September, entah kenapa angin-angin kering kadang berselisih dengan gerimis. Entah kenapa, musim menjadi sekacau itu. Perempuan itu juga masih berselisih dengan hatinya, berselisih dengan pandangan orang-orang di luar sana.
“Dia bukan lelaki itu.” Kalimat itu meluncur ketika suaminya duduk di sebelahnya.
Meski suaminya telah menyiram sekujur tubuhnya dengan aroma musk, juga membawa secangkir teh beraroma cengkeh. Tetapi yang ia butuhkan bukan sekedar aroma, ia butuh sosok itu, sosok yang mengaku bernama Morpheus, sosok yang menamai dirinya sebagai Dewa Mimpi.
“Keluargaku berpikir bisa menipuku, Mbok. Dengan menghadirkan laki-laki itu di sini. Aku memang tidak bisa melihat dengan mataku, tetapi aku punya cara untuk mengenali. Aku mau ke kamar, Mbok, tolong bawakan tehku.” Perempuan itu berdiri, berjalan ke kamarnya, meninggalkan Mbok Darmi yang memandanginya dengan sedih.
Perempuan itu lebih senang menikmati aroma musk sendirian, juga menyesap teh cengkeh sendirian. Dia tak lagi berharap banyak, tidak pada hujan, tidak pada angin, tidak pada bulan dan musim apa pun.
Tetapi ia tidak pernah membenci Morpheus, dewa mimpinya. Ia selalu memenuhi hatinya dengan cinta, cinta yang sama besar setiap harinya. Ia juga selalu memenuhi rongga dadanya dengan aroma musk, aroma yang membuatnya merasa hidup, membuatnya merasa bahwa ia masih mendekap Morpheus, merasakan denyut jantung lelaki itu dan jantungnya sendiri bersatu.
Ia juga selalu meminta Mbok Darmi menambahkan cengkeh pada teh dan masakannya. Perempuan itu sangat menyukai cengkeh ketika bersanding dengan aroma musk. Aroma yang membuatnya tenang, aroma yang membuatnya menangis juga tersenyum. Aroma yang membuatnya melayang, ke dunia mimpi, dalam tidur yang ia ninabobokkan sendiri.
***
Namaku Morpheus, bukan nama asliku, tetapi aku suka nama itu. Seperti Dewa Mimpi, yang mampu berubah menjadi manusia apa saja. Aku pernah menjadi lelaki yang sangat ia cintai, pemilik bibir kelopak mawar. Perempuan yang membuka kelopak matanya, tanpa bisa melihat warna apa pun. Perempuan yang telah menjadikanku seperti morfin, yang terus menerus ia suntikkan ke dalam dirinya sendiri.
Kata orang, cinta itu buta, aku ingin tahu bagaimana cinta bekerja pada gadis buta. Lalu, aku berubah menjadi lelaki paling brengsek untuknya. Aku telah menuliskan sebuah prolog padanya, yang aku tinggalkan begitu saja. Cerita itu ia lanjutkan sendiri, keluarganya bingung menemukan epilog yang tepat. Epilog untuk sebuah cerita yang pernah aku mulai.
Keluarganya mengambil sosok acak begitu saja, mencelupkan ke dalam minyak musk, berharap bisa menipu perempuan itu. Tetapi cinta tidak buta, kali ini aku percaya cinta tidak buta, dia bisa melihat dan membedakan.