Bagi kebanyakan orang, momok dalam hidup mereka adalah pelajaran matematika. Bisa dimaklumi karena deretan angka dan operasi hitung dapat menyimpan trauma tersendiri. Namun bagiku, momok dalam hidup tak hanya soal matematika tapi juga jarak.
Tentu Kompasianer bertanya-tanya, bagaimana bisa membenci jarak ?
Ketakutan akan jarak berasal dari beberapa momen menyedihkan dalam hidupku. Aku masih ingat harus menanggung sedih sendirian karena menjalani Long Distance Relationship alias hubungan jarak jauh dengan keluarga dan pacar saat pertama kali merantau untuk studi lanjut.
Percayalah, perang melawan jarak sungguh tak mudah. Menjadi berjarak dengan orang-orang tersayang sama saja berjarak dengan kebahagiaan. Harus kuakui jarak menjadi pemenang kala itu. Selama di tanah rantau, alih-alih mempelajari hal-hal baru, Aku justru dikuasai gundah gulana.
Ya, Aku kalah telak melawan jarak.
Tak Mau Mengulang Kekalahan
Sejak Pemerintah mengkonfirmasi kasus pertama positif Covid-19 pada Maret lalu, keadaan seketika berubah. Untuk pertama kali dalam sejarah, pepatah “Bersama Kita Mampu” menjadi tak lagi relevan. Kegiatan berkumpul yang merupakan kebiasaan, kini justru jadi membahayakan.
Imbauan pemerintah mengatur agar masyarakat secara kompak menerapkan social distancing.
Social distancing menegaskan kembali definisi jarak. Kini angka tak lagi berarti, 10 kilometer atau 10 meter, dekat atau jauh, menjadi tak berbeda. Kita semua berjarak karena bertemu dan berkumpul sama saja menambah risiko penyebaran virus. Bagi masyarakat Indonesia yang sangat lekat dengan kegiatan “berkumpul-kumpul”, kondisi ini sangat menyiksa.
Sebagai mahasiswa, penerapan metode pembelajaran jarak jauh secara online menjadi satu tantangan baru buatku. Kekhawatiran akan tidak menguasai materi kuliah hingga berujung jebloknya nilai meneror hari-hari.
Bagaimana jika Aku sampai tidak lulus mata kuliah tertentu karena kuliah online tentu akan sangat bergantung dengan kualitas jaringan internet. Terlebih rumahku berada di daerah pinggiran kota, sehingga kemungkinan “susah sinyal” bisa saja terjadi kapan saja.
Bagaimanapun kondisinya kali ini Aku tak mau kalah sama jarak.