Selamat malam, Â malam ini hujan.
Pergumulan seputar pemilihan kepala daerah di Jawa Barat di 2018 nanti, sungguh menarik untuk dicermati.
Gubernur petahana, Ahmad Heryawan atau biasa dipanggil Aher, sudah tidak bisa mengikuti kontestasi Pilkada Jabar lagi, mengingat sudah menjabat dua periode. Medan pertarungan menuju Jabar-1 pun relatif terbuka dan cenderung panas.
Di sisi lain, Jabar merupakan provinsi dengan jumlah pemilih terbanyak se-Indonesia, sehingga memiliki peran penting bagi percaturan politik nasional. Baik perebutan kursi di legislatif (pemilu legislatif) maupun eksekutif (pemilu presiden).
Keberadaan sebagian wilayah Jabar yang secara geografis berdekatan dengan Jakarta, menjadikan pertarungan politik di Jakarta maupun perebutan kekuasaan di tingkat nasional, sedikit banyak memengaruhi peta politik Jabar.Â
Bagaimanapun, Pilkada Jabar 2018 ini bakal menentukan masa depan Jabar dalam lima tahun ke depan. Perlu bagi kita mencermati peta koalisi yang bakal terjadi, peluang tiap kubu, dan apa implikasinya untuk warga Jabar.
Politik, pada dasarnya adalah kekuasaan, kemampuan untuk mencapai hasil yang diinginkan, apapun caranya. Harold Lasswell menjelaskan mengenai ini di buku klasiknya yang berjudul, Politics: Who Gets What, When, How? (1936).
Begitu juga dengan koalisi parpol yang terbentuk di Jawa Barat. Penentuan calon dan pembentukan koalisi yang menyertainya tentu berdasarkan kalkulasi politik, agar calon yang diusung bisa keluar sebagai pemenang dalam Pilkada Jabar 2018 nanti.
Hanya, berapapun pasangan calon yang bakal berkompetisi, harapan warga Jabar tentunya kontestasi dalam Pilkada Jabar 2018 ini merupakan ajang pertarungan gagasan, mengenai cara terbaik dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang masih dihadapi warga Jabar selama ini.
Melalui pilkada ini, tensi politik Jabar yang selama ini cukup rendah dan kondusif, diharapkan tetap terjaga. Bukan polarisasi yang bakal dimunculkan oleh para calon, melainkan rasa kebersamaan dan persatuan sebagai warga Jabar.
Semoga politik yang dikembangkan oleh para calon adalah politics for the people culture (Zainuddin Maliki, 2010) , yaitu politik yang berorientasi kepada kepentingan dan kebaikan bersama. Bukan kultur politik yang berorientasi untuk diri sendiri, atau politics for itself culture.