Mohon tunggu...
Julia Fauziah Matondang
Julia Fauziah Matondang Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

a learner || a teacher of special students || a friend || a dreamer || a solo traveller || and a humble servant of Allah SWT

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Individu dengan Kebutuhan Khusus Juga Manusia

24 Desember 2011   00:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:50 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sudah 6 bulan saya bermukim di kota Birmingham, sebuah kota padat penduduk di Inggris Raya. Saya sudah mulai terbiasa dengan udara, cuaca, makanan dan ritme kehidupan di sini. Saya sangat bersyukur mendapat kesempatan yang luar biasa unuk menempuh kuliah lanjutan di negri Ratu Elizabeth. Saya kuliah S2 jurusan inklusi dan pendidikan khusus di University of Birmingham. Anugrah ini ingin saya manfaatkan dengan sebaik-baiknya agar kelak saya bisa membangun mimpi yang saya eram selama bertahun-tahun. Saya ingin menggali keahlian berinteraksi dan memberikan pendidikan yang baik kepada siswa-siswa saya nun jauh di kampung halaman sana, sebanyak yang saya mampu tentunya. Saya ingin punya sekolah yang memberikan pendidikan yang baik bagi individu yang memiliki kebutuhan khusus.

Di sini, saya sangat kagum sekaligus iri dengan kearifan masyarakat yang sangat menghargai mereka yang memiliki kebutuhan khusus. Sangat gampang menemukan fasilitas-fasilitas yang bersahabat dengan para para individu dengan kebutuhan khusus seperti, trotoar di buat dengan tekstur dan memiliki desain yang sangat baik agar kalau ada orang yang memiliki keterbatasan penglihatan –maaf buta- lewat bisa merabakan tongkatnya ke trotoar dan mengetahui kalau itu adalah batas penyeberangan, tidak hanya itu, lampu penyeberangan yang warna hijau juga di beri bunyi sebagai tanda kalau sudah aman untuk menyeberang.

Pernah suatu ketika teman sahabat saya di kampus, yang kebetulan memakai kursi roda karena kedua kakinya tidak berfungsi –maksudnya lumpuh- mengalami kesulitan untuk melintasi anak tangga menuju kampus. Setiap berangkat ke kampus dia selalu menunggu seseorang di tangga tersebut. Kebetulan areal kampus di Universita Birmingham ini sangat berbukit, jadi ada beberapa jalan menuju tempat perkuliahan dibuat dengan menggunakan beberapa anak tangga. Teman sahabat saya ini tidak mampu mengatur roda kursinya di tangga itu karena mungkin sangat curam atau tidak  menguntungkan untuk dilalui sendiri. Maka dengan sabar dia senantiasa menantikan pertolongan orang yang lewat, jika tidak dia harus berjalan lebih jauh untuk sampai di kampus. Namun untungnya setiap kali dia manunggu di tempat yang sama selalu ada yang membantunya, dan tak jarang adalah sahabat saya itu mendapat kesempatan membantu menurunkan kursi rodanya. Karena kesulitan yang ia rasakan, si teman sahabat saya menemui pihak kampus dan meminta supaya jalan menuju kampus kami itu di buat lebih landai sedikit dan bisa dengan mudah dilalui oleh orang yang memakai kursi roda. Sebenarnya tidak begitu kentara curamnya anak tangga tersebut jika di lalui oleh orang yang tidak menggunakan kursi roda, mungkin kira-kira hanya 30 cm, namun itu sangat berpengaruh baginya.  Awalnya saya bertaruh dalam hati, kalau pengaduan yang dibuat oleh teman sahabat saya ini, kalaupun dipenuhi, akan memakan waktu yang sangat lama, berbulan-bulan atau bahkan sampai bertahun. Saya mendengar kalau orang Inggris membangun sesuatu akan membutuhkan waktu yang sangat lama bila dibandingkan dengan pekerjaan konstruksi di negara saya, Indonesia. Di Indonesia jika ada proyek pembangunan jalan, contoh kasus seperti yang terjadi di kampung saya, perusahaan pemenang tender akan sangat cepat menyelesaikannya –selesai dengan lengkap atau selesai karena dananya menguap entah kemana- :) Cepat selesai, cepat pula rusaknya. Namun di sini, pekerjaan pembangunan jalan atau kontruksi lainnya dilakukan dengan sangat teliti dan hati-hati sehingga memakan waktu yang relatif lama.

