Mohon tunggu...
Julita Hasanah
Julita Hasanah Mohon Tunggu... Ilmuwan - Masih Mahasiswa

A Long Life Learner

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Keterlibatan Perempuan dalam Kesenian Rakyat Jaranan Buto, Langkah Menuju Kesetaraan Gender

7 November 2024   13:21 Diperbarui: 7 November 2024   16:05 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai perempuan yang lahir dan tumbuh di Jawa Timur, saya merasa sangat akrab dengan budaya serta kesenian tradisional yang berkembang di daerah tapal kuda, yang meliputi tujuh kabupaten seperti Banyuwangi, Bondowoso, Jember, Lumajang, Pasuruan, Situbondo, dan Probolinggo. 

Saya bersyukur terlahir di daerah yang kaya akan kesenian rakyat. Sejak kecil, berbagai acara keluarga seperti khitanan dan pernikahan sering menampilkan pertunjukan seni, salah satunya adalah Jaranan yang terkenal dengan aksi-aksi ekstrem seperti makan pecahan kaca.

Jaranan adalah seni yang sangat melekat dalam ingatan saya sejak kecil. Bahkan, di saat anak-anak lain mungkin menjauhi panggung pertunjukan Jaranan, saya justru bersemangat berada di barisan terdepan untuk menyaksikan pertunjukan ini. 

Namun, setelah memasuki jenjang SMA hingga menempuh pendidikan tinggi, kesempatan untuk melihat pertunjukan Jaranan semakin jarang. Maka, ketika saya kembali ke Banyuwangi untuk mengunjungi seorang teman, pertemuan kembali dengan kesenian ini memberi saya kesempatan untuk lebih mendalami kesenian Jaranan Buto, versi khas Banyuwangi.

Kesenian Jaranan Buto Banyuwangi dan Nilai-Nilai Kehidupan

Jaranan Buto, yang diciptakan dengan menyesuaikan budaya lokal Banyuwangi, memiliki keunikan tersendiri dengan karakter raksasa atau "buto" yang terinspirasi dari tokoh Minak Jinggo. 

Pertunjukan Jaranan Buto ini tidak sekadar hiburan; ia menggambarkan perjalanan hidup manusia, mulai dari lahir hingga akhir hayat, dengan tiga bagian waktu yang berbeda---pagi, siang, dan sore---yang masing-masing menunjukkan fase kehidupan manusia dari anak-anak, dewasa, hingga masa senja.

Pementasan ini penuh simbol: adegan kesurupan, yang ditampilkan pada siang hari, melambangkan nafsu dan kesombongan manusia. 

Sementara bagian akhir dengan penampilan "celengan" atau babi hutan yang dikejar-kejar adalah lambang kematian yang tidak bisa dihindari, sekaligus pengingat bahwa "tabungan" berupa amal adalah bekal utama untuk kehidupan berikutnya. Nilai-nilai kehidupan ini mengajarkan kita tentang persamaan derajat, pentingnya kebajikan, dan tanggung jawab untuk menjaga lingkungan.

Meningkatkan Kesetaraan Gender Melalui Peran Perempuan dalam Jaranan Buto

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun