Saya menulis ini bukan karena numpang tenar atau ingin diakui. Saya bukan pengarang sastra kelas atas atau seorang cerpenis yang karyanya banyak dimuat. Saya menulis ini karena saya tidak buta dan punya nurani, karena saya membaca, dan paham isi bacaan saya. Tulisan ini juga ditujukan pada redaksi Kompas—Sunday Desk, yang selama ini memuat cerpen-cerpen barometer belajar bagi saya dan banyak orang sebagai penggiat sekaligus penikmat sastra.
Salah satu syarat pemuatan cerpen harian Kompas yang saya ingat adalah orisinalitas (berdasarkan twit Bli Fajar Arcana), baik dari semua unsur cerpen seperti bahasa, teknik bercerita, alur, cara pandang, dan lain sebagainya. Dengan membaca cerpen ‘LILIN MERAH DI BELAKANG MEJA MAHYONG’ karya Guntur Alam, saya mempertanyakan kadar orisinalitas cerpen tersebut, karena ditemukan banyak sekali kejanggalan—yang akhirnya melunturkan apresiasi kagum saya pada cerpen yang mengangkat budaya Tionghoa tersebut.
Kejanggalan tersebut didasari oleh identiknya isi cerpen tersebut dengan isi novel The Joy Luck Club milik pengarang internasional Amy Tan, yang pernah diterbitkan oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama berpuluh tahun lalu. Berikut saya jabarkan beberapa penggalan tulisan identik yang saya maksudkan:
Pembukaan cerpen: Seorang perempuan tua di balik meja mahyong teringat kepada sebatang lilin merah dalam wadah emas berpuluh-puluh tahun lalu. Lilin merah itu bertuliskan nama laki-laki dan perempuan di masing-masing ujungnya. Sebatang lilin yang harus terbakar tanpa terputus. Lilin merah yang akan menyegel si perempuan dalam pengabdian sebagai istri untuk selama-lamanya.
Cuplikan novel (hal 90-91):
- Lilin itu bersumbu pada kedua ujungnya. Pada satu ujungnya terukir dalam tinta emas nama Tyan-yu, pada ujung yang lain namaku.Â
- Aku melihat si Mak Comblang meletakkan lilin merah yang menyala itu di sebuah tempat yang berwarna emas, dan seterusnya.
- Lilin ini terbakar tanpa terputus pada kedua ujungnya. Ini perkawinan yang tak mungkin diputuskan.
- Lilin merah itu menyegelku dan suamiku serta keluarganya untuk selamanya tanpa kompromi.
Isi cerpen:Â
- Hantu bagi kami adalah apa-apa yang tak boleh disebut lagi. Jadi ibuku telah menjelma hantu. Dia belum mati, tetapi sudah dianggap mati.