[caption id="attachment_90586" align="aligncenter" width="600" caption="Air laut berwarna coklat di pantai Baron / foto dok.Juliastri Sn"][/caption]
Lama tidak berlibur ke pantai, tanggal 15 Februari 2011 kemarin, bertepatan dengan tanggal merah peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW, saya beserta suami, anak dan saudara melakukan tamasya dadakan ke Pantai Baron. Tanpa rencana sebenarnya, dan hampir batal karena cuaca mendung yang mengindikasikan akan turun hujan menjadi kendala terbesar. Tapi berbekal niat karena anak saya, Andro yang berusia 3 tahun lebih 4 bulan belum pernah melihat pantai secara live ( langsung ) dan saya ingin dia mengenal apa itu pantai dan laut, mendung tidak jadi masalah. Toh ada lagu yang mengatakan bahwa mendung tak berarti hujan kan ? Lagu ciptaan Deddy Dores sepertinya.
Maka, jadilah kita berlima menuju ke Pantai Baron yang berjarak 20 km dari kota Wonosari, memakan waktu perjalanan kurang lebih setengah jam dari lokasi rumah saya yang kebetulan tinggal di Gunung Kidul, 7 km dari kota Wonosari. Pantai Baron terletak di Desa Kemadang, Kecamatan Tanjung Sari, Kabupaten Gunung Kidul. Mendung masih menggayut, tapi perjalanan tetap kami lalui. Sedikit penasaran juga ingin melihat bagaimana kondisi pantai Baron terkini setelah lebih dari 10 tahun saya tidak kesana. Dan bedanya, dulu saya kesana masih gadis, sekarang sudah punya suami dan anak. Menakjubkan.
Sampai di lokasi masuk di depan, kurang lebih 100 m dari pantai, tampak kondisi yang tidak beda jauh dengan 10 tahun yang lalu. Hanya warung-warung berjualan semakin penuh sesak dibandingkan dulu yang masih jarang-jarang. Angin semilir menyambut kedatangan kami. Masih mendung, menghadirkan nuansa romantis yang menyejukkan.
Kapal-kapal nelayan diparkir di bibir pantai. Banyak jumlahnya, mungkin belasan. Jumlah tepatnya berapa, maaf saya tidak ngitung hehe..Bisa dibilang, pantai Baron adalah pantai nelayan. Dimana sumber ikan laut banyak didapat disini. Bau amis khas ikan menusuk hidung. Perpaduan antara jijik bagi yang tidak suka ikan dan lapar bagi yang menyukainya. Ikan Tongkol, Bawal putih,Kakap, lobster menjadi kekayaan hasil laut Baron. Tersedia dalam keadaan segar atau siap saji di warung-warung makan lokasi ini. Menu andalannya, sop Kakap. Mak nyuss..
Pasir di sepanjang bibir pantai menyambut kaki-kaki nan telanjang. Sengaja, sandal ditenteng hehe..Lembut terasa merasuk jiwa. Si kecil melompat-lompat tak sabar ingin melihat seperti apa itu pantai. Sesekali tangannya berontak dari pegangan, menginginkan kebebasan beralari-lari. Jadilah kejar-kejaran diiringi tawanya yang menggema. Lepas dan bebas.
Namun..ups..saya cukup terhenyak menyadari kenyataan air laut berwarna coklat yang biasanya bening dan kebiruan. Kok bisa ? Seumur hidup, baru kali ini saya melihat air laut berwarna coklat layaknya air kali nan keruh. Mencoba berpikir, mungkin karena musim hujan, sehingga air kali keruh yang masuk ke laut sedikit banyak membuat air laut ikut coklat. Mungkin juga, bisa jadi. Tapi sejak kapan ?
Apa boleh buat, terpaksa bermain ombak coklat dengan si kecil. Sungguh, sepuluh tahun yang lalu, terakhir saya kemari, air laut begitu bening sampai hewan-hewan kecil di dalam air kelihatan. Sekarang, boro-boro..mana kelihatan ?. Hanya beberapa ekor binatang kecil sejenis kepiting / yuyu dan jingking yang tampak berlarian di pasir. Banyak harapan, warna air coklat ini hanya sementara. Saat musim hujan saja.
Saat kegirangan membiarkan kaki-kaki basah oleh ombak yang bergulung, mata dibuat terbelalak saat ada sesuatu yang nyangkut di kaki. Aih..bungkus plastik, sandal dan materi-materi sampah berhamparan. Miris, menyadari kenyataan bahwa laut menjadi tempat sampah terluas. Jangan salahkan jika airnya berubah warna dan aroma.
Cuaca mendung menyembunyikan sang surya yang kembali ke peraduan. Harapan bisa menyaksikan sunset harus terkubur saat hujan tiba-tiba mengguyur tanpa permisi. Si kecil berlari-lari tertawa merasakan pertama kali hujan-hujanan. Bersama kami berlari menjauhi pantai dengan berlindung di atap-atap warung berharap tidak terlalu basah pakaian kami.
Akhirnya, wisata dadakan yang cukup singkat selama 30 menit harus kami sudahi. Hari mulai gelap dan hujan turun semakin deras. Sangat tidak nyaman jika tetap melanjutkan wisata. Hanya satu tujuan untuk kembali : pulang. Dengan sejuta rasa dan tanya. Kenapa dan ada apa dengan Pantai Baron. Jangan biarkan ini jadi misteri. Kembalikan keasrian pantai Baron yang dulu. Saya jadi penasaran, apakah nasib saudara-saudaranya seperti Pantai Kukup, Krakal dan Sundak tidak beda jauh dengan Pantai Baron. Mengalami perubahan warna dan aroma air. Plus menjadi tempat sampah terluas. Semoga tidak. Lain waktu, ingin saya buktikan.