Mohon tunggu...
julianco hasibuan
julianco hasibuan Mohon Tunggu... -

Saya adalah saya..seseorang yg di KTP nya tertulis sebagai Mahasiswa. Anak seorang PNS yg suka merokok. Sering minum kopi yg dibeli sendiri. Kadang mengajar, lebih sering diajar. Tapi apakah ini perlu bagimu..sedang bila penting pun aku malu menceritakannya padamu. Mari kita berteman..bukan berpamer peran.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Di... Dik

6 Desember 2010   10:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:58 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12916309941396126404

"Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai "A", dari program master hingga doktor (diluar negeri). Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah (Rhenald Kasali)." Begitulah kira-kira kutipan pendapat salah seorang praktisi pendidikan Indonesia, dari komentarnya bisa kita lihat keprihatinan beliau akan dunia pendidikan di Indonesia yang carut-marut. Sangat jauh jika kita harus membandingkan perjalanan proses pendidikan di Indonesia dengan negara-negara maju. Mungkin tidak adil kalau harus membandingkannya dengan negara-negara maju. Tapi begini, mari kita cari contoh untuk melihat seberapa jauh "bandingan"nya, seperti Sumanto & Leonardo da Vinci, yang sama-sama ingin menjadi legenda setelah membongkar kuburan. Bedanya, Sumanto menyisakan tulang belulang setelahnya, sementara, da Vinci meninggalkan ilmu tentang gambar anatomi tubuh yang menjadi pakem sempurna. :) Pandangan tentang perbandingan diatas mungkin sudah kabur kemana-mana, atau malah cara didik negara kita yang sudah kabur kemana-mana. Gaya mendidik sudah diisi bermacam-macam paradigma dan persepsi pendidikan yang sama sekali tidak membangun karekter tapi justru malah merusaknya, mematikan rangsangan kepada siswa-siswi yang diajarnya untuk berkembang. Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, sundutan rokok kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru atau bahkan orang tua kita sendiri. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas...; Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah. Sewaktu kecil sering saya lihat begitu mudahnya guru memberi plot pintar dan bodoh hanya berdasarkan nilai-nilai dalam rapor, dan sering saya dengar, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh. Celakanya, persepsi mereka itu tidak dibarengi pengetahuan tentang pengenalan berproses pintar dan bodoh itu sendiri. Karena ketika berbicara proses...ada orang yg tambah pintar dan ada orang yg tambah bodoh. Untuk Mari kita cari! termasuk proses yg manakah kita?! gambar : disini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun