Untuk kesekian kalinya tangis mengiringi langkah kakimu menuju ruang kelas.
Tatapmu mencari cara agar kau tak disana.
Kadang Kau menang, kadang Kau kalah.
Namun hari ini Kau terpaksa melangkah.
Kubantau Kau dengan kata arahan.
“Ayo Ndu semangat, ayo Ndu yang kuat”.
Namun dengan polosnya Kau berucap” Engga bisa semangat, ‘dan’ engga bisa kuat”
Ujarmu menggambarkan dunia kemarin waktu.
Baru kelas 1 SD, Kau sudah belajar terbebani.
Kubelikan tas seret troli karena pundakmu tak kuat mengangkat tas pelajaran yang segitu beratnya.
Kubayangkan kelasmu menyenangkan, tapi tetap saja itu pelajaran, bukan permainan.
Ada PR yang harus Kau kerjakan, dan ada hafalan untuk Kau besok ujian.
Di sore hari ada pengajian, rutinitas yang harus Kau taklukkan.
Selepas Ashar wajahmu kembali merungut tanda keberatan.
Kembali lagi Kau harus mengalah dengan keadaan.
Dan lagi air mata ingin memeras saat Kau terpisah menuju kelas.
Andai ku punya uang.
Kan Ku datangkan guru untuk mengajar dirumah.
Meringankan beban pelajaran yang kebanyakan.
Tapi tidak sekarang, karena hidupku sedang empot-empotan.
Jangan hidupmu terbebani sedini ini.
Jangan kau sakit hati terhadap alam ini.
Main, main, main, bermainlah.
Di usia yang masih dini ini.
Dunia ini indah dan menarik bagi hati yang telah terpatri.
Jangan Kau bersedih hati.
Bukan salah Mu terpenjara budaya berpenyakit.
Jangan sampai Kau mengutuk waktu, menyesali terlahir dibumi.
Hidup di dunia ini untuk melepaskan dogma yang sakit.
Tersayat hatiku.
Melihat keceriaan Mu yang kerap memudar.
Menambah keruwetan yang sedang terjadi.
Tadi inginku menangis bersamamu.
Berbicara dan menyetujui bahwa hidup ini kadang-kadang kaya tai.
Namun ku Tak boleh.
Kau tak akan mengerti beban apa yang sedang Ku alami.
Berbatang-batang rokok kuhabiskan.
Seperti tak ada jalan keluar selain bersabar.
Rasanya nanti malam saja kumenangis bersama sepi, kepada yang setia mengasihi.
Karena beban yang kurasa sedang gegap gempita di dada ini.