Maaf Nak, Kamu Lahir di Masa Krisis Iklim
Di penghujung tahun 2022, alih-alih disambut udara sejuk pagi hari, tangisan pertamanya di dunia justru disambut selimut polusi.
Saat itu, kualitas udara memang sedang buruk-buruknya. Berdasarkan data yang dirilis IQ air, kadar polutan utama di Jakarta tercatat 8,9 kali lebih buruk dibandingkan standar kualitas udara tahunan yang ditetapkan World Health Organization.
Di tiga bulan pertamanya, putri semata wayangku kerap mengalami gangguan pernapasan.
Usut punya usut, fenomena ini tak hanya menimpa buah hatiku seorang. Peneliti mengungkap anak-anak usia 0-17 tahun memikul beban krisis iklim paling berat. Mereka lebih rentan terhadap cuaca ekstrem, polutan beracun, dan penyakit yang ditimbulkannya.
Laporan Save the Children yang dirilis September 2021 menyebutkan, anak-anak yang lahir tahun 2020 akan merasakan 7,7 kali lebih banyak gelombang panas dibanding yang dialami kakek-nenek mereka.
Studi mengungkap tidak ada satu anak pun di dunia yang terbebas dari ancaman krisis iklim.
Krisis Iklim adalah Krisis Hak-hak Anak
Alih-alih bebas bermain dengan riang gembira, anak-anak kita justru hidup pada situasi memilukan. Bukan kabar yang menyenangkan untuk dibagi, peneliti mengatakan anak-anak terancam mengalami kelaparan, kesulitan akses air bersih, hingga ancaman penyakit menular di masa mendatang.
Padahal melalui Konvensi PBB 1988, pemerintah di seluruh dunia menjanjikan hak yang sama untuk semua anak. Anak berhak atas air bersih, makanan bergizi, dan lingkungan tinggal yang aman. Anak berhak tumbuh sehat.
Kita telah mencuri mimpi dan masa depan anak-anak.
Krisis Iklim adalah Krisis Antargenerasi
Studi Programme for International Student Assesment (PISA) 2015 menunjukkan pelajar Indonesia termasuk yang mendapat nilai terendah dalam memahami isu perubahan iklim.
Senada dengan itu, Laporan Asesmen Nasional 2021 yang dilakukan Kemendikbudristek menemukan minat pada isu kelestarian, partisipasi dalam aktivitas pelestarian, serta rasa terhubung dengan alam pelajar kita berada dalam kategori berkembang.
Data di atas menunjukkan bahwa krisis iklim yang kita tuai hari ini adalah hasil dari kelalaian kita, para orang tua. Sebab kesadaran lingkungan bak tongkat estafet yang harus diteruskan. Tak boleh putus di satu generasi.
Tanpa perubahan, generasi selanjutnya hanya akan mewarisi bumi yang sudah terdegadrasi dengan level yang semakin parah.
Sustainable Parenting, Mengapa Penting?
Dalam hal ini, orang tua berperan besar dalam mendidik karakter anak. Gerakan kecil dalam keluarga dengan pengasuhan yang sadar lingkungan akan membekali para penerus bangsa menjadi pribadi yang peduli bumi, serta siap mewariskan nilai-nilai cinta lingkungan ke generasi selanjutnya.
Cita-cita baik tersebut bisa kita lakukan bersama-sama melalui sustainable parenting.
Studi terbaru mengonfirmasi 16 persen anak-anak yang menerima pendidikan iklim berpotensi menekan emisi hingga 19 gigaton pada 2050 mendatang. Sebagai catatan, angka tersebut setara dengan separuh total emisi karbon seluruh dunia pada 2019 lalu.
Sebagaimana ancaman krisis iklim yang tampak kini dan perlunya pengetahuan iklim bagi anak-anak maka praktik sustainable parenting menjadi penting dan genting saat ini.
Sustainable parenting adalah pola asuh yang membangun kesadaran lingkungan serta membuat keputusan sehari-hari dengan memerhatikan konsekuensinya terhadap bumi.
Setelah melalui trial and error dalam setahun, di sini aku mau berbagi langkah kecil mewujudkan sustainable parenting. Semoga menginspirasi!
