Menghitung hari. Tak lebih dari sebulan lagi, insya Allah saya akan meninggalkan Mesir. Negeri yang mataharinya sudah menyinari saya selama kurang lebih tujuh tahun. Jarang hujan, sekalinya hujan deras bisa-bisa banjir dan libur nasional; maka di balik selimutlah tempat bersembunyi paling nyaman.
Melihat mundur waktu yang sudah saya lewati, Mesir banyak memberikan warna. Dari pertama kali menginjak sampai akhir kali, yang belum terjadi.
Adalah waktu di tahun ke tiga kuliah, saya dicoba. Ya, saya yang biasanya datar dalam bereaksi jadi bisa lebih ekspresif sedikit. Misal: banyu mata mili tiba-tiba tanpa aba-aba, atau nguyu-nguyu meski tidak ada yang lucu. Persis kayak ... ya, pokoknya itulah. Dan kadang menyembunyikan senyum di balik derita. Eh, kebalik deng.
Dan waktu itu saya jadi sadar, banyak kasih sayang yang Allah datangkan lewat tangan teman-teman. Mereka tetap ada, kendati saya aneh. Tetap hadir, meski saya usir. Dan untuk kebaikan yang saya ketahui atau tidak, Allahlah sebaik-baik pembalas kebaikan.
Karena kondisi yang tidak normal, saya pun cuti kuliah. Pulang ke tanah air. Sekembaliku ke Mesir setelah libur panjang, rasanya gembira. Setiap ketemu temen-temen ingin menyampaikan syukur dan bilang, "Aku sudah sehat. Alhamdulillah." Tapi akhirnya hanya bisa bersuara dalam hati.
Sekarang menemui masa-masa itu lagi, akan pergi meski ingin tetap tinggal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H