Mohon tunggu...
Juliaz Trioza
Juliaz Trioza Mohon Tunggu... -

Andalas University Student

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketegasan yang Krusial

8 Juli 2014   21:33 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:59 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pesta demokrasi kita sudah di depan mata. Hanya berjarak tidak lebih dari 1 hari penuh. Bagi kita yang telah memiliki hak pilih semestinya memilih kemana hati condong. Kesibukan yang tengah menghinggapi alangkah baik ada disisihkan waktu untuk datang ke tempat-tempat pemungutan suara memberikan hak demokrasi tersebut. Satu suara kita memang tidak terasa efek langsungnya, tetapi jika sebagian besar orang memiliki mindset yang sama yaitu tidak ikut andil, maka karamlah demokrasi ini.

Untuk yang belum memiliki ketetapan hati, mungkin tulisan ini bisa sedikit membantu. Namun tulisan ini jelas bukanlah sebuah kajian yang mendalam. Sekadar argumentasi-argumentasi liar yang muncul dari polah laku sehari-hari dalam hiruk pikuknya media yang berusaha menonjolkan tokohnya.

Dahulu sebelum negeri ini merdeka, detik-detik menuju proklamasi kemerdekaan adalah waktu yang sangat menentukan. Terutama ketika dalam sebuah ruangan tokoh-tokoh bangsa dilanda persoalan yang cukup rumit. Yakni saat menentukan siapa yang akan menandatangi teks proklamasi yang telah selesai ditulis. Menurut saya wajar saja situasi itu terjadi, karena perjuangan yang diusahakan adalah perjuangan bersama-sama. Sulit mencari siapa yang paling berjasa dan siapa yang tidak.

Namun kemudian, kita mendapatkan fakta sejarah bahwa yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Bung Karno dan Bung Hatta atas usulan seorang pemuda yang tidak kalah berjasanya, Sukarni. Ini paling tidak menggambarkan bahwasanya dua figur inilah yang paling mewakili apa yang menjadi visi dan tujuan bersama tokoh-tokoh bangsa ketika itu. Dalam konsep sederhananya, siapapun pejuang kemerdekaan ketika itu cukup dengan Bung Karno dan Bung Hatta saja telah mewakili apa yang menjadi semangat, goal, idealisme serta harapan mereka semua (para founding fathers tersebut).

Lalu untuk beberapa tahun kemudian dua tokoh ini menjadi duet maut dalam memajukan negeri. Sampai pada satu titik dimana keduanya mengalami perbedaan pemikiran dalam mengelola dan menentukan arah bangsa sehingga menyebabkan perpisahan. Bung Hatta memilih mengundurkan diri sebagai bentuk ketidaksepahaman tersebut lalu menjadi pengamat di luar. Saya kira Hatta memilih bersikap santai (sederhana) saja. Kalau mau, Hatta bisa saja mengupayakan banyak hal untuk mengkudeta Sukarno. Tetapi itu tidak dilakukan.

Sisi kebesaran hati dari mantan Wakil Presiden I itu kita tepikan karena tidak itu yang akan ditonjolkan dalam tulisan ini. Melainkan pentingnya kepaduan, sinergisitas, dan kesamaan katakanlah ‘skuad’ pendukung untuk presiden dan wakilnya. Jika tidak, saya membayangkan terjadi konflik dingin diantara presiden dan wakilnya serta skuad pendukung dibelakangnya. Jika tidak dingin ya panas, akhirnya berdampak sistemik pada rakyat.

