Ketika tahun 2007 suami mutasi ke Aceh saya belum memakai jilbab. Saya hanya memakai pashmina yang saya selempangkan dibahu dan pindah ke kepala ketika turun dari pesawat. Namun saat acara organisasi dan kedinasan saya memakai jilbab segiempat yg diikat ke belakang.
Ketika acara perkenalan pertama, tak ada satupun yg menanyakan agama saya dan memang tidak lazim. Tetapi di belakang, ternyata status agama saya bikin penasaran sebagian umat.Â
Bukan suatu kebetulan ketika saya ngobrol dengan pimpinan beliau menanyakan agama saya. Saya kaget namun lucu . Perkiraan saya, karena menerapkan Aceh syariat islam orang harus tahu agama kita "Saya islam ibu" jawabku. Dan si ibu bercerita, "Iya, orang orang ada yang bilang kalo Ibu Jawa Katolik, ada juga yang mengatakan ibu Mualaf, Kristen, Manado, China, jadi saya bingung, ingin bertanya tak enak pulak awak" ujar bosku . Saya pun ikut tertawa.
Bagi sebagian umat agama sangat penting untuk menilai dan bersikap terhadap seseorang seperti terhadap Almarhum Mas Didi Kempot saat ini. (Ada netizen yang mencaci dikira almarhum non muslim). Namun demikian tidak berarti apabila beda agama, bebas menghakimi dan mencaci maki orang lain, merasa diri paling baik, paling mulia, selain itu buruk dan hina.
Dalam wasiatnya kepada Malik Asytar ketika akan diangkat sebagai Gubernur Mesir, Imam Ali RA mengatakan " bahwa warga negara itu terdiri dari dua golongan. Mereka adalah saudara seagama anda atau saudara anda sebagai sesama manusia."
Dari sini dapat kita simpulkan, apapun agamanya, jika berbeda, pandanglah mereka sebagai manusia, ciptaan Allah Swt. Perlakukan dengan baik dan jagalah lisan apalagi saat saudara kita sesama manusia sedang mendapat musibah. Bersimpatilah dengan keluarga yang ditinggalkan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H