Mohon tunggu...
Julia Rachmawati
Julia Rachmawati Mohon Tunggu... karyawan swasta -

I'm a women but I think 'rationally' as men. Maybe look like a men in a woman's body. LOL. :)

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Menunggu Giliran di Negeri 1000 Tumbal.

2 Maret 2015   06:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:18 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku membayangkan negeri ini seperti negeri diatas awan, yang selalu disegani negara lain, menjadi negara yang makmur, sejahtera, semua hasil buminya bisa dikelola dan dinikmati oleh kaum pribumi. Mungkin tak ada lagi cerita si miskin yang selalu merintih kelaparan, sakit tak terurus dan mati terbuang di jalanan, tak ada lagi si bodoh yang tidak mendapatkan pendidikan secara layak dan yang mereka bisa hanya menjadi buruh-buruh pabrik, buruh-buruh tani yang mengelola lahan-lahan tuan tanah dengan hanya mendapatkan upah yg tak layak atau tak ada lagi cerita seorang tkw yg disiksa majikanya yang bengis. Mereka ini yang selalu saja terampas hak-haknya sebagai manusia. Lalu siapa yang harus dipersalahkan dalam masalah sosial seperti ini? Pemerintah? Orang-orang kaya yang berkuasa di negeri ini? Selalu saja itu-itu saja yang kita cari, siapa yang salah, siapa yang benar. Bukankan salah dan benar itu relatif, sebatas dari mata mana kita memandang? Namun akan beda cerita jika kita bicara tentang salah dan benar dari sudut keadilan manusia.

Kegelisahanku begitu membuncah ketika kata-kata keadilan digaungkan pada telingaku. Begitu memekan telinga dengan saking sebegitu seringnya masalah-masalah keadilan ini tak berujung kepastian. Lalu aku bertanya padanya diriku sendiri,”Memangnya masih ada keadilan di negeri ini bagi mereka yang sudah berjalan dijalan yang benar, namun tak berdaya karna mereka tidak punya kekayaan secara materi atau kekuasaan?” Kenapa selalu saja keadilan seolah samar sampai detik ini, menjadi kelam lalu hanyut dan terlupakan begitu saja oleh waktu. Apakah terlalu sulit keadilan yang hakiki bisa terwujud di negeri ini? Jangan-jangan keadilan itu hanya sebuah kiasan mitos, seperti cerita mitologi yang sempat aku dengar saat aku kecil dahulu? Atau karna mungkin terlalu banyak manusia yang mempunyai konspirasi busuk di negeri ini yang semakin merajalela, sampai-sampai mereka menghalalkan berbagai cara untuk menyingkirkan manusia lain untuk dijadikan tumbal demi melancarkan tujuan yang ingin mereka capai?

Beginilah menurut teori tentang keadilan, yaitu tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, dan tidak sewenang-wenang. Namun apa yang terjadi pada kenyataanya? Ada yang bilang jika keadilan itu bisa ditegakkan secara mutlak dengan hukum. Yang jadi pertanyaanya hukum yang seperti apa yang patut kita junjung dan kita percaya keabsahanya? Apakah benar jika ada pernyataan bahwa hukum itu tumpul keatas dan tajam kebawah? Ini berarti sama halnya kita membiarkan penindasan keadilan dalam selimut sistem hukum donk? Bawasanya hanya yang kaya yang bisa menguasai yang miskin, jika si kaya yang jelas-jelas melakukan kesalahan akan dengan mudah lepas dari jeratan hukuman itu sendiri. Namun jika si miskin yang bersalah, maka tak ada ampun baginya untuk melakukan pembelaan terhadap dirinya. Kasus-kasus seperti ini mungkin terlalu sering kita dengar dan saksikan di media massa. Bagi sebagian orang ini kasus klise di negeri ini.

Mari kita runut beberapa kasus yang pernah booming terjadi di negeri ini yang sampai detik ini tak kunjung usai dan menemukan titik temunya seperti : pembasmian kaum yang tertuduh terlibat PKI, bahkan tidak hanya itu beberapa orang yang biasa disebut SS atau soekarnois sentries/pendukung soekarno ini pun dicari, ditahan, dibantai, diperlakukan seperti binatang dalam rezim Soeharto yang pada waktu itu memproganda semua kalangan rakyat untuk membenci PKI dan  pada waktu itu PKI dijadikan tokoh antagonis bengis demi kepentingan kekuasaan Soeharto. Ia pun menjatuhkan pemerintahan Soekarno dan mengencarkan anti-komunis, sehingga rakyat pun tersulut dan klimaksnya terjadi saat 7 Jendral ditemukan mati di lubang buaya. PKI lah yg dijadikan tumbal, tertuduh menjadi biang kerok peristiwa itu. Rakyat geram dg pemberitaan media massa Berita Yudha. Orang-orang yg terlibat PKI menjadi tumbal politik yang ingin Soeharto capai, 3 juta orang menjadi korban pembunuhan massal  atas kebiadaban pemerintahan otoriternya pada waktu itu. 32 tahun kisah ini terbungkam, hak-hak orang yang masih hidup atau keluarga yang dianggap terkait dg komunisme menderita secara psikis, entah itu mendapat tekanan stigma masyarakat yang menganggap mereka kalangan masyarakat kelas dua di negara ini, terbuang dalam strata sosial masyarakat dengan perlakuan negara yang tidak adil, penghilangan hak-hak politis mereka saat rezim Orba.

Ada suatu titik terang dimana reformasi berhasil menggulingkan rezim kediktaktoran Soeharto pada tahun 1998, dimana Gusdur selaku seorang presiden pada waktu itu membenahi cerita sejarah kelam bangsa ini yang selama ini dibelokan  dan ia pun telah meminta maaf pada keluarga korban peristiwa 65/66. Gusdur pun memberikan solusi penyelesaian secara rekonsiliasi dan menyetujui pencabutan TAP MPRS XXV/1966, namun usulan itu menimbulkan protes dari publik terutama organisasi-organisasi islam. Selesai? Belum, ini belum selesai dalam upaya keadilan di massa lampau.

Lalu yang jadi pertanyaan selanjutnya apakah kasus-kasus ketidakadilan tersebut berhenti dan kita telah menemukan titik temu dalam penyelesaian masalah-masalah itu  setelah reformasi? Jawabanya tidak, menurutku reformasi masih gagal dalam penerapanya. Karna reformasi hanya mengganti aktor-aktornya itu sendiri. Bukan mereformasi suatu sistem didalamnya itu sendiri. Buktinya masih ada kasus-kasus kelam yang sampai detik ini pun masih terlalu samar kejelasanya. Kasus penculikan para aktivis dan penembakan mahasiswa 98, nyatanya sang aktor utama masih bisa menjabat di pemerintahan dan masih bisa berjibaku di dunia poltik di negara ini. Lalu liatlah kasus Munir pada 2004, ini cerita seorang pejuang HAM yang meninggal di atas pesawat diracun saat ia akan menempuh sekolah Magisternya di Belanda. Ia di racun oleh seorang pilot Garuda bernama Pollycarpus, disinyalir si pilot ini adalah kaki tangan BIN. Tercium aroma rencana pembunuhan Munir melibatkan para petinggi BIN, bukan hanya Muchdi , tapi juga Hendropriyono. Pollycarpus dijatuhi hukuman penjara selama 20 tahun atas dakwaan pembunuhan berencana pada tahun 2008. Selesai? Belum. Misteri pembunuhan Munir masih jauh dari kata “terungkap”. Nyatanya pada tahun 2014, sang bidak / sang eksekutor lapangan justru bebas. Iya Pollycarpus bebas, namun otak dalam pembunuhan ini masih tak tersentuh oleh hukum di negara ini. Mereka nyatanya masih bisa senyum lebar di setiap liputan media. Akupun heran akan hal  itu. Sungguh aneh, Munir adalah tumbal dari sebuah keniscayaan yang sulit aku percaya.

Dan yang terhangat adalah masalah mengenai pencalonan Kapolri, yang mencuat baru-baru ini. Menjadikan Budi Gunawan sebagai calon tunggalnya. Hampir seluruh lini media massa heboh dan topik ini selalu laris manis diburu masyarakat. Topik ini begitu sentral, sampai-sampai masyarakat begitu antusias dalam perbincangan mereka sehari-hari, entah itu di kantor, pasar, restoran padang, bahkan warung kopi sekalipun.

KPK sebagai lembaga yang bertugas dalam penegakan hukum dan tanpa  ampun terhadap koruptor di negeri ini menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka dalam kasus rekening gendut dan gratifikasi. Penetapan ini terjadi sehari sebelum sang Jendral menjalani fit and profer test di DPR RI. Tingkat fit and profer test bagi sang Jendral ini bisa dengan mudah dilalui tanpa hambatan di DPR RI. Ya khalayak pun tau, aktor-aktor selihai apa yang bermain dibalik gedung Nusantara Satu itu bukan? Mungkin inilah yang semakin membuat si Jendral merasa punya kekuatan dengan para pendukungnya. Apalagi dia telah mendapat sokongan dengan putusan pra-peradilan dari yang mulia hakim Sarpin.

Kemudian tanpa ragu pun pihak Polisi menetapkan beberapa komisioner KPK menjadi tersangka. Seperti Bambang Widjojanto dijadikan tersangka saat masih menjadi pengacara saat kasus pilkada kota waringan barat, lalu Abraham Samad pun dijadikan tersangka dalam kasus pemalsuan dokumen di Makassar. Kejadian ini begitu bertubi-tubi seolah menegaskan bahwa ada suatu ketakutan dipihak tertentu untuk sengaja menutupi dosa-dosa apa yang mereka perbuat.

Bisa kita liat, kasus-kasus diatas terjadi dilakukan secara sistematis sehingga sulit dalam upaya pengungkapan keadilan hingga akar rumput. Betapa bengis dan laknat mereka yang dengan sengaja menjadikan orang lain sebagai tumbal demi menjaga konspirasi-konspirasi busuk yang mereka pelihara. Setidaknya kita melawan ketidakadilan dari iblis yang berwujud manusia itu. Jika ini terus dibiarkan mungkin kita tinggal menunggu giliran siapa yang selajutnya dijadikan tumbal. Bisa jadi diriku, anda, atau anak-anak kita kelak? Bersiaplah!

Malang, 01 Maret 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun