Mohon tunggu...
Julia Syafitri
Julia Syafitri Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Siswa SMPN 7 Depok

Saya hobi masak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menipis Opini Negatif Seputar Khilafah

24 Oktober 2023   16:58 Diperbarui: 24 Oktober 2023   17:03 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Keempat, pendapat Donald juga tidak mendalam dan sangat tendensius. Sebab, sungguhpun dalam Khilafah tidak ada konstitusi dalam pengertian Barat yang ditetapkan oleh majelis wakil rakyat, dalam Islam diakui adanya berbagai hukum yang diadopsi Khalifah untuk mengatur urusan rakyat (An-Nabhani, 2001: 86; 1953: 116-127). Bukankah hukum-hukum ini fungsinya sama dengan konsitusi dan undang-undang modern, yakni untuk mengatur urusan publik?

Pendapat para orientalis di atas akhirnya diadopsi oleh sebagian kalangan intelektual Muslim seperti Ali Abdur Raziq. Nama ini pantas disebut secara khusus, namun bukan dalam konteks keteladanan, melainkan dalam konteks kelancangannya menjadi ulama pertama yang mengingkari wajibnya Khilafah. Bukunya, Al-Islm wa Ushl al-Hukm, yang terbit di Mesir tahun 1925 menafikan hubungan Islam dengan politik. Raziq, dalam bukunya itu (hlm. 150 dan 167) menolak adanya sebuah sistem pemerintahan dalam Islam dan menolak bahwa Rasul telah mendirikan sebuah negara yang bersifat politis (Al-Khalidi, 1980: 85). Sementara itu, Dr. Sulaiman ath-Thamawi dalam bukunya, As-Sulthath ats-Tsalts halaman 282 mengatakan, bahwa al-Quran dan as-Sunnah tak pernah menyinggung masalah pemerintahan, kecuali sekilas dan sekelumit saja (Al-Khalidi, 1980: 87). Karena itu, bentuk sistem pemerintahan dalam Islam akan selalu berkembang dan berubah mengikuti tuntutan perkembangan masyarakat. Inilah juga inti pendapat Muhammad Al-Baltaji dalam bukunya, Manhaj Umar ibn al-Khaththb f at-Tasyr (hlm. 417), dan Dr. Muhammad Abdullah Al-Arabi dalam bukunya, Nizhm al-Hukm f al-Islm (hlm. 49) (Al-Khalidi, 1980: 87). Ujung-ujung berbagai opini ini akhirnya dapat diduga, yaitu menolak konsep Khilafah dan menerima sistem demokrasi yang ada. Fazlur Rahman, misalnya, menyatakan bahwa negara dalam Islam adalah berbentuk republik demokrasi dengan berkedaulatan rakyat. Menurutnya, sistem demokrasi ini sesuai dengan Islam, realistis, dan akan menyenangkan masyarakat jika diterapkan (Amiruddin, 2000: 153).

Pendapat para orientalis dan para intelektual Muslim luar negeri yang negatif terhadap Khilafah ini pada gilirannya juga merasuki para intelektual Muslim di Indonesia. Harun Nasution (1983), misalnya, mengatakan bahwa tidak ada ayat atau hadis yang mengharuskan sistem pemerintahan tertentu dalam Islam. Karena itu, dalam sejarah, bentuk sistem pemerintahan Islam bisa berubah-ubah. Masa Khalifah empat, menggunakan sistem demokratis dan republik (1983: 16), lalu pada masa Muawiyah, berbentuk monarki (1983: 18 & 23). Kemudian pada abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20, berbentuk monarki konstitusional, dan akhirnya pada paruh kedua abad ke-20, bercorak republik (1983: 23). Inti pendapat ini juga jelas, menolak konsep Khilafah sebagai bentuk negara dalam Islam dan menerima realitas yang ada.

