"Pandu, aku udah kenyang, habisin ya."
Jepret!!
Satu buah fotonya tersimpan di ponselku. Dia yang menyodorkan setengah mangkuk mie ayam, yang sudah diacak-acak isinya. Wajah bulatnya dengan sapuan make-up tipis berwarna coral. Dia selalu terlihat begitu cantik meski sedang memonyongkan bibirnya seperti saat ini.
"Pandu, abisin gih. Mubadzir loh." pintanya untuk yang kedua kali.
"Tau mubadzir, tapi pesen porsi jumbo juga."
"Aku nggak boleh makan banyak, nanti kebayaku nggak muat."
"Biarin aja gendut, biar Erlangga nggak jadi nikahin kamu." aku tertawa terbahak-bahak.
"Kamu kok jahat banget sih, kamu aja yang jomblo sampe lumutan. Kuliah nggak lulus-lulus, kemana-mana sama kamera. Kelarin kuliah kek, nyari kerjaan yang bener, dapet cewek yang tulus sayang sama kamu, nikah, lalu..."
Suaranya menggantung di udara. Percakapan ini, tempat ini, mangkuk mie ayam yang isinya setangah berantakan. Emilia yang memakai kemeja putih favoritnya, rambutnya yang sepunggung dia biarkan tergerai, make-up berwarna coral. Dia yang menceramahiku dengan kecepatan tak hingga dalam hitungan menit. Ini sama, persis. Aku menyentuh ujung bibirnya dengan jariku.
"Pandu, setelah aku nikah kamu nggak boleh pegang-pegang sembarangan." dia menepisku, nyata sekali.
Baiklah, aku tidak sedang bermimpi kali ini.