Mohon tunggu...
Julinda Jacob
Julinda Jacob Mohon Tunggu... Konsultan - Orang rumahan

Seorang ibu rumah tangga yang menuangkan hasil pandangan mata dan pendengaran dalam kehidupan keseharian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bihun Kekinian, Fiksasi Kekayaan Intelektual yang Dipasung

13 Agustus 2016   16:04 Diperbarui: 13 Agustus 2016   18:00 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa hari lalu linimasa media diramaikan mengenai snack Bikini, BIhun keKINIan yang packagingnya dianggap meresahkan masyarakat karena mengandung unsur pornografi dengan kata vulgar “remas aku”. Berdasarkan siaran pers Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) Bandung, Bihun kekinian resmi ditarik dari peredaran dengan alasan tidak terdaftar di BPOM tida,  memiliki izin edar, tidak memiliki informasi nilai gizi, dan tanpa tanggal kadaluarsa. Selain itu MUI Jabar menyatakan belum mengeluarkan label halal pada produk bihun kekinian (bikini) artinya label halal yang digunakan palsu.

Snack bikini merupakan kreatifitas dan inovasi  mahasiswi sebuah sekolah pelatihan home business di geger kalong, Bandung. Ide pembuatan bikini diontarkan oleh Pertiwi Darmawati Oktavia (Tiwi) berusia 19 tahun yang terinspirasi dari penjual bihun dekat rumahnya di Bogor. Ide ini difiksasi dan dikembangkan bersama 5 temannya dalam kemasan BIhun keKINIan. Kata “remas aku” merupakan saran dari dosennya yang dimaksudkan sebagai cara makan bihun kekinian bukan dimaksudkan untuk meremas bagian yang menonjol dalam gambar tersebut.

 Hal ini menyesuaikan dengan merek yang diusung “bikini”. Jadi tak mungkin gambarnya  boneka  berbi atau pokemon. Dalam benak Tiwi dan kawan kawan, bikini merupakan pakaian renang wanita yang umum dipakai. Kata Bikini merupakan Ide spontan, tidak diniatkan mengundang sensasi, hanya akronim dari kata Bihun Kekinian.

Namun masyarakat sangat rentan dengan isu ini. Ketika melihat gambar dan tulisan yang tertera di bungkus bikini yang dibayangkan pertama kali adalah isi dari gambar bikini tersebut bukan isi dari produk.  Kata “remas aku” yang dianggap vulgar diasosiakan dengan meremas bagian tubuh wanita yang menonjol pada kemasan tersebut. 

Padahal pada packaging kata “remas aku” menunjuk pada gambar bihun. Masyarakat kita masih sulit menerjemahkan sketsa, animasi atau gambar sebagai sebuah art dengan pikiran positif. Bagi saya bikini hanya sebuah sketsa, ilustrasi gambar, karikatur sebagai cover, not real.

Kekayaan Intelektual dan Industri Kreatif

                                                                                                                             Industri.kreatif.jpg

Bikini (bihun kekinian) merupakan merek suatu produk kuliner penganan ringan yang terbuat dari bihun beras, minyak goreng dan bumbu penyedap. Bikini dibuat dengan cara sederhana menggunakan peralatan masak seadanya. Tidak ada unsur haram didalamnya sehingga saat konsumen menanyakan kehalalannya, Tiwi berani mencantumkan logo halal buatan sendiri. 

Selain gambar kemasan yang unik, strategi marketing cukup mainstream dengan mencantumkan kata “remas aku” untuk menarik animo pembeli. Terbukti hanya dalam waktu 3 bulan bihun kekinian telah diproduksi ribuan bungkus, beredar di kota Surabaya, Semarang, Serang, Jakarta dan Bandung dengan harga 15ribu/bungkus.

Merek adalah tanda, dapat berupa gambar, nama, huruf-huruf, kata, angka-angka, susunan warna, atau kombinas keduanya. Merek digunakan sebagai daya pembeda. Merek juga merupakan sarana promosi dan menunjukkan kualitas serta reputasi produk. Pembuatan merek tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas, agama, kesusilaan atau ketertiban umum.

Keberhasilan suatu produk sangat ditunjang dengan merek yang kuat sebagai sarana promosi. Merek Bikini sangat kreatif karena catchy, memorable dan punya stopping power yang tinggi untuk membuat orang berhenti dan tertarik melihat produk tersebut. Merek bikini merupakan fiksasi ide dari kekayaan intelektual yang bersumber dari intelektualitas penciptanya. Sketsa Bikini suatu terobosan hak cipta dan hak merek yang mengemas penganan biasa menjadi luar biasa.

Tidak ada unsur pornografi dalam merek bihun kekinian melainkan sebuah kreatifitas seni. Saya melihatnya seperti sebuah pita besar karena tidak ada kepala manusia pada sketsa tersebut. Merek dagang Bikini memiliki daya pembeda yang sangat signifikan dengan produk produk yang sejenis. Ide kreatif ini harus dilindungi pemerintah sebagaimana amanat UU HKI. Pihak terkait harus bisa membedakan kreatifitas dan pornografi. Pengekangan kreatifitas akan menimbulkan mental blok, ketakutan mengaplikasikan ide atau gagasan.

Bihun kekinian merupakan industry kreatif yang terkait dengan budaya kuliner. Industri Bihun Kekinian hanya industry rumahan, project enterprenuer yang masih dalam tahap uji pasar melalui pasar online. Cukup dimaklumi mengapa Tiwi belum mendaftar ke BPOM. Untuk ijin edar dan uji halal butuh waktu dan biaya yang cukup besar dan kesulitan-kesulitan lainnya. Dan sebetulnya  banyak produk penjualan online yang tidak memiliki nomor registrasi Balai POM.

Mestinya BPOM tidak menyita peralatan dan produk yang siap diedarkan dan meneruskannya ke kepolisian sebagai tindak pidana. Pemerintah cukup menegur, ini bukan suatu kejahatan, ini hanya pelanggaran. Dinas UKM memberikan bimbingan teknis, pengetahuan dan pelatihan memadai agar Tiwi mengerti prosedur dan dapat mengembangkan bihun kekinian sesuai dengan aturan yang berlaku agar tidak menimbulkan shock bagi para kreator muda dalam usaha industri kreatif karena industry kreatif terkait erat dengan kekayaan intelektual dan bersinggungan dengan persaingan usaha tidak sehat.

Jika sketsa bikini pada bihun kekinian dianggap vulgar dan meresahkan masyarakat, bagaimana dengan display bikini, pakaian dalam, bra, celana dalam yang dipajang pada manekin di toko-toko baik secara real maupun online? Bagaimana dengan gambar merek bra, pakaian renang dan celana dalam yang pasti menonjolkan aurat wanita? Jika demikian adanya, maka semua penjualan pakaian dalam dan bikini harus ditarik dari peredaran juga karena mengandung unsur pornografi dengan mengumbar gambar aurat wanita dan pria. Mohon jangan diterjemahkan secara sempit mengenai makna pornografi. Salam HKI…..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun