Peristiwa ini terjadi pada tahun 2004 yang silam, sudah enam belas tahun berlalu namun masih tersimpan baik dalam ingatan. Terbersit keinginan untuk tidak menceritakan kisah ini, apalagi untuk menulisnya. Biarlah ia menjadi kenangan terindah dan menjadi pengalaman berharga yang mengisi kehidupan saya. Namun demi untuk berbagi pengalaman dan menumbuhkan motivasi kepada generasi muda, saya pun akhirnya tergerak untuk menulisnya, siapa tahu cerita ini mampu menumbuhkan inspirasi kepada insan-insan PLN yang bertugas di garda depan pelayanan di seluruh pelosok tanah air kita tercinta Indonesia.
Pengalaman ini terjadi saat saya bertugas sebagai seorang manajer rayon di PLN Rayon Lubuklinggau (dulu bernama PLN Ranting Lubuklinggau), sebuah sub unit pelaksana yang berada dibawah struktur organisasi PLN Area Lahat (dulu bernama PLN Cabang Lahat), tepatnya berada di wilayah hukum Kotamadya Lubuklinggau dan Kabupaten Musi Rawas, Propinsi Sumatera Selatan. Karena berada di wilayah Kotamadya dan Kabupaten, sebagai pimpinan BUMN di daerah praktis saya mesti berkoordinasi dengan seorang Walikota dan seorang Bupati. Demikian pula dengan DPRD-nya ada dua yakni DPRD Kota Lubuklinggau dan DPRD Kabupaten Musi Rawas.
Waktu itu seperti biasanya setiap hari saya menerima banyak surat untuk saya baca dan membuat disposisi kepada para supervisor dan staf untuk ditindaklanjuti sesuai bidang tugasnya masing-masing, dan hari itu saya mendapatkan banyak surat yang salah satunya surat dari sebuah pondok pesantren bernama AL-AZHAR, surat tersebut ditanda tangani oleh pimpinannya, tertera namanya Ustadz Mansyuri Adam. Dengan antusias saya baca dan pahami isi surat yang bernada rasa kecewa dan tidak puas atas pelayanan dari PLN yang ia rasakan sangat tidak profesional. Saya pun tergelitik ingin mengetahui permasalahan yang sebenarnya, dan tentu saja ingin mencari solusi yang terbaik atas permasalahan seperti yang tertuang dalam surat.
Pada hari itu juga sekitar jam sembilan pagi dengan berkendara mobil pickup, saya bersama dengan seorang supervisor yang menangani permasalahan teknik (pak Sirajuddin) meluncur menuju alamat tempat pondok pesantren tersebut berada dengan maksud ingin bertemu dengan si penulis surat tersebut, ya ustadz Mansyuri Adam. Itung-itung bersilaturahim dan berkenalan dengan Sang Ustadz. Singkat cerita, tibalah saya di Pondok Pesantren AL-AZHAR (namanya mengingatkan pada salah satu universitas ternama di negeri Mesir). Alhamdulillah saya bertemu dengan Ustadz Mansyuri Adam, beliau menerima saya di kantornya yang sederhana. Terkesan pak ustadz surprise atas kedatangan saya yang tiba-tiba dan tanpa konfirmasi lebih dulu, maklum karena pak ustadz tergolong sibuk dan sering bepergian ke luar kota.
Saya pun memperkenalkan diri kepada ustadz dan menjelaskan maksud kedatangan saya. “Masya Allah, Alhamdulillah, saya kedatangan tamu penting rupanya”, demikian beliau membuka pembicaraan. Saya pun dipersilahkan duduk serta disuguhi segelas teh hangat oleh pak ustadz. “Saya sudah berkirim surat berkali-kali ke PLN, bahkan sudah menemui pimpinan PLN di kota ini, sudah tiga kali berganti pimpinan PLN tetapi permasalahan listrik yang menimpa pesantren kami tak kunjung selesai”, demikian pak ustadz mengemukakan uneg-unegnya.