Pendapat yang senada ini banyak sekali, yang intinya menolak negara Islam (Khilafah) dan membenarkan demokrasi, seperti Munawir Syadzali dalam bukunya, Islam dan Tata Negara (1990), Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya, Islam dan Masalah Kenegaraan (1985), Nurcholish Madjid dalam bukunya, Tidak Ada Negara Islam (1997). Masih banyak lagi. Kiranya kini sangat sulit sekali menemukan intelektual atau ulama Indonesia yang ikhlas yang tetap mengakui wajibnya Khilafah. Sulit sekali menemukannya. Kalaupun ada, hanya segelintir, misalnya KH. Moenawar Khalil dalam bukunya, Khalifah (Kepala Negara) Sepanjang Pimpinan Qur`an dan Sunnah (1984) dan Ulil Amri (1984).

Terhadap berbagai opini intelektual Muslim ini, dapat diajukan beberapa jawaban secara garis besar. Pertama, dari segi orisinalitas, opini-opini tersebut sesungguhnya tidaklah orisinal, tetapi sekadar plagiat dan imitasi dari pendapat orientalis yang kafir. Tujuannya sama dengan orientalis, yakni menolak negara Islam dan membenarkan peradaban Barat yang tengah menguasai Dunia Islam, tak ada lain.

Kedua, dari segi ide dasar, para intelektual tersebut (seperti Ali Abdur Raziq, Harun Nasution, dan Nurcholish Madjid) sebenarnya telah mempercayai sekularisme sebagai standar yang absolut dan tidak boleh diubah. Sekularisme yang merupakan pengalaman lokal Barat telah dianggap bisa berlaku secara universal sehingga bisa diterapkan pula untuk umat Islam (Audi, 2002: xiv). Jadi, Islamlah yang harus diubah jika tidak sesuai dengan sekularisme, atau sekularisme dicari-cari justifikasinya secara paksa dari khazanah pemikiran Islam (Armas, 2003: 14-22).

Ketiga, dari segi metode berpikir (tharqah at-tafkr), para intelektual itu telah menjadikan realitas sebagai sumber pemikiran. Positivisme yang menjadikan realitas empirik sebagai sumber pengetahuan telah menjadi pegangan absolut, melebihi sumber pengetahuan berupa wahyu (al-Quran dan as-Sunnah). Ini tampak jelas dari cara berpikir Harun Nasution, yang mengatakan bahwa sistem pemerintahan selalu berubah-ubah sepanjang sejarah. Karena sekarang bentuknya republik, bukan Khilafah, maka republik itulah yang benar. Tentu, cara berpikir ini sangat naif. Sebab, yang berubah sebenarnya bukanlah sistem pemerintahan Islam secara normatif, melainkan bentuk atau cara pelaksanaannya secara praktis-empiris, yang bisa saja menjadi tidak sesuai dengan Islam. Contohnya adalah sistem putra mahkota semasa Muawiyah. Ini adalah penyimpangan. Dengan adanya fakta semacam ini dalam realitas sejarah Islam, tidak berarti bahwa Islam membenarkannya.

Keempat, secara syar, opini-opini yang menolak Khilafah adalah benar-benar suatu pendapat yang baru pada abad ke-20, yang tidak pernah diungkapkan oleh seorang pun dari kalangan mujtahidin yang terpercaya. Ini berkebalikan secara total dengan pendapat palsu Abdullah Ahmed an-Naim, misalnya, yang mengatakan bahwa ide negara Islam adalah pembaruan yang dilakukan oleh kaum fundamentalis selama paruh kedua abad ke-20 (Berger, 2003: 202). Memang, kosakata negara Islam (ad-dawlah al-islmiyyah) populer pada abad XX. Akan tetapi, sejak dulu para ulama telah menggunakan istilah imamah, khilafah, atau darul Islam untuk maksud yang sama (Az-Zuhaili, 1996: 823). Dalam hal kewajibannya, Syaikh Abdurrahman al-Jaziri, dalam kitabnya, Al-Fiqh al al-Madzhib al-Arbaah, (juz V hlm. 308), telah menukilkan bahwa Imam Abu Hanifah, Malik, Syafii, dan Ahmad telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu hukumnya wajib. (Al-Jaziri, 1999: 308; Ad-Dimasyqi, 1996: 208).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun