Rasanya tak akan habis berlembar-lembar halaman untuk menceritakan betapa aku sangat mengagumi ayahku. Hanya satu kebiasaan buruk ayah. Merokok. Dan rokoknya pun termasuk rokok yang berat karena meracik sendiri dari tembakau dan cengkeh dibungkus kertas cigarette yang dijual eceran di warung. Bisa dibayangkan bagaimana bahayanya. Hingga saat itu tiba. Aku baru saja berulang tahun ke-20 , ketika tiba-tiba ayah sesak nafas. Kami sekeluarga panik, dan segera berinisiatif membawa ayah ke rumah sakit. Dan ayah harus diopname. Diagnosa dokter menyatakan bahwa ayah mengalami pembengkakan paru-paru dan jantung. Kesimpulan yang diambil rokoklah penyebab penyakit ini.
Setiap hari aku menjaga ayah di rumah sakit, sepulang dari kuliah. Saat itu hari ketiga ayah diopname, nafas ayah masih dibantu dengan selang oksigen dan tangannya di infus. Wajahnya tampak pucat dan badannya melemah. Kasihan sekali aku melihat ayah. Jam di rumah sakit berdentang tepat jam 12 siang, ketiba tiba-tiba ayah berbicara,”Nduk, ayah akan dipanggil Tuhan, cium Ayah tiga kali,” aku tersentak. Dengan berlinang air mata kucium kedua pipi dan kening ayah. “ Jangan Ayah, aku belum lulus kuliah…,” seruku diantara isak tangisku. “ Tidak apa-apa, terserah Gusti…,” rasanya aku belum siap jika harus kehilangan ayah saat itu. Seharian aku tidak mau beranjak sedikit pun dari ayah, takut apa yang dikatakan ayah menjadi kenyataan. Aku belum bisa membahagiakan ayah, belum bisa menunjukkan kesuksesanku, belum bisa membalas semua pengorbanannya untukku. Kepada ibu, ayah juga mengatakan akan pergi jauh, entah jauh kemana.
Ayah ingin sekali merokok saat di Rumah Sakit. Jelas kami melarangnya, kami berbohong tidak ada penjual rokok. Penuh harap ayah memohon hanya minta satu rokok saja. Mungkin itu permintaan terakhir ayah yang tidak bisa kami kabulkan, karena dua hari setelah itu, ayah benar-benar dipanggil Tuhan. Sehari sebelumnya, ayah masih bisa mengobrol ketika kemudian tak sadarkan diri, nafasnya tinggal satu-satu. Aku menunggui hingga saat ayah menghembuskan nafas terakhirnya. Begitu cepat dan tanpa kesulitan sama sekali. Dibibirnya tersungging seulas senyuman. Mungkin ayah telah menemukan kedamaiannya bersama Tuhan. Mungkin itu yang terbaik untuk semuanya. Dan aku, ikhlas menjalani semuanya, aku sudah siap kehilangan ayah jika memang telah tersedia tempat yang kekal baginya di surga. Semua penderitaannya di dunia sirna sudah. Banyak yang kehilangan figur ayah. Penjaja buku dan komik keliling itu telah berpulang…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H