[caption id="attachment_158707" align="aligncenter" width="438" caption="from Google"][/caption] By Julianto Simanjuntak** Ini kisah tentang Sandi (samaran), dua belas tahun menderita depresi. Berkat dukungan Psikiaternya Sandi terus berjuang. Berkali kali putus asa hingga ingin mengakhiri hidup. Dia sama sekali tidak mendapat dukungan dari Ayahnya, Sementara komunikasi dengan istri sudah lama nyaris tidak berjalan. Perkawinan sandi sarat konflik. Ketidakmatangan emosi dan pribadi klien membuat dia mudah terpuruk meski menghadapi konflik kecil sekalipun. Setelah Ratusan hingga ribuan obat bersarang di tubuhnya, berobat kebanyak tempat, akhirnya Sandi pulih. Bagaimana prosesnya? Penyebab Depresi Depresi klien dimulai dengan konflik dan kekecewaan berat pada Ayahnya. Sejak kecil dia merasa ayahnya egois, selalu mau menang sendiri. Ayahnya terlalu sibuk dengan bisnis. Bukan saja tidak peduli dengan anak-anak, tapi keras dan cuek dengan kebutuhan anak. Sementara ibunya kasar dan keras. Relatif dari kecil hingga dewasa, Sandi kurang kasih sayang. Pernikahannyapun tidak membantu, pada saat yang sama Sandi dipicu konflik berat dengan pasangan. Ayahnya getol menekankan soal moral dan etika. Namun suatu ketika Sandi justru menemukan sendiri kehidupan ayahnya sendiri jauh dari apa yang dia 'kotbahkan'. Konflik dengan sang ayah makin berat, hingga Sandi menyimpan kepahitan. Tak sekalipun kata MAAF keluar dari Sang Ayah. Kemarahan menumpuk menimbulkan kepahitan. Kepahitan inilah membuat Sandi sulit tidur. Sampai seorang teman menganjurkan sandi ke psikiater. Dia diberikan beberapa obat anti depresan dan obat tidur setiap hari. Sandi sempat bosan dengan obat-obatnya. Karena Sandi senang dengan psikiaternya yang ramah, pandai dan rela mendengarkan unek-uneknya, maka dia selalu usahakan konsultasi. Setiap kali ke dokter sandi selalu menyalahkan ayahnya. Kepahitan jiwanya seolah memenjarakan batinnya. Saat dokter mengajak dia memaafkan, Sandi menutup pintu hatinya. Berjalan di Lorong yang Gelap Perjalanan depresi Sandi membuat dia seperti berjalan di lorong gelap tanpa ujung. Kepahitannya menjerumuskan jiwanya ke dalam depresi. Suatu hari Sandi dipaksa psikiater itu untuk rawat-inap selama dua minggu di sebuah unit depresi Rumah Sakit swasta terkenal. Di klinik depresi itu dia disatukan dengan pasien yang parah, yang sering bicara dengan tembok. Omong dan tertawa sendiri. Sandi protes pada dokternya, mengapa dia harus nginap di klinik depresi itu. Psikiaternya menegur dengan keras, "Sandi kamu harus berjuang sembuh. Jangan biarkan kepahitan kepada ayahmu membuat engkau menjadi salah satu seperti mereka". Demikian perkataan si dokter sambil menunjuk pada satu klien yang depresi akut. Saat itu Sandi shock, dan menimbulkan niat yang kuat untuk bisa sembuh. Dia juga disarankan banyak olahraga. Selain itu psikiaternya meminta Sandi bertemu orang-orang yang mengalami masalah yang sama dengan dia. Semacam konseling kelompok. Menurut Sandi itu sangat membantu. Sehingga dia merasa tidak sendirian menjalani masalah itu. Psiakiater menganjurkan Sandi mencari bantuan rohaniwan. Sandi kemudian meminta doa dan saran ke seorang Romo. Sebab Agama Sandi Katolik. Dia segera mencari Romo yang dikenal sudah menolong banyak orang seperti dirinya, di sebuah Rumah Sakit. Menurut cerita Sandi, disinilah awal pemulihan depresinya. Romo tersebut mengajak Sandi merenungkan kisah Yesus dengan segala penderitaanNya. Lalu membandingkan dengan dirinya. Entah bagaimana, kisah dan refleksi dari Sang Romo membantu proses pemulihan Sandi. Setelah bertemu beberapa kali dengan Romo itu, Sandi bertekad memutuskan memaafkan Ayahnya. Apapun yang sudah dilakukan ayahnya. Setelah melepaskan pengampunan itu Sandi mulai bisa tidur nyenyak dan secara perlahan terlepas dari obatnya. Ada satu pengalaman yang membuat kami tak habis habis tertawa. Setelah Sandi pulih, barulah psikiater membuka rahasia. Ternyata beberapa saat terakhir Sandi sudah jarang diberi obat anti depresan. Dokternya hanya memberikan vitamin. Namun Sandi berpikir itu pasti obat depresi. Karena dia percaya dengan si dokter sandi tidak pernah bertanya lagi itu obat apa. Sang dokter mengatakan, Sandi hanya diberi anti depresan kalau kondisinya sangat membutuhkan. Tapi kebanyakan hanya diberi vitamin. Sebab dokter tahu gangguan sandi psikosomatis, hanya butuh teman bicara. Sandi kagum dengan kebijaksanaan dokternya. Tragedi Menjadi Komedi Hampir tiga jam kami ngobrol, dan kisahnya membuat Penulis, istri dan anak-anaknya tertawa. Jika dulu pengalaman itu suatu penderitaan, kini kebahagiaan. Jika dulu tragedi sekarang menjadi komedi. Sandi mengambil hikmah dari penderitaannya ini. Dia banyak bercerita tentang interaksinya dengan psikiater yang merawatnya. Di akhir sharingnya Sandi menuturkan buah manis keputusannya. "Kunci sembuh adalah niat saya memaafkan Ayah. Saya belajar memahami ayah dengan melihat masa lalunya. Saya melihat ada hikmah dari ketegasan dan kerasnya Ayah. Membuat saya lebih mandiri, tidak bergantung kepadanya. Justru itu membuat saya sukses sekarang ini, tapi bukan dengan jalan yang mudah. Saya sekarang baru bisa bilang trimakasih pada Ayah. Saya tahu dia sebenarnya baik, tapi kedaan pekerjaan dan masalah pribadinya membuat dia tidak dekat dengan anak-anak. Kini hubungan saya dengan Ayah membaik, juga dengan istri. Kini Saya meluangkan waktu seminggu sekali mendengarkan curhat teman-teman. Ada yang insomnia, depresi, dan tidak sedikit pasangan yang lagi konflik. Saya bisa memahami penderitaan mereka. Lagi pula saya sudah mendapat teknik konseling secara tidak langsung dari psikiater itu, dan saya gunakan. Berhasil. Banyak teman itu tertolong. Ternyata penderitaan 12 tahun itu banyak gunanya. Membayar budi psikiater saya belajar memberi telinga bagi teman-temanku yang membutuhkan telinga dan empati. Luka saya ternyata memberi mereka berani terluka, berani menjalaninya" Bang JS || Twitter ||
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H