“Masya Allah anda adalah pimpinan PLN yang keempat dan yang pertama datang ke pesantren kami ini, dan saya percaya ditangan anda permasalahan listrik yang kami hadapi dapat diselesaikan”, demikian pak ustadz berharap. Dan saya pun terharu sekaligus mendapat beban tanggung jawab yang tidak ringan. Sebenarnya masalah yang dihadapi oleh pesantren yang memiliki ratusan santri ini tak berat-berat amat, yaitu tegangan listriknya rendah (drop) jauh dari standarnya, terukur dari tang ampere angkanya dibawah 180 volt saat siang hari dan makin turun pada malam hari.
Dari cerita pak ustadz saat ini pesantren tersebut mendapat bantuan alat-alat komputer untuk sarana belajar murid-muridnya, tetapi karena tegangan listrik yang tidak memadai membuat komputer-komputer tersebut belum dapat digunakan. Saya pun memaklumi kondisi ini, tentunya pak ustadz dan terutama murid-muridnya yang berjumlah ratusan orang tersebut sangat memerlukan listrik yang mutu tegangannya memadai agar bisa mengoperasikan komputer-komputer yang ada. Hal ini menggugah perhatian saya sekaligus menjadi beban moril kepada mereka, para santri yang merupakan generasi penerus bangsa ini.
Penyebab buruknya tegangan listrik yang memasok ke pesantren ini sudah kami ketahui sejak di perjalanan menuju pesantren, yaitu kabel yang terpasang tidak standar dan bukan peruntukkannya. Kabel JTR (Jaringan Tegangan Rendah) dari gardu yang menyuplai listrik ke pesantrennya pak ustadz ini mestinya berukuran penampang 35mm2 tetapi yang terpasang adalah penampang 10mm2 dengan jarak sejauh 600-an meter dari gardu, ditambah lagi ada beberapa pelanggan di sekitar pesantren tersebut yang dipasok dari gardu dan kabel JTR yang sama, tentu saja membuat tegangan menjadi rendah jauh dibawah standarnya (220 volt).
Solusinya adalah kabel yang saat ini terpasang mesti diganti dengan penampang yang lebih besar, diperlukan kabel 3x35mm2+20mm2. Yang jadi masalah adalah material kabel yang dimaksud tidak tersedia di gudang, dan pada masa itu kabel JTR merupakan barang mewah yang langka karena pada tahun 2004 anggaran investasi tidak semudah seperti pada masa sekarang ini. Alasan tersebut pun saya utarakan kepada pak ustadz, agar pak ustadz memahami kondisi ini, kondisi yang telah membuat ia mengirimkan surat berkali-kali ke PLN, kondisi yang membuat ia pun berkali-kali menemui pimpinan PLN yang telah berganti sebanyak tiga kali dan saya adalah pimpinan keempat yang juga ia harapkan untuk menuntaskan masalah yang ia dan pesantrennya hadapi.
Itulah kondisinya, kondisi riil di lapangan yang sering terjadi, hanya karena masalah yang sepele material tidak tersedia di gudang, permasalahan logistik yang klasik masa itu. Jujur saya merasa malu dengan kondisi saat itu. Saya pun meminta maaf kepada pak ustadz atas kejadian ini sekaligus mohon do’a dari beliau agar Tuhan Yang Mahakuasa membantu saya untuk menyelesaikan masalah ini, masalah yang sesungguhnya amat sepele (bukan permasalahan teknis yang rumit dan tidak memerlukan keahlian khusus).
Sepulang dari pesantren tersebut saya menelpon pimpinan PLN Cabang Lahat (saat itu dijabat oleh Ir.Harianto), kepada beliau saya ceritakan masalah ini sekaligus mohon diberikan kabel yang dibutuhkan, oleh beliau saya diminta mengirimkan surat permintaan material (TUG 5) sebagaimana lazimnya diatur dalam sistem administrasi gudang yang berlaku di PLN. Memang saat itu barang dimaksud tidak tersedia di gudang PLN Cabang Lahat, tetapi kabel yang sama tersedia untuk proyek perluasan pemasaran di daerah lain yang kebetulan ada sisa (kelebihan). Kelebihan kabel tersebut setelah melalui proses administrasi yang berlaku akhirnya dikirimkan ke Lubuklinggau.