Kembali ke cerita teman sahabat saya tadi, pengaduan yang dia buat –yang dalam benak saya jikapun terealisasi pasti bukan dia yang akan menikmati hasilnya karena tahun depan dia akan menyelesaikan perkuliahan dan akan kembali pulang ke kampung halamannya di Saudi Arabia. Ternyata, seminggu setelah dia mengadukan perihal anak tangga itu, saya berangkat ke kampus lewat tangga tersebut dan saya kaget melihat anak tangga yang dimaksud sudah dibongkar dan pekerja kontruksi sedang memperbaiki dan membuatnya menjadi landai seperti papan seluncuran di sekolah ku. Lagi, aku semakin iri dengan kesigapan mereka dalam memberikan hak yang sama bagi para individu yang memiliki kebutuhan khusus.

Demikian halnya dengan penyandang Autisme. Di negara ini saya melihat bahwa setiap individu dengan autisme bisa melakukan aktifitas luar ruangan sendiri tanpa pendamping. Mereka bisa bermain, berbelanja atau pergi ke tampat-tempat hiburan yang mereka senangi. Mereka sudah diberikan pembekalan yang sangat baik sejak dini di sekolah-sekolah khusus yang menyediakan pelayanan pendidikan atau terapi khusus sebagai bekal mereka untuk menempuh masa depannya dengan mandiri. Jika bepergian mereka selalu membawa kartu identitas yang memberikan keterangan kalau memiliki keterbatasan baik dalam hal komunikasi, sosialisasi dan interaksi. Ini dipergunakan jika mereka terkena masalah karena ketidakmengertian akan lingkungan atau tindakan mereka yang mungkin mengganggu tata aturan dan rambu yang berlaku di masyarakat. Polisi atau pihak yang berwenang akan dengan mudah mengidentifikasi dan akan mengembalikan mereka ke keluarganya melalui alamat yang tertera di kartu identitas tersebut. Saya sempat berada dalam satu bus dengan pria muda pemegang kartu identitas autisme. Saya duduk pas di belakang pemuda itu dan sekilas saya melihat badge kecil yang ada di dadanya tertera autism alert. Dia berprilaku baik layaknya orang biasa meskipun kadang-kadang ciri autisme-nya masih muncul seperti flapping atau mengibas-ngibaskan tangan dekat matanya. Namun yang paling penting adalah dia mampu berada di dalam lingkungan yang menurut para ahli autisme sangat berat bagi individu autis untuk menghadapinya.

Saya jadi teringat siswa-siswa saya yang ada di sekolah mungil kami di Padang, umumnya mereka belum pernah dibiarkan bepergian sendiri karena kekhawatiran akan keamanan mereka di luar sana. Mereka tidak bisa kemana-mana kecuali ditemani oleh orang tua atau pengasuh nya, bahkan ada yang lebih ironis lagi, mereka hanya dikurung di rumah tanpa diizinkan ikut dalam kegiatan luar rumah selain sekolah. Banyak alasan kenapa mereka diperlakukan seperti itu, bisa jadi karena orang tuanya tidak mau repot di jalan atau bahkan ada yang malu jika ada yang mengetahui salah satu dari anggota keluarganya memiliki kelainan (?).

Terlebih dari kekaguman dan semua temuan saya mengenai pelayanan terhadap individu-individu yang memiliki kebutuha khusus di Inggris ini, terbersit keinginan yang kuat dari dalam hati suatu saat bangsa saya, Indonesia tercinta, akan memberikan perhatian yang besar kepada mereka, memberikan hak yang sama dan memperlakukan mereka dengan “normal”. Dan yang lebih penting memandang mereka bukan dengan kacamata kecacatan mereka, namun memandang dengan kacamata bahwa mereka juga manusia yang memiliki hak yang tidak berbeda dengan kita semua. Salam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun