.
Oleh : Julie Chou (peserta nomor 61)
.
Ayahku bermata pelangi, tempat aku melihat warna-warni dan mimpi.
Demi aku, dia rela menukarkan nyawanya. Ibu, perempuan yang tak pernah kulihat semenjak aku membuka kelopak mata kali pertama. Sedari bayi aku hidup bersama Ayah dan kakak. Pernah Ayah bekerja sebagai pegawai swasta, tapi memutuskan keluar untuk mengurusku, juga kakak lelakiku yang lima tahun lebih tua dariku. Ayah menyambung hidup kami dengan beternak ayam, itik dan mengurus kebun melon.
Selain itu, Ayah juga memasak, membersihkan rumah seorang diri tanpa bantuan siapapun. Bahkan pada Bude yang tinggalnya persis di samping rumah kami. Hanya dulu, saat aku masih bayi Bude yang kerap memandikanku. Bude juga mengajari banyak hal tentang mengurus rumah dan anak pada Ayah.
Kata Bude, dulu kasihan melihatku dan kak Ibra. Lidahku sering putih dan sering sariawan karena susu buatan Ayah masih terlalu panas saat kuminum. Dan kalau kak Ibra atau aku sakit, rumah berantakan, peternakan dan perkebunan tidak ada yang mengurus. Tapi ayah tidak pernah mengeluh atau meminta bantuan kepada Bude.
Saat usia SD, aku suka protes, karena Ayah tak bisa menguncir rambutku selain ekor kuda. Aku ingin dikepang, dikuncir dua, namun Ayah tidak bisa melakukannya. Kak Ibra juga sering mengeluh karena masakan Ayah tak seenak masakan mendiang Ibu. Kami juga sering keberatan kalau baju kami tak serapi dan sewangi teman-teman. Dan aku juga sering bosan saat Ayah membacakan dongeng. Dongeng yang itu-itu juga, dibacakan tanpa intonasi suara. Tak sebagus cara Ibu guru yang biasa datang ke rumah menceritakan kisah-kisah anak.
Usia kami bergulir ke depan, aku dan kak Ibra mulai mengerti dan terbiasa, soal masakan Ayah yang mulai lebih enak. Sementara, aku sudah bisa menguncir rambutku sendiri, meski untuk urusan mencuci dan menyetrika baju, aku belum fasih melakukannya. Dan walau kini aku bukan kanak lagi Ayah kerap melarangku ke dapur untuk memasak atau sekedar membuat kopi.
Sementara itu, peternakan Ayah ditutup setelah kak Ibra menjadi pegawai negeri, katanya biar ayah tidak terlalu capek bekerja. Ayah sehari-hari hanya mengurus perkebunan melon kami, yang kini juga ditanami semangka. Aku membantu mengerjakan pekerjaan rumah yang aku bisa. Seperti dua puluh tahun lalu, Ayah tidak pernah mengeluh ini-itu. Dia juga selalu menolak saat aku atau kak Ibra menyarankan Ayah untuk mencari pengganti ibu. Katanya Ayah ingin menikmati hidupnya dengan dua anaknya. Meski aku selalu mengatakan bahwa tidak semua yang Ayah butuhkan bisa kami penuhi, apalagi keterbatasan fisikku. Tapi Ayah selalu bersikeras.
“Apa tidak sebaiknya Ayah menikah lagi? Ayah sudah lama menyendiri,” kataku suatu sore sambil menemaninya menikmati kopi di teras rumah.
“Ayah tidak pernah merasa sendiri, selama ada kamu dan kakakmu. Ayah sudah merasa lengkap, utuh sepenuh,” jawabnya seperti biasa.
***
Namaku Lintang, perempuan berusia dua puluh tujuh tahun. Aku tidak bisa melihat sedari bayi. Empat tahun lalu, aku mendapatkan donor kornea dari Ayahku. Aku sudah bisa melihat hijaunya kebun melon kami, tapi aku tidak bisa lagi melihat Ayahku. Tuhan terlalu cepat mengambilnya dari aku dan kak Ibra.
Aku masih ingat dulu Ayah sering membacakan dongeng tentang puteri, tentang negeri pelangi. Ayah juga selalu memberitahuku tentang warna-warni. Ayah memanggil seorang guru yang mengajariku menulis dan membaca. Sebab mataku, Ayah selalu melarangku ke dapur, entah hanya membuat kopi atau menggoreng telur. Dan beliau tidak pernah berhenti mengawasi kami siang malam. Menjaga kami tanpa pernah mengeluh atau meminta pertolongan.
Sekarang aku bisa melihat sekeliling, berjalan dengan kedua kakiku sendiri, tanpa bantuan tongkat kayu. Dan setiap hari aku selalu pergi ke dapur, sekedar membuat kopi atau menggoreng telur, untuk suami dan anakku. Meski kata suamiku, masakanku sering terlalu asin karena aku tidak biasa memasak sedari kecil.
Siang hari aku selalu ke panti asuhan Ar-Ridwan. Panti asuhan yang aku dirikan bersama suami dan kakakku. Membacakan cerita untuk anak-anak di sana. Membagi balon warna-warni seperti pelangi. Sedari bayi, aku melihat dari mata Ayahku, hingga kini. Aku melihat barisan kelir di langit dari mata ayahku. Mata lelaki pelangi, dengan ribuan cinta dan mimpi. Mata lelaki pelangi, yang tak pernah mengeluh atau lari.
.
Namaku Lintang, Ayahku bernama Ridwan. Meski tanpa berperang, bagiku Ayah adalah seorang pahlawan. Ayahku yang bermata pelangi, tempat aku melihat warna-warni dan helai-helai mimpi.
*****
Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul : Inilah Perhelatan & Hasil Karya Peserta Fiksi hari Pahlawan
.
Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H