[caption id="attachment_167065" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Julianto Simanjuntak** Suatu anugerah pernah mendampingi pecandu di tiga pusat rehabilitasi. Banyak suka-dukanya. Salah satu sukacita terbesar adalah saat mendengarkan cerita sesudah kembali ke rumah. Hubungan mereka pulih dengan orangtua, bahkan menjadi kebanggan ayah dan ibu. Senang banget mengetahui mereka melanjutkan kuliah. Satu dari antara mereka sudah lulus dari Fak Psikologi Undip. Soal karir mereka juga oke, alias punya pekerjaan yang baik. Ada alumni menjadi  pengusaha rumah makan di Jakarta. Saya pernah makan disana. Seorang lain, membantu Ayahnya mengelola perkebunan sawit yang sangat luas di Bengkulu, bisnis angkutan dan plus sarang burung walet. Ada yang membantu Ortunya berjualan stationary di Tangerang. Ada yang bekerja jual-beli  sepeda motor bekas di Bandung, dan seorang  mantan binaan kami lainnya sukses menjadi  sales properti di Kota Malang. Dukanya adalah, mereka sering membantah dan dan melawan. Mereka sulit menghargai otoritas. Tak jarang mereka membohongi kami. Kesedihan paling berat adalah mendengar ada dari antara  mereka  relaps (kambuh) setelah keluar dari rehabilitasi. Visi pelayanan kami memberi kekuatan dan semangat. Kami yakin jika mereka berubah, seluruh generasi anak-cucu mereka akan diselamatkan. "Menolong satu, menuai seribu", demikian saya saya menuliskan kalimat itu di hati. Konseling Imajiner Ada tiga hal yang kami bangun dalam hidup mereka:  rasa percaya diri,  berdamai dengan masa lalu, dan merancang masa depan. Salah satu terapi yang Penulis gunakan  adalah "terapi imajiner". Membantu  mereka fokus ke masa depan bukan ke masa lalu. Setiap acara pembinaan, saya meminta  mereka membayangkan dan merencanakan masa depan. Saya selalu menekankan hal ini: "Adalah lebih baik menjadi mantan pecandu atau orang jahat, daripada mantan orang baik". Mereka selalu tersenyum setiap mendengarkan kalimat itu. Penulis mengajak mereka berimajinasi seolah sudah menikah dan memiliki anak. Lalu saya ajak mereka bermain peran. Saya seolah menjadi anak dan mereka menjadi Ayah. Contohnya Anak: "Papa pernah nakal?" Ayah: "O iya, Papa dulu nakal sekali, nggak nurut sama Kakek" Anak: "Trus, kalau Papa nakal, Kakek bikin apa?" Ayah: "Wah, Kakek hukum Ayah, dan pernah juga dipukul karena suka keluar rumah nggak ijin" Anak: "Jadi Papa pernah nakal jugaya Pa." Ayah: "Iya tapi itu dulu, sekarang sudah tidak nak. Tidak taat sama Kakek membuat Papa pernah dikurung setahun di satu tempat, yang terpencil, jauh dari keramaian. Jarang ketemu Kakekmu dan teman-teman Papa. Sedih, susah dan nggak enak deh jadi anak yang tidak taat" Anak: " Kata guruku susah sembuh kalau pake narkoba, Papa hebat dong. Hore Papaku hebat" Ayah: "Iya nak, ini semua berkat Tuhan untuk kita." Memperhadapkan masa depan ke masa sekarang, membangun rasa tanggungjawab dalam diri mereka. Menantang mereka berguna bagi anak-anak membuat mereka semangat menata ulang hidup mereka. Merancang Cita-cita Untuk merancang masa depan, saya meminta mereka menuliskan cita-cita atau visi hidup mereka. Lalu bercerita kepada teman. Kadang mereka saling menertawakan diri atau teman, karena seolah tidak percaya mereka akan mendapatkannya. Penulis melatih mereka mengarang  masa depan. Seolah mereka sudah sembuh dan tidak terikat pada narkoba.  apa saja yang akan mereka lakukan, termasuk rencana sekolah dll. Pernah satu dari antara  mereka dengan lantang berkata: "Sepuluh tahun dari sekarang saya akan punya mobil pribadi. Dalam sisa hidup saya, setidaknya saya akan memiliki satu mercedes  new eyes." Saat itu mereka semua tertawa. Tapi, apa yang terjadi? Belum  sepuluh tahun anak tersebut sudah memiliki pekerjaan yang baik dan memiliki mobil pribadi, meski bukan mercedes. Menebus Masa Lalu Mereka sering dicap keluarga sebagai trouble maker. Dianggap biang kesusahan orangtua. Kadang dicap "sampah yang patut dibuang". Bahkan ada satu anak yang pernah disumpah ayahnya, "Semoga kamu mati saja di jalan raya sana, supaya tidak bikin saya susah". Menghadapi situasi itu Saya mengajak mereka untuk tidak berkecil hati.  Saya melatih mereka untuk menguatkan hati serta membangun tekad pribadi: "Saya memang mantan pecandu. Tetapi saya akan buktikan pada ayah-Ibu dan saudaraku, bahwa aku bisa berubah. Aku bertekad  akan menyenangkan mereka. Menebus masa laluku yang buruk dengan  hidup benar dan bertanggungjawab. Saya memang mantan  pecandu, sekarang tidak" Dengan membangun rada bangga akan masa lalu dan bertekad menebusnya, mereka bersemangat menjalani masa-masa di rumah rehabilitasi yang sangat berat awalnya. Mereka dibina selama 12 bulan, dengan kondisi yang sangat terbatas dengan kebebasan. Minim fasilitas, dan diajar bertanggung jawab. Saya selalu  menekankan bahwa menjadi pecandu merupakan satu pengalaman berharga. Jangan hanya menyesalkannya. Mengajar mereka  mensyukuri pengalaman buruk ini. Sebab Tuhan turut bekerja dalam segala sesuatu, asal percaya kepada Dia. Tidak semua orang pernah menjadi pecandu. Lewat pengalaman ini mereka lebih bisa memahami atau berempati pada pecandu. Kelak mereka bisa menjadi penolong bagi mereka yang bermasalah dengan narkoba. Itu yang saya alami pribadi, pernah menjadi pecandu meski tidak seberat mereka. Penulis dibesarkan dalam keluarga alkoholik, dan terbeban mendampingi mereka. Kalau ditanya banyak mana suka atau duka? Banyak sukanya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H