Bekali Anak Lewat Pendidikan Iklim di Rumah
Pendidikan iklim ke buah hati banyak aku kenalkan dengan bercerita hubungan sebab-akibat atau konsekuensi logis dari kejadian sekitar. Misalnya, saat melewati sungai yang kotor aku memberitahunya bahwa itu disebabkan karena manusia membuang sampah ke sungai. Kemudian, aku juga ceritakan informasi lanjutan akibat dari sungai yang tercemar; mulai dari hilangnya ikan-ikan, potensi banjir saat musim hujan, dan timbulnya berbagai macam penyakit.
Begitu pula, saat ia tidak menghabiskan makanannya. Aku bilang itu tidak baik karena menghasilkan food waste yang berdampak buruk bagi lingkungan. Kemudian, aku jelaskan bagaimana itu bisa terjadi, bahwa sisa makanan yang tertimbun di tempat sampah menghasilkan gas metana yang berkontribusi pada pemanasan global.
Kita juga bisa menguatkan pemahaman anak dengan menambahkan data. Misalnya, kasih tahu kalau 8% dari emisi gas rumah kaca yang dihasilkan manusia seluruh dunia ternyata berasal dari limbah makanan.
Putriku memang masih batita, belum terlihat secara signifikan apakah cara ini akan berhasil. Namun, dikutip dari Journal of Experimental Child Psychology, konsekuensi logis merupakan komponen penting untuk menanamkan sikap peduli pada anak-anak. Konsekuensi logis menjadi prekursor terhadap kognitif anak, sehingga kepedulian terhadap lingkungan dan isu perubahan iklim terinternalisasi ke dalam diri mereka.
Tak Hanya Mengenalkan Pengetahuan, Tapi Memberi Teladan
Aku pernah menyaksikan pemandangan yang menginspirasi. Seorang ayah memungut kemasan plastik yang berserakan lalu memasukkannya ke tempat sampah. Ajaibnya tanpa sepatah kata instruksi, si anak kemudian mengikuti gerakan yang sama.
Mantranya adalah “sebelum anakku, aku harus mulai lebih dulu”.
Dari sana aku belajar, kunci menumbuhkan kesadaran lingkungan adalah dengan memberi anak teladan, misalnya lewat praktik hidup berkelanjutan di keseharian. Nah, selanjutnya aku mau cerita apa saja kebiasaan-kebiasaan baik yang aku tanamkan ke si kecil.
Eat What You Grow Lewat Praktik Kebun Mini
Aku mengajak anak merawat kebun mini di rumah. Sejak dini, ia punya tanggung jawab menyiram tanaman (di bawah pengawasan orang tua). Supaya ia mengerti semangkuk bayam yang ia nikmati tidak hadir secara gratis. Ada proses dari menanam benih, merawat tanaman, panen, hingga proses memasak di dapur.
Harapannya, ia jadi menghargai lingkungan sekitar. Selain itu, lewat praktik kebun mini, kami ikut kontribusi mewujudkan ketahanan pangan sekaligus menekan emisi. Sebab, menanam sendiri sebagian makanan akan memangkas food miles sehingga menghemat energi solar.
Bijak Konsumsi Energi Listrik
Sebagai ibu yang hampir 24 jam berada di rumah, aku sangat memerhatikan efisiensi energi listrik keluarga. Secara perlahan, aku beralih ke peralatan elektronik yang hemat energi dan mengeliminasi beberapa barang yang kurang dibutuhkan seperti televisi dan pendingin ruangan.
Alhasil, sudah dua tahun kami hidup tanpa dua barang tadi. Bonusnya, kami punya lebih banyak waktu berkualitas tanpa distraksi.
Aku berharap saat putriku jadi ibu di masa depan, ia akan meneruskan kebiasaan baik ini ke anak cucunya.
Mengenalkan Green Jobs, Profesi Idaman di Masa Depan
Green jobs adalah jenis pekerjaan yang mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Selama dua tahun, aku sempat menggeluti profesi sebagai penulis kreatif di bidang lingkungan. Memang jauh dari kata bergelimang, tapi ada potensi karir yang menjanjikan seiring dengan makin tingginya kesadaran lingkungan.
Ini kesempatan emas mengenalkan profesi green jobs lainnya ke buah hati.
