Tepat tanggal 10 desember, dunia memperingatinya sebagai hari Hak Asasi Manusia. Setiap kali mendengar kata HAM selalu teringat dengan satu nama yang begitu melekat di otak kita adalah aktivis yang begitu vokal memperjuangkan HAM di indonesia agar bisa tegak seadil-adilnya. Siapa lagi beliau kalau bukan Munir. Lahir di kota kecil Batu pada tanggal 8 desember 1965 dari pasangan Sahid Thalib dan Jamillah. Perjalananya hidupnya dimulai saat ia lulus kuliah dari fakultas hukum di Universitas Brawijaya Malang pada tahun 1985-1990. Pada masa kulaih Munir sangat aktif dalam berbagai organisasi kampus. Seperti menjadi ketua senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, anggota HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) cabang Malang di tahun 1988 dan di tahun berikutnya 1989 Munir pun menjadi Koordinator Asosiasi Mahasiswa Hukum Indonesia .
“Apabila negeri ini semakin demokratis, saya akan berhenti jadi lawyer. Lalu saya akan berdagang saja di Batu” – Munir.
Munir menyelesaikan skripsinya dengan judul , “ Perlindungan Hukum Terhadap Buruh dalam Penetapan Upah Di Perusahaan Industri”. Selain ia aktif dalam beberapa organisasi, karir munir pun di mulai saat menjadi sukarela LBH di Surabaya dan ia pun berhasil menjadi ketua LBH Surabaya dan concern pada advokasi buruh. Dalam rentang waktu 1993-1996 Munir menangani kasus-kasus yang cukup sulit, diantaranya adalah kasus korban pelanggaran HAM dan kekerasan aparat keamanan, kasus pembunuhan Marsinah, kasus perebutan tanah Nipah, kasus tuduhan otak kerusuhan terhadap petani dan mahasiswa di Pasuruan.
Semenjak beberapa kasus-kasus itu mulai terdengar di permukaan, Munir mulai diperhitungkan namanya. Ia pun mulai ke Jakarta dan masuk dalam YLBHI. Di masa ini, ia mulai menangani kasus-kasus politik dan subversif tingkat nasional. Yang paling terkenal kasusnya pada waktu itu saat kasus tuduhan subversi terhadap Sri Bintang Pamungkas dan Munir ia menjadi penasehat hukumnya. Pada bulan desember 1997, Munir melakukan walk out karena majelis hakim tidak mengabulkan permintaan mengabulkan saksi.
Berlanjut pada 20 Maret 1998, Munir mendirikan Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan sekaligus menjadi koordinator sejak saat itu. Semenjak itulah ia mulai dikenal sebagai tokoh penegak HAM di indonesia. Prestasi yang dibuatnya adalah saat berhasil mengungkap kasus penculikan aktivis sepanjang 1997-1998 yang dilakukan tim mawar. Lalu, menjadi penasehat hukum dari keluarga korabn tanjung priok dan kasus-kasus HAM lainya seperti di lampung, aceh, papua dan timor-timor.
Munir pun mendapatkan beberapa penghargaan pada tahun 2000, yaitu terpilih sebagai Leaders of Millenium majalah Asiaweek, mendapat penghargaan The Right Livelihood Award dari Swedia untuk pengembangan kontrol sipil atas militer dan promosi HAM, mendapat penghargaan An Honourable Mention of 2000 Unesco Madajeet Singh Prize atas usahanya mempromosikan toleransi dan anti kekerasan di Paris, dan juga terpili sebagai 100 tokoh Indonesia paling berpengaruh abad XX dari majalah forum keadilan.
Pada tahun 2000-2002 Munir mendirikan Imparsial The Indonesian Human Rights Monitor pada 25 Juni 2002, lembaga ini bergerak di bidang pengawasan dan penyelidikan pelanggaran HAM di Indonesia. Ia juga menjadi direktur eksekutif lembaga itu. Kisah ini pun sangat memiluhkan ketika Munir akan menempuh studi S2nya di Belanda. Tepat di 6 September 2007, Polycarpus mengajak berbincang saat di caffe transit di Bandara Changi Singapore. Disinilah, Polycarpus memasukan arsenik di minuman Munir. Saat balik di pesawat, Munir beberapa kali ke kamar mandi membuang air dan muntah mengeluh perutnya sakit kepada pramugara Bondan. Kebetulan padaa saat itu di pesawat yang sama ada dr.Tarmizi, beliaulah yang memeriksa kondisi denyut nadi Munir yang sudah mulai lemah dan kekurangan cairan dalam tubuh. Dokter Tarmizi menyuntikan primperan, efek obat itu menyebabkan Munir tertidur. Dua jam kemudian Munir terbangun, kembali ke toilet. Kondisi badan begitu sangat lemas dan hanya bisa bersandar pada dinding. Berselang 5 jam, mulutnya mulai mengeluarkan air tidak berbusa dan telapak tanganya membiru. Setelah diperiksa sejenak oleh dr. Tarmizi ia berkata bahwa Munir Telah meninggal dunia ketika pesawat berada di langit Rumania.
Sumber ini saya dapat langsung saat berkunjung ke Omah Munir yang terletak di jalan Bukit Berbunga No. 02, Batu Jawa Timur. Dahulu tempat ini adalah tempat tinggal Munir dan keluarga. Namun tepat satu tahun lalu di tanggal 8 desember 2013 sudah berganti fungsi sebagai museum HAM pertama dan satu-satunya di Indonesia dan Asia. Selain untuk tempat pembelajaran HAM pada masyarakat, tempat ini pun di jadikan tempat diskusi.
Seperti kita ketahui bersama, pelaksanaan penegakan hukum masih sangat jauh dari apa yang diharapkan oleh semua rakyat Indonesia, masih banyak terjadi pelanggaran - pelanggaran HAM yang terjadi di negeri kita ini baik itu atas nama negara atau institusi tertentu .Namun apakah disengaja ataupun tidak , negara (dalam hal ini yaitu Komnas HAM) sepertinya sangat lamban untuk mengungkap dan mengupas secara detail kasus – kasus pelanggaran HAM yang terjadi baik itu kasus yang disorot media ataupun yang tidak terlalu disorot . Apalagi disaat Orde baru berkuasa , terlalu banyak kasus – kasus pelanggaran HAM yang belum bisa terungkap dan tertutupi awal tebal oleh konspirasi pihak elite kekuasaan pada saat itu dan diterusakan saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H