Sukarno dan Hatta dikenal sebagai dwitunggal. Ini terang menjelaskan bahwa orang ini adalah figur yang satu namun memiliki raga yang berbeda. Jadi tidak perlu diragukan lagi kepaduan, sinergisitas, dan kesamaan skuad tadi. Karena orang-orang dibelakang dua orang ini adalah orang-orang yang sama dan memiliki kesamaan tekad. Tidak ada pendukung Sukarno dan juga tidak ada pendukung Hatta, tetapi adalah pendukung Sukarno-Hatta. Oleh karena itu, ketika mereka cerai, seperti yang saya singgung di atas, Hatta bisa saja melakukan banyak hal untuk menjatuhkan Sukarno, karena otomatis pasti ada pendukung dwitunggal ini yang lebih memihak Hatta dan tahu banyak kebobrokan Sukarno. Keberpihakan sebuah kondisi yang lumrah saja.

Mencoba mengaitkan dengan situasi terkini. Indonesia sekarang diliputi awan kelabu. Mengapa? Katanya dua pasang calon presiden dan wakil presiden ini tidak ada yang baik. Artinya rakyat mesti memilih satu orang yang berkumungkinan lebih berkomitmen memajukan bangsa. Apakah itu Jokowi-JK atau Prabowo-Hatta. Terserah mana yang paling hasanah menurut kita masing-masing.

Saya memandang, empat tokoh ini sama-sama memiliki aroma ‘kebaruan.’ Baru dalam arti ada peran dan tugas serta tanggung jawab baru yang mereka pikul nanti jika seandainya diamanahi rakyat. Minus Jusuf Kalla. Karena JK sudah pernah merasakan kursi wakil presiden sepuluh tahun yang lalu seandainya terpilih ia akan kembali menduduki kursi yang sama seperti tahun 2004.

Sementara, Jika melenggang Prabowo akan mengemban jabatan presiden yang tidak pernah sebelumnya diemban, jika terpilih Hatta Rajasa akan jadi wakil presiden juga jabatan yang tidak pernah diduduki sebelumnya, dan tentu saja Jokowi dengan kursi kepresidenannya kalau sukses di sembilan juli. Ini memberikan sebuah sinyal kepada kita rakyat bahwasanya para tokoh-tokoh ini akan bersemangat di peran, tugas, dan tanggung jawab baru tersebut. Maklum masih baru, tentu menjadi sebuah tantangan tersendiri untuk memulainya. Belum ada kejenuhan menjangkiti.

Jusuf Kalla dipandang berhasil dalam lima tahun bersama SBY. Banyak terobosan-terobosan baru yang beliau lakukan dalam mengatasi setiap persoalan-persoalan masyarakat. Atas prestasi itu beliau disebut-sebut sebagai The Real President. Sontak beliau naik nama, dan maju ke pemilu 2009 sebagai presiden tetapi belum sukses. Karena KIB II dipandang tidak cukup baik seperti KIB I, nama JK semakin mentereng. Kinerja beliau kembali dipuji-puji menjelang pilpres 2014 yang lantas membuat elektabilitas dan popularitasnya meningkat dan digadang-gadang maju sebagai presiden. Banyak tokoh-tokoh ‘kuat’ yang berdiri di belakang JK mendukung beliau untuk kembali mengarungi pilpres. Dalam waktu yang hampir bersamaan Jokowi pun muncul dengan pesona blusukannya. Beliau dinilai tokoh yang mampu membawa perubahan. Sama halnya dengan JK, banyak figur-figur ‘kuat’ yang ada di belakanngya Jokowi.

Tibalah waktu-waktu mendekati pemilu 2014. Kedua anak bangsa ini di luar dugaan ternyata berpasangan. Jokowi presiden dan JK wakil. Kemudian dalam masa-masa kampanye pemberitaan media meluas. Ada banyak yang saya rasakan terkait pasangan ini. Salah satunya, saya menilai pasangan ini bukanlah pasangan dengan kelompok tokoh-tokoh ‘kuat’ dan massa yang sama. Sederhananya pendukung Jokowi ya pendukung Jokowi begitupun sebaliknya. Hanya karena dua orang ini terpasangkan maka dari itu, dua kubu pendukung mau tidak mau harus terima.

Hal ini media yang memberikan pengaruh kepada saya, tidak tampak memang, tapi jelas terasa. Bisa saja saya menarik kesimpulan pendukung Jokowi bisa jadi tidak suka dan benci JK atau sebaliknya. Hanya karena sosok Jokowi, mereka memilih nomor dua atau hanya karena JK mereka memilih nomor dua. Jadi tidak karena kedua-duanya. Artinya dua orang ini bukanlah pasangan yang ideal.

Pengamatan saya, JK berkarakter tidak suka di atur-atur karena beliau lincah. Dia punya cara sendiri untuk menyelesaikan masalah. Bayangkan dua orang yang hampir berjarak dua puluh tahun disatukan dalam satu pemerintahan dengan kondisi yang beda kubu pendukung karena favoritisme kepada tokoh masing-masing. Ditambah yang memimpin yang muda dan yang dipimpin yang tidak manut. Coba kembali dikaitkan dengan Sukarno-Hatta tadi. Apa jadinya kabinet yang dibentuk? Saya memprediksi jika mereka berdua terpilih jika tidak cerai maka akan banyak onak dan duri yang mengganjal. Perang gagasan, perang idealisme, perang style dan perang urat syaraf mungkin saja menjadi pemandangan sehari-hari. Akibatnya waktu lima tahun terhabiskan untuk mengurusi yang namanya titik temu. Ini hanya prediksi dengan perbandingan kasus Sukarno-Hatta.

Berkebalikan dengan pasangan Prabowo-Hatta. Media memberikan pengaruh kepada saya bahwasanya pendukung Prabowo juga menyepakati Hatta untuk jadi wakil. Hatta dinilai mampu melengkapi sejumlah kekurangan Prabowo. Begitupun dengan ‘orang-orang’ Hatta, juga menyetujui Prabowo untuk menjadi presiden. Simpatisan Hatta banyak yang menggagumi karakter Prabowo. Jadi, orang ini memiliki tokoh-tokoh pendukung dan basis massa pendukung yang sama selera. Yang memilih nomor satu adalah yang sama-sama mendukung Prabowo-Hatta bukan salah satu tokoh. Jika sudah begitu kestabilan pemerintahan akan terjamin dari konflik-konflik internal yang mungkin muncul. Fokus hanya akan terpusat dalam upaya-upaya menyejahterakan rakyat.

Namun ada juga syarat yang mesti terpenuhi untuk Prabowo-Hatta jika terpilih. Yaitu jangan menghambur-hamburkan kursi menteri kepada ketum-ketum partai. Jangan seperti KIB II yang hampir semua ketum partai koalisi menduduki jabatan menteri. Aneh. Maka pilihlah ketum-ketum yang memang berkompetensi dan ahli untuk jabatan menteri tersebut, disinilah dituntut ketegasan yang krusial.

Ketua umum partai, seperti yang kita ketahui adalah kader terbaik dari partai yang bersangkutan. Jadi pastilah ketum-ketum tersebut yang dimajukan untuk maju jadi presiden pada awalnya. Artinya para ketum ini pasti memiliki visi, gaya, cara tersendiri untuk menjalankan roda pemerintahan sebagai bentuk persiapannya maju sebagai presiden. Umumnya ketum-ketum ini adalah orang-orang yang berkarakter generalis, bermasalah dalam hal teknis dan kagok dalam hal-hal yang spesifik. Bayangkan jika presiden dan wakilnya orang-orang generalis dibantu oleh para menteri gagal maju jadi presiden yang juga berkarakter generalis dan punya visi, gaya, dan cara tersendiri dalam menjalankan pemerintahan. Apa jadinya? A kata sang presiden B kata para menteri. Tidak akan ada implementasi dari setiap gagasan dan tidak akan ada kerja-kerja nyata untuk mewujudkan visi besar. Jelas amburadul. Inilah yang jangan sampai terjadi dalam kabinet Prabowo-Hatta nantinya. Selamat memilih!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun