari, memberi pengobatan dan pengawasan, memberi obat-obatan dan membantu dalam kesulitan keuangan, hukum, dan emosional orang-orang yang mereka cintai serta diri mereka sendiri. Sandwich generation bisa dialami oleh individu atau pasangan yang sudah menikah. Berbagai kewajiban yang harus mereka penuhi dapat memberikan kesulitan yang juga dialami oleh keluarga normal, oleh karena itu saya percaya bahwa baik sandwich generation maupun keluarga normal memiliki tekanan serupa dengan tingkat yang berbeda

Jumlah sandwich generation ini tidak terdekteksi dengan baik, tetapi di Indonesia per tahun 2022 memiliki generasi produktif sebanyak 190,98 juta jiwa (69,25%), sedangkan terdapat 84,8 juta jiwa (30,75%) masuk kedalam usia tidak produktif dengan 66,2 juta jiwa (24%) merupakan anak-anak berusia 0-14 tahun dan 18,6 juta jiwa (6,74%) merupakan lansia berusia 65 tahun ke atas. Berdasarkan data demografi tersebut, terdapat 30,75% golongan pada usia tidak produktif yang bergantung pada generasi produktif. Golongan di usia tidak produktif berpotensi untuk menjadi tanggungan bagi generasi produktif yang memasukan mereka kedalam kelompok sandwich generation (BPS, 2022).

Faktor budaya dan keyakinan menjadi hal yang penting khususnya di Indonesia dimana jarang sekali keluarga di Indonesia yang berupaya menitipkan orang tuanya ke panti wreda (panti jompo), sebab merawat orang tua yang sudah lanjut usia merupakan kewajiban dan perilaku terpuji yang diyakini dalam masyarakat. Hal ini membuat sandwich generation harus melakukan perawatan, membantu dalam kegiatan sehari-hari, mengatasi keuangan dan membantu dalam membuat keputusan untuk orang tua mereka (Zaidi & Mutholaah, 2023). Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Statistik Penduduk Lanjut Usia 2023.  Beberapa sumber pembiayaan rumah tangga lansia adalah sebagai berikut: 82,60% ditopang oleh anggota rumah tangga yang bekerja, 11,98% berasal dari kiriman uang atau barang, 5,02% berasal dari dana pensiun, 0,40% dari investasi. Sedangkan dilihat dari tempat tinggal penduduk lansia adalah sebagai berikut: 33,16% dari penduduk lansia ditampung oleh anggota rumah tangga yang separuhnya datang dari kepala rumah tangga, 70,83 % tinggal bersama tiga generasi, seperti misalnya tinggal bersama anak/ menantu dan cucu, atau bersama anak/ menantu dan orang tua/ mertua dalam satu rumah tangga, 22,07% lansia tinggal bersama pasangan, 7,10% lansia tinggal sendirian (BPS, 2023). Sedangkan pada kondisi lain dimana individu/ sepasang suami istri, yang hanya memberikan dukungan dan pengasuhan terhadap anaknya sendiri, tanpa tanggung jawab menjaga dan membiayai orang tuanya, selanjutnya akan kita sebut sebagai generasi normal (Keluarga Normal), sebagaimana disebutkan dalam judul di atas.

The traditional sandwich generation menggambarkan orang paruh baya yang merawat anak-anak dan orang tua yang sudah lanjut usia (Chisholm, 1999 dalam Migliaccio, 2019). Tonggak keuangan untuk generasi ini dapat mencakup perawatan anak dan membayar kuliah bersama dengan perawatan sakit atau intervensi medis untuk orang tua yang menua. Sedangkan Club sandwich generation menggambarkan orang paruh baya yang merawat lebih dari satu generasi di atas atau di bawah, jadi orang dewasa merawat orang tua mereka, anak-anak dewasa mereka, dan cucu-cucu mereka. Atau orang dewasa yang mengasuh anak, orang tua, dan kakek-nenek mereka (Migliaccio, 2019).

