Merantau dalam artian juga diartikan sebagai kegiatan meninggalkan kampung halaman dengan tujuan untuk mencari kekayaan, pengetahuan, dan juga kemahsyuran. Kecenderungan laki-laki Minangkabau pergi merantau ternyata memiliki hubungan yang erat dengan kedudukan laki-laki itu sendiri di Minangkabau. Merantau itu sendiri merupakan cara bagi laki-laki Minangkabau untuk melarikan diri dari “Matriarchy” atau kekuasaan kaum wanita, secara sadar atau tidak, laki-laki Minangkabau selalu berusaha mencari cara bagaimana untuk bebas dari hal itu dan mencari jati diri untuk kepribadiannya. Selain itu juga, merantau juga menjadi suatu keharusan bagi bujang (lelaki dewasa yang belum menikah) Minangkabau tradisional, karena dengan merantau mereka dapat membuktikan keberhasilan mereka di rantau, baik itu yang menyangkut adat, meliputi perkawinan, kedudukan dalam suku, kehormatan, dan sebagainya.
Pola merantau dulu yang popular dilakukan oleh laki-laki Minangkabau adalah merantau keliling. Para laki-laki pergi merantau pada jangka waktu yang tidak terlalu lama, sehingga pada waktu tertentu mereka tidak ada di rumah. Mereka meninggalkan rumah untuk merantau setelah padi ditanam dengan mengadu nasib di rantau, dan pulang sebelum panen. Dalam beberapa contoh juga, mereka kembali ke rantauan setiap tahun atau dua tahun sekali untuk pergi berlebaran, dengan membawa hasil jerih payah mereka di rantau. Tetapi pada tahun 1920, banyak perantau Minang giat berusaha di berbagai tempat di Sumatera. Kebanyakan perantau bekerja sebagai pegawai pemerintah, pedagang, pengrajin, atau juga juru tulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H