Ada banyak sekali bidang-bidang pekerjaan yang berkontribusi mengatasi perubahan iklim dan kerusakan lingkungan yang bisa ia jadikan profesi impian.
Mulai dari ecopreneur, desainer fesyen berkelanjutan, arsitek ramah lingkungan, tekhnisi tenaga surya, pemandu ekowisata, sampai peneliti lingkungan.
Membangun Koneksi antara Anak dengan Alam
Aku melihat tatapan kagum di wajah anakku ketika ia berinteraksi dengan alam. Matanya berbinar kala melihat indahnya laut, tawanya renyah saat bermain air di sungai, dan beragam celoteh bahasa bayi keluar dari bibir mungilnya saat main pasir pantai.
Ekspresi dan respon khas yang tidak kutemukan saat ia menonton "cocomelon" di gawai.
Aku yakin saat itu sedang terbentuk koneksi antara dirinya dan alam.
Bak hubungan dengan manusia, koneksi anak dengan alam juga perlu dirawat. Untuk itu, kami rutin mengagendakan wisata alam di akhir pekan.
Kala ia larut dalam kegembiraan bermain bersama sang alam. Aku sisipkan pesan-pesan cinta lingkungan.
"Udaranya sejuk karena banyak pohon yang menghasilkan oksigen"
"Nanti adek bantu jaga ya supaya airnya jernih terus"
"Kita beruntung hidup di Indonesia, adek bisa main pasir pantai sampai puas"
Selain menumbuhkan rasa cinta lingkungan, mengajak anak bermain di ruang terbuka hijau ternyata dapat meningkatkan imunitas. Studi yang dilakukan peneliti American Association for the Advancement of Science (AAAS) mengungkapkan anak yang lebih banyak beraktivitas di ruang terbuka hijau memiliki imunitas yang lebih kebal menghadapi penyakit.
Mengapa demikian? karena intervensi lingkungan hijau berpotensi meningkatkan jalur imunoregulasi yang berfungsi mengurangi risiko penyakit terkait dengan kekebalan tubuh. Planet Ark juga mengonfirmasi hal itu. Terjadi peningkatan kekebalan anak-anak dan area bermain luar ruangan yang hijau akibat perkembangan mikroba yang lebih beragam di kulit dan usus anak.
Temuan ini semoga dapat mendorong semakin banyak orang tua untuk lebih sering mengajak anak-anak berwisata ke alam atau ruang terbuka hijau di sekitar mereka.
Kapan Sebaiknya Memulai Sustainable Parenting?
Anaknya masih kecil kok sudah dicekoki isu perubahan iklim, apa nggak stress?
Studi Earth Global Warriors mengungkapkan justru di tahun-tahun pertama kehidupannya adalah saat yang paling tepat untuk mengajarkan topik yang kompleks ini tanpa menyebabkan gangguan kecemasan pada anak. Dengan catatan menggunakan pendekatan positif dan permainan menyenangkan.
Faktanya, 90 persen perkembangan otak terjadi sebelum usia lima tahun sehingga mengajarkan anak-anak kebiasaan positif yang erat dengan nilai-nilai lingkungan sejak usia muda (3-11 tahun) memiliki dampak jangka panjang hingga mereka dewasa nanti. Nilai-nilai tersebut akan terinternalisasi dengan baik dalam diri mereka.
Aduh nggak ngerti harus mulai sustainable parenting dari mana?
Langkahku mewujudkan pola asuh berkelanjutan dimulai dari hal-hal yang kecil menuju hal-hal yang lebih besar. Kita punya kebebasan untuk memulai dari mana saja sesuai kemampuan.
Selain itu, praktik sustainable parenting bisa dilakukan orang tua dari berbagai latar belakang. Pengasuhan berkelanjutan ini tak butuh keterampilan khusus maupun biaya tinggi.
Sustainable parenting adalah pola asuh yang inklusif, nggak pilih-pilih. Jadi, tunggu apalagi?
Catatan Penulis :
Menjalani peran sebagai ibu tidak akan mengaburkan peran kita dalam menjalankan aksi-aksi lingkungan. Peran mulia tersebut justru menempatkan perempuan pada posisi strategis dan terdepan dalam memerangi krisis iklim.
Sebagai ibu, kita semakin powerful.
Tulisan ini didedikasikan untuk semua ibu hebat di negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H