Sandwich generation adalah generasi yang terjepit atau yang merasa terjepit oleh kondisi yang ada padanya serta menimbulkan gangguan psikologis seperti stress, yang disebabkan antara lain akibat masalah kesehatan, ketidakmampuan mengatur waktu, kesulitan mengelola diri sendiri, dan masalah finansial (Rari dkk., 2022).

Walaupun dalam tulisan ini kita sebut sebagai keluarga normal bukan berarti tidak memiliki risiko terjadinya stress. Menurut Friedman (dalam Maryam, 2017) dijelaskan bahwa keluarga secara konstan akan terus mengalami perubahan demi perubahan sesuai dengan persepsi dan hidup keluarga. Perubahan ini dipengaruhi oleh stimulus dari dalam internal keluarga maupun dari dalam eksternal keluarga. Melalui internal keluarga munculnya stressor yang melibatkan seluruh anggota keluarga akan membentuk perubahan dari dalam internal nya. Mengubah kebutuhan-kebutuhan perkembangan yang normal dan berkelanjutan hingga menyeluruh pada perkembangan setiap anggota keluarga. Disamping itu, perubahan yang bersumber dari eksternal yaitu lingkungan masyarakat tentang pola hidup, sistem, dan teori-teori perkembangan keluarga juga akan berpengaruh pada tingkat kualitas hidup keluarga dalam setiap perubahannya.

Sebagai dua keadaan yang terjadi dalam keluarga maka sesakan-akan kedua hal ini dapat dibandingkan dengan sejajar (apple to apple) tetapi sebenarnya kedua keadaan ini sangat berbeda jika ditinjau dari  istilah dan definisi. Sandwich generation merupakan istilah yang disematkan kepada individu atau pasangan yang merasa terhimpit oleh keadaan tersebut sehingga menyebabkan suatu kondisi stress dimana dia membutuhkan pertolongan atau jalan keluar agar bisa lebih bahagia (coping stress strategy) (Marini, 2022). Jika keadaan yang terjadi sebaliknya misalnya dia memiliki pekerjaan yang sangat baik dan mampu membiayai kehidupannya dengan baik dan pandai mengatur waktunya serta mampu untuk membayar banyak orang untuk membantunya, dan dia tidak merasa berat/ stress walaupun harus menopang orang tua, anak, sekaligus cucu-cucunya, maka dia tidak dapat kita sebut sebagai sandwich generation. Jadi sandwich generation merupakan istilah yang membutuhkan pengakuan yang bersangkutan atau penilaian seseorang terhadap krisis psikologis akibat beban yang ditanggungnya dari atas (orang tua) dan bawah (anak-anak/ cucu-cucu). Sedangkan istilah 'keluarga normal' tidak dapat didefinisikan sebagai keluarga yang baik-baik saja tanpa krisis psikologis di dalamnya. Oleh karena itu untuk dapat membandingkan kondisi ini sebaiknya diseragamkan pengertiannya yaitu Generasi yang memberikan dukungan pada dua generasi di atas dan di bawahnya, dibandingkan dengan Generasi yang memberikan dukungan satu generasi di bawahnya saja (Keluarga Normal).

Hampir semua penelitian yang dilakukan mendapati bahwa individu atau pasangan yang memberikan dukungan pada dua generasi ini mengakui mengalami berbagai macam problema yang memicu stress dan berakibat pada ketidakbahagiaan. Demikian pula penelitian yang dilakukan terhadap keluarga yang hanya menopang satu generasi (keluarga normal) tidak lebih bahagia dibandingkan dengan sandwich generation. Sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh Rari, dkk. (2022) menemukan bahwa keluarga normal justru mempunyai tingkat stress lebih tinggi dan tingkat kebahagiaan lebih rendah dibandingkan pasangan atau individu sandwich generation. Jumlah tanggungan keluarga yang lebih banyak tersebut menyebabkan sandwich generation memiliki kewajiban finansial yang cenderung lebih tinggi dan proporsi waktu luang yang lebih sedikit dibanding keluarga normal, selain itu sandwich generation bekerja dan terperangkap antara tanggung jawab keluarga dengan tanggung jawab profesional (Swastika & Hamid, 2023).. Sandwich generation membagi sumber daya mereka untuk anak dan orang tuanya yang telah memasuki usia lanjut.

Perbedaan yang utama dari kedua hal ini adalah dukungan dan tanggung jawab terhadap orang tua yang biasanya lanjut usia, dan persamaannya yaitu sama-sama mengasuh dan memberi dukungan terhadap anak-anaknya. Seharusnya kelompok individu/ pasangan yang memiliki tanggung jawab merawat orang tua lebih banyak yang merasa tertekan apabila dibandingkan dengan yang tidak memiliki tanggung jawab serupa. Juin (dalam Rari, dkk., 2022) menemukan bahwa tanggung jawab merawat orang tua memiliki efek negatif terhadap tingkat kesehatan, terutama apabila tanggung jawab perawatan tersebut adalah intensif.

Pada keluarga normal, waktu luang lebih banyak cenderung lebih bahagia dibanding memiliki lebih sedikit waktu luang, hal ini secara umum dapat dibenarkan sebab banyak orang mendambakan waktu luang lebih banyak agar dapat lebih menikmati hidupnya, dan memiliki banyak waktu luang bisa dikatakan lebih bahagia. Tetapi hal ini tampaknya tidak berlaku untuk sandwich generation dimana yang memiliki waktu luang sedikit cenderung lebih bahagia dibanding yang memiliki waktu lebih banyak. Hal ini tidak sejalan dengan Wang & Wong (2014) yang menyebutkan bahwa waktu luang memiliki peran penting dalam mempengaruhi kebahagiaan karena waktu luang memberikan individu kesempatan untuk mengurangi stres, bersosialisasi, melatih nilai pribadi dan memenuhi tujuan.

Finansial merupakan salah satu masalah bagi sandwich generation karena tanggungan mereka yang harus membiayai generasi dibawahnya dan sekaligus generasi diatasnya sebagai bentuk bakti kepada orang tua (Nuryasman MN & Elizabeth Elizabeth, 2023). Sandwich generation akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dan asupan makanan serta gizi keluarganya jika masalah finansial tidak dapat teratasi dengan baik ((Irawaty & Gayatri, 2023). Pendapatan secara langsung memiliki arah pengaruh yang negatif terhadap kebahagiaan tetapi memiliki arah pengaruh yang positif secara tidak langsung melalui kesehatan. Kemiskinan pendapatan secara konsisten berhubungan dengan ketidakbahagiaan dan kesehatan yang dinilai rendah. Keluarga normal yang berpenghasilan lebih kecil merasa kurang bahagia dibandingkan yang berpenghasilan lebih besar. Sedangkan dalam sandwich generation ditemukan bahwa yang memiliki pendapatan lebih kecil justru lebih banyak yang bahagia dibandingkan yang berpenghasilan lebih besar, hasil yang berkebalikan dengan keluarga normal (Rari, dkk., 2022).

Tetapi dalam kasus sandwich generation ini sejalan dengan Miller (1981) yang menunjukkan bahwa tekanan finansial bukan menjadi masalah utama bagi sandwich generation. Jika hasil penelitian dari aspek pendapatan hasilnya sebagaimana di jelaskan di atas maka yang langsung berhubungan dengan pendapatan tersebut adalah jumlah tanggungan. Ditemukan bahwa sandwich generation dengan semakin banyak tanggungan lebih bahagia, sedang dalam keluarga normal jumlah tanggungan semakin banyak semakin tidak bahagia. Hal ini didukung oleh penelitian Rita dkk (2023) yang menunjukan bahwa keuangan sandwich generation lebih stabil daripada yang bukan sandwich generation karena memiliki jumlah tanggungan yang lebih banyak. Tentu hasil ini tidak lagi sejalan dengan temuan Qian & Qian (2015), Miller (1981) dan Brody (1985) yang mengatakan bahwa beban ganda, tekanan hidup dan stres dengan merawat dan menjaga orang tua yang menua, menyediakan uang, dan memberikan dukungan emosional sepanjang waktu yang kemudian mengurangi kebahagiaan di antara orang-orang yang sudah menikah berusia 30-49 tahun (Rari, dkk., 2022).

