Oleh : Juliana Ewanika Hutagaol
(Mahasiswa Pendidikan Sosiologi UNJ)
Corona Virus atau sering juga disebut Covid-19 pertama kali muncul di kota Wuhan, Tiongkok pada akhir tahun 2019. Tak lama, virus ini mulai menyebar ke berbagai negara seperti Jepang dan Korea Selatan, Covid-19 juga mulai menyebar di negara-negara Eropa dan Amerika. Sama hal nya dengan negara-negara lain, Indonesia juga terpapar dan terkena dampak dari Covid-19 ini. Corona Virus (Covid-19) ini dapat menyebabkan penyakit yang ringan hingga penyakit yang berat, mulai dari common cold atau pilek hingga penyakit yang serius seperti SARS dan MERS. Penularan Covid-19 ini awalnya diduga berasal dari hewan ke manusia karena sebelumnya semua kasus-kasus yang muncul di Wuhan mempunyai riwayat kontak dengan hewan/binatang.
Cara penularan Covid-19 ini beragam, menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemkes RI), penularan Covid-19 dapat melalui benda-benda disekitar kita yang sudah tercemar oleh virus corona yang kita sentuh dan kemudian menyentuh mulut, hidung, dan mata. Selain itu menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), mengumumkan bahwa virus corona dapat juga menyebar melalui udara. Untuk itu, pemerintah selalu menganjurkan masyarakat untuk mematuhi protocol kesehatan yaitu memakai masker, rajin mencuci tangan, menjaga jarak, menghindari keramaian dan ruangan tertutup dengan pentilasi yang buruk.
Kasus Covid-19 di Indonesia pada awalnya, banyak warga negara yang perpapar virus corona, ada yang sembuh, namun ada juga yang meninggal. Belakangan ini, walau kasus yang terjangkit virus korona terus bertambah, namun angka kesembuhan masyarakat juga terus meningkat. Kasus Covid-19 pada hari ini (Jumat, 13 November 2020), ada sekitar 458 rb jiwa yang terjangkit virus corona, 385 rb jiwa sembuh, dan 15.037 jiwa yang meninggal dunia. Dengan kata lain, tingkat kesembuhan masyarakat Indonesia yang terjangkit virus corona kian hari semakin meningkat.
Adanya wabah virus corona (Covid-19) ini, membuat reaksi yang beragam dari masyarakat. Ada masyarakat yang panik dan serius, ada juga masyarakat yang menganggap wabah ini biasa saja dan tetap bersikap santai. Namun, masyarakat Indonesia lebih dominan merasa cemas. Kecemasan dan juga ketakutan dalam diri masyarakat karena ketidaksiapan dalam menghadapi virus corona ini akan menciptakan disorganisasi dan disfungsi sosial. Disorganisasi didalam masyarakat menciptakan situasi yang tidak menentu, bahkan akan berdampak pada tatanan sosial masyarakat. Misalnya, timbulnya prasangka dan diskriminasi. Hal ini akan menyebabkan perubahan perilaku sosial didalam masyarakat. Masyarakat yang awalnya saling peduli, saling bekerja sama dan membantu bila ada yang membutuhkan pertolongan, berubah menjadi masyarakat yang apatis dan mementingkan diri sendiri. Selain itu, akibat disfungsi sosial membuat masyarakat tidak mampu menjalankan fungsi sosialnya sesuai dengan status sosialnya sendiri. Misalnya, tenaga kesehatan yang tidak maksimal menjalankan perannya karena takut dan cemas akan virus corona. Selain itu, masyarakat menjadi suka berprasangka buruk terhadap oranglain. Masyarakat menjadi tidak peduli dan tidak mau menolong oranglain yang belum tentu terjangkit virus corona. Menurut George Ritzer dalam paradigm perilaku sosial, tingkah laku seorang individu mempunyai hubungan dengan lingkungan yang mempengaruhinya dalam bertingkah laku. Dengan kata lain, sikap dan tingkah laku individu yang apatis, suka berprasangka sehingga menimbulkan disorganisasi dan disfungsi sosial tersebut disebabkan oleh lingkungan yang dikarenakan Covid-19.
Covid-19 menciptakan keadaan dimana masyarakat siap tidak siap harus menerima perubahan dan keadaan serta protokol normal baru atau sering disebut “new normal”. Hal ini tentu bisa menggoyahkan nilai dan norma yang sudah ada didalam masyarakat. Namun, pada dasarnya masyarakat akan selalu mengalami perubahan. Dengan lahirnya “new normal” kita perlu mengetahui apakah perubahan yang terjadi akan bersifat total atau hanya menjadi negosiasi ulang dalam sistem sosial sehingga tercipta titik keseimbangan baru. Dengan begitu, nilai dan norma baru harus ditata ulang untuk menghasilkan sistem sosial yang baru. Melalui tata aturan yang baru tersebut, pemerintah memberikan himbauan kepada masyarakat untuk belajar, bekerja, dan beribadah dari rumah. Perubahan ini juga terlihat pada pola kehidupan masyarakat yang awalnya suka berkumpul dan bersalaman mulai harus terbiasa untuk melakukan pembatasan sosial.
Menurut Talcott Parsons, sosialisasi pertama kali terjadi pada diri individu, disini pemerintah melakukan sosialisasi dan himbauan untuk menerapkan protokol kesehatan dan new normal. Kemudian setelah sosialisasi tersebut ditanamkan, masyarakat akan memiliki nilai dan norma baru, yaitu kebiasaan-kebiasaan dan aturan baru seperti belajar, bekerja, dan beribadah dari rumah, di sini lah proses internalisasi kemudian makin menguat. Kemudian masyarakat akan memiliki yang namanya kesadaran kolektif. Disini individu sudah menjadi bagian yang sangat melekat pada diri masyarakatnya. Selanjutnya dalam konteks tindakan sosial aktor, tindakan manusia itu bersifat voluntaristik, yang di mana voluntaristik ini masyarakat menerima nilai-nilai, norma-norma dan juga aturan-aturan tersebut.
Perubahan-perubahan sosial dimasa pandemic Covid-19 ini melahirkan kebiasaan baru berupa perubahan perilaku sosial masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa tingkah laku individu itu dipengaruhi oleh lingkungannya. Dimasa pandemic Covid-19 ini, teknologi menjadi sangat penting yang dijadikan sebagai perantara masyarakat dalam melakukan interaksi sosial. Akibat adanya wabah virus corona ini, terjadi peningkatan pesat terhadap penggunaan perangkat teknologi informasi. Saat ini, teknologi informasi memiliki peran yang sangat penting, terlebih dalam sektor pendidikan yang saat ini melakukan pembelajaran jarak jauh melalui metode daring dengan memanfaatkan internet.
Dengan adanya penerapan new normal di Indonesia, bukan berarti kita merdeka dari Covid-19. Masyarakat dituntut untuk merubah perilaku lama menjadi suatu kebiasaan baru dengan memakai masker, rajin mencuci tangan, menjaga jarak, serta harus mematuhi protokol kesehatan. Dalam hal ini, masyarakat tidak boleh menunjukkan aktivitas normal tanpa mematuhi aturan protokol kesehatan. Dalam keadaan sekarang ini, masyarakat harus membiasakan diri melakukan budaya Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) agar mengurangi resiko terjangkit virus corona.
Pada masa wabah Covid-19 ini, masyarakat haruslah menjaga hubungan yang baik satu sama lain. Menurut Talcott Parsons dalam teorinya Struktural Fungsional, masyarakat merupakan bagian dari kumpulan dari sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan dan saling ketergantungan. Masyarakat memiliki norma, nilai, konsensus, dan bentuk kohesi sosial, dan juga masyarakat memiliki keteraturan dan keseimbangan. Fungsionalisme Struktural melihat masyarakat harus berjalan secara harmonis atau rukun atau seimbang dan harus mengindari konflik agar tidak terjadi disfungsi yang menyalahi nilai dan norma. Dengan begitu, walaupun Indonesia sedang diserang wabah virus yang berbahaya, masyarakat harus tetap berjalan bersama. Pemerintah dan juga masyarakat harus bekerja sama dan saling menjalankan peran dan fungsinya masing-masing, saling membantu, dan tolong menolong agar tetap tercipta masyarakat yang harmonis. Menurut Talcott Parsons untuk mempertahankan stabilitas masyarakat agar tetap eksis, harmonis, dan stabil harus melalui AGIL (1956). AGIL adalah singkatan atau akronim dari adaptasi, goal attainment, integrasi dan latency yang terbagi menjadi empat subsistem yaitu subsistem ekonomi, subsistem politik, subsistem sosial, dan subsistem budaya. Menurut Parsons subsistem ini sangat melekat dalam sistem sosial di masyarakat. Konsep AGIL menurut Talcott Parsons, yaitu :