Hari ini, kita hidup dalam dunia yang tak lagi mengenal batas. Setiap detik, setiap peristiwa, setiap momen terekam dalam layar. Generasi Z, yang lahir di tengah revolusi digital, tak sekadar menjadi saksi---mereka tumbuh, berkembang, dan menjadikan media sosial sebagai bagian dari identitas.
Instagram, TikTok, YouTube, dan Twitter bukan lagi sekadar alat komunikasi. Mereka berubah menjadi panggung. Tempat membentuk citra, membangun eksistensi, dan kadang, tanpa sadar, menjadi ruang yang melahirkan kecemasan. Di balik gemerlap filter dan algoritma yang begitu personal, ada standar-standar tak kasatmata yang mulai mengatur bagaimana kita melihat diri sendiri.
Tekanan Digital: Antara Realitas dan Ilusi
Ada banyak hal baik yang ditawarkan media sosial: akses informasi cepat, ruang ekspresi, hingga peluang membangun koneksi. Tapi seperti pedang bermata dua, ia juga bisa menjadi jebakan.
Tekanan untuk selalu terlihat sempurna. Kecemasan saat angka likes dan followers tak sejalan dengan ekspektasi. Perasaan tak cukup baik karena membandingkan diri dengan kehidupan yang tampak sempurna di layar orang lain. Fenomena ini bukan sekadar gangguan ringan, tapi sudah menjadi isu kesehatan mental yang serius.
Menyadari hal ini, Telkom University menggelar webinar bertajuk "Social Media and Self Worth: Menghadapi Tekanan Standar Sosial Online". Menghadirkan Psikolog Dr. Retha Arjadi, M.Psi., acara ini menjadi refleksi penting bagi kita yang hidup di tengah derasnya arus digital.
"Media sosial memudahkan komunikasi dan memberi hiburan, tapi di sisi lain, ia bisa menciptakan realitas semu, memicu perasaan cemas, bahkan membuat seseorang kehilangan jati diri," ungkap Dr. Retha.
Dalam dunia yang terus bergerak cepat, membangun penerimaan diri adalah tameng terbaik. Karena sejatinya, nilai diri tidak bisa ditentukan oleh algoritma.
Menjaga Self-Worth di Era Digital
Lalu, bagaimana kita bisa tetap sehat di tengah standar yang terus berubah?