Sandwich generation dan keluarga normal sama-sama merasa kurang bahagia jika didera masalah kesehatan, individu yang tidak memiliki kondisi kesehatan yang baik akan membuatnya merasa kurang sejahtera. Kurangnya kesejahteraan ini dapat berakibat kepada individu yang menjadi tertekan, sulit memanajemen waktu dan energi, perasaan negatif, lepas tanggung jawab, hubungan sosial yang buruk, dan konflik di keluarga serta tempat kerja (Kusumaningrum, 2018). Hal ini merupakan hal yang wajar karena gangguan kesehatan langsung berdampak pada individu atau pasangan yang merupakan tulang punggung seluruh aktivitas baik finansial, pengasuhan, perawatan, pendidikan mental dan spiritual. Kesehatan menunjang peran sandwich generation sebagai orang tua dan anak, maupun pada keluarga normal. Kesehatan yang terganggu membuat sandwich generation dan keluarga normal sama-sama tidak maksimal menjalankan perannya sebagai anak dan orang tua, sehingga menjadikan adanya perasaan bersalah yang berujung pada ketidakbahagiaan (Amalianita & Putri, 2023).

Faktor tata nilai dalam masyarakat seperti di Indonesia yang mendidik keturunannya untuk bertanggung jawab terhadap orang tua sekaligus anak-anaknya merupakan sebuah keniscayaan dan merupakan perbuatan yang baik dan luhur, sebagaimana diajarkan oleh agama mana pun, dan kecenderungan masyarakat yang religious inilah yang kemudian menciptakan pergeseran pengertian perasaan bahagia, yaitu ketika mampu mendukung orang tuanya sekaligus membesarkan anak-anaknya. Cara pandang dan tata nilai yang sudah ditanamkan ini juga membuat sandwich generation sudah siap dan lebih terencana dalam menata masa depannya, hal bisa dikatakan sebagai salah satu coping stress strategy, yaitu strategi perencanaan dengan arti yang lebih luas dalam mempersiapkan mental, finansial, bahkan pasangan yang bisa menerima nilai-nilai tersebut. Sandwich generation yang mampu dalam beradaptasi dengan berbagai tekanan akan dapat mengelola sumber daya keluarganya seperti stress, uang dan waktu (Irawaty & Gayatri, 2023). Faktor budaya dan kebiasaan masyarakat yang saling memberikan bantuan di antara anggota keluarga juga akan memperkuat rasa bahagia karena saling berbagi, sebagai contoh kakek/nenek yang bersama dalam satu rumah dapat membantu mengasuh dan mendidik cucunya sehingga perasaan khawatir dan cemas tentang kondisi rumah pada saat di tinggal bekerja menjadi hilang (Rari dkk., 2022).  

Selain itu apabila dalam keluarga sandwich generation tersebut terdapat orang tua yang dapat diajak untuk berkomunikasi dan meminta pendapat, maka kondisi ini lebih mengurangi stress di tempat kerja dibandingkan dengan keluarga normal hanya dengan anak-anaknya saja, karena tidak mungkin persoalan yang memicu stress ini diutarakan pada anak-anaknya. Apalagi jika nenek/ kakek ini adalah pegawai yang memiliki penghasilan dari asuransi hari tua atau uang pensiun maka akan lebih membantu secara finansial juga. Jadi bagaimana tekanan psikologis yang dirasakan oleh sandwich generation  dan keluarga normal? Dengan paparan ini maka dapat disimpulkan bahwa antara sandwich generation dan keluarga normal dalam tinggi rendahnya tekanan yang dihadapi bergantung pada faktor adat budaya dan nilai religius dari masyarakatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun