Sahabat PEDAS,
Hari ini, selagi di tengah kesibukan mengikuti alur program harian, saya kebetulan membuat ulasan cerpen. Hal ini terdorong sesudah saya membaca makalah skripsi milik teman saya dari FIB UGM yang mengkaji cerpen pengarang Jepang. Dalam skripsinya teman saya mengulas karya sastra milik Haruki Murakami dengan mengunakan analisis teori semiotika Roland Barthes.
Siapa Roland Barthes? Ada yang kenal? Saya bukan mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB), jadi saat saya berjumpa teori semiotika Barthes, saya sangat bingung. Tapi, berhubung saya selalu menyenangi hal baru, saya mau juga mengenal Barthes bersama teori-teorinya. Ternyata, saat membaca buku-buku Roland Barthes, saya merasa pikiran saya mulai bergerak, berlari, dengan semangat berkobar-kobar terhadap karya yang diulas. Singkatnya saya penasaran.
Apa itu teori semiotika yang diulas Barthes? Menurut KBBI, se·mi·o·ti·ka /sémiotika/ n ilmu (teori) tt lambang dan tanda (dl bahasa, lalu lintas, kode morse, dsb); semiologi; ilmu tt semiotik. Maksudnya semiotika adalah pengkajian lambang atau tanda-tanda yang bisa dari apa saja, salah satunya dari karya sastra (atau karya tulis lebih umumnya). Barthes sendiri adalah pengusung teori semiotika konotasi, yang berarti lebih fokus mengkaji tanda-tanda pada makna yang implisit (tidak tersirat).
Makna dari teks/karya tulis/karya sastra yang tadinya sangat penting diagung-agungkan ternyata bagi Barthes adalah pengkajian yang sekunder, yang timbul akibat kesepakatan antara penulis dan pembaca (bersifat arbiter). Sehingga kita mengenal bagaimana penulis mati di tangan pembaca yang memahami makna tulisan dengan logikanya sendiri.
Karena adanya pemahaman seperti itu, maka relasi makna dalam teks karya tulis/sastra merupakan kesenangan membaca (the pleasure of the text). Makna bisa diinterpretasikan dengan berbagai wajah, dan Barthes memberikan pemahaman yang baru, terlepas dari interpretasi makna yang sudah ada sesuai pola pikir umum.
Barthes menggunakan kode-kode untuk memahami relasi makna dari sebuah karya tulis, yaitu:
1.Kode Aksi
2.Kode Teka-teki
3.Kode Budaya/Adat Istiadat
4.Kode Seme/Konotatif
5.Kode Simbolis
Sebelum menjabarkan kode-kode yang ada dalam teks, kita terlebih dulu menguraikan karya tulis menjadi leksia-leksia (leksia: penggalan kalimat dalam paragraf), sehingga lebih mudah dipahami.
KENAPA CERPEN MALAIKAT HUJAN?
Dalam ulasan ini saya tidak membahas cerpen Malaikat Hujan seluruhnya berdasarkan teori semiotik Barthes, tapi hanya mengambil garis besarnya saja. Saat saya memilih karya untuk diulas, cerpen Hazuki memang mewakili sejumlah kode tersebut di atas, antara lain kode teka-teki dan simbol. Walau belum bisa dibilang karya sastra yang setanding dengan sastrawan besar, tapi cerpen Malaikat Hujan ini membuat saya gemas.
Saat cerpen ini masuk dalam seleksi penilaian, cerpen ini unggul dari berbagai hal. Pertama adalah diksi yang mengalir. Cerpen seumpama perempuan. Raga cantiknya tentu menarik untuk dibaca. Tapi terlalu cantik juga akan membosankan. Kedua, ambiguitas yang diusung oleh Hazuki karena dia menyenangi fiksi fantasi, justru mendorong kita kaya dalam interpretasi makna. Kita bebas bersenang-senang membaca teks. Dua hal inti tersebut saat menyatu dalam pengolahan yang tepat akan menjadikan cerpen yang menarik pembaca.
MALAIKAT HUJAN YANG MISTERIUS
Tokoh AKU (NITA) yang diusung Hazuki sangat kental dan emosional. Terungkap dalam penggalan semacam ini:
·Begitukah? Bagiku, hujan hanya memperdengarkan goresanluka. Hujan hanya mengingatkanku pada sosok gadis kecil yang harusmenerima sabetan-sabetan rotan di sekujur tubuhnya. Hujan hanyamengingatkanku pada sosok wanita yang memanggil “monster” padaanaknya sendiri. Hujan hanya mengingatkanku pada malam kelam saatsang gadis kecil dilempar ke jalanan, dalam hujan!
·“Kenapa kau begitu tidak menyukai hujan?” tanyamu ketika itu.
·Aku menatap langit yang membiru sempurna dan memejamkanmata sejenak. Karena dalam hujan luka itu terasa semakin menyayat.“Aku menyukai langit yang membiru sempurna,” jawabku, membukamata dan menatapmu. “Hujan selalu suram dan muram.”
Gangguan emosional tokoh sangat jelas sepanjang cerpen. Interpretasi tokoh AKU terhadap simbol hujan berupa pesimisme berlebihan karena latar belakang tokoh yang penuh dengan kekerasan, secara tersirat dijabarkan seperti ini:
·Tidak ada kebahagiaan dalam hujan, sangkalku. Tentu saja kamuyang sedang menari itu tak mengerti, betapa hujan telah meneteskanribuan bahkan jutaan luka padaku.
Atau:
·Sungguh, jika saja kamu ada, kini, di sinilah aku. Berdiri di bawahhujan, di tempat kamu biasa menari, entah berapa putaran waktu yanglalu. Apakah aku sedih? Ataukah bahagia? Aku pun tak tahu. Hujanmasih mengingatkanku pada sabetan-sabetan rotan itu. Hujan masihmengingatkanku saat seorang anak kecil dilempar ke jalanan, ke bawahhujan. Hujan masih membuat langitku mengabu parau.
Hujan, secara konotatif, mewakili simbol kehidupan tokoh yang mengalami PTSD (Post Traumatic Syndrom Disorder) atau kondisi psikologis paska trauma. Sehingga saat “Malaikat Hujan” hadir, tokoh AKU ini terdesak berubah pemahamannya terhadap simbol hujan, dengan memberikan narasi seperti ini:
·Aku selalu melihatmu di sana. Di hari hujan, selalu di tempatyang sama. Kau akan menari dalam pelukan hujan, dan akumemperhatikanmu dari balik jendela kaca yang mengembun. Lucukupikir pada mulanya, saat melihat seorang laki-laki menari denganriangnya di bawah hujan. Tapi, kau yang terlihat begitu tenggelam itusungguh menarik perhatianku, lagi dan lagi, dan lagi…, dan lagi.
Malaikat Hujan digambarkan sebagai lelaki, yang jelas-jelas berlawanan, dan bertujuan memperjelas jarak/perbedaan antara keduanya, adalah tokoh yang spontan, riang, dan berjiwa bebas. Malaikat Hujan digambarkan Hazuki sebagai tokoh yang inspiratif dan positif. Pemikiran positif si Malaikat Hujan akhirnya menimbulkan pertentangan dalam diri si AKU yang pesimis, terungkap dalam kalimat:
·“Tapi, bukankah setelah hujan reda, langit terlihat begitusempurna? Bahkan, setelah hujan kita bisa melihat pelangi.”
·“Itu palsu,” kataku. “Pelangi menghadirkan warna-warna semuyang akan segera hilang terbawa angin dan memudar oleh paparanmatahari.”
·“Saat kamu sedang bersedih, berduka, atau kecewa,menangislah di bawah hujan,” katamu di hari hujan yang lain.
·Dan aku, seperti sebelumnya dan sebelumnya, dan sebelumnyadan sebelumnya, hanya tersenyum mendengarkan.
·“Hujan akan meluruhkan kesedihanmu, dan membawanya serta,jauh ke lautan.”
·Lucu. Jika pun setiap hari hujan turun, tak akan ada kesedihankuyang terbawa ke lautan. Justru airnya akan menggenang, menebarkankesedihan.
·“Jika kamu bahagia, kabarkan itu pada hujan,” kau masihmenjalin mimpi, “dan ia akan membagikannya pada semua orang.”
·Tidak ada kebahagiaan dalam hujan, sangkalku. Tentu saja kamuyang sedang menari itu tak mengerti, betapa hujan telah meneteskanribuan bahkan jutaan luka padaku.
Narasi dalam dialog dan pemikiran pertentangan ini, bermaksud memberikan pemahaman baru tentang simbol hujan bagi tokoh AKU. Betapa rasa cinta AKU terhadap jiwa bebas si Malaikat Hujan, merupakan kerinduan tokoh AKU kembali menjadi anak kecil yang normal, yang riang dan berjiwa bebas. Tapi kondisi diri AKU yang sekarang membentengi AKU berbuat hal yang sama seperti si Malaikat Hujan.
Dan Hazuki menutup akhir cerpennya dengan manis dan positif, karena tokoh AKU pun akhirnya berbuat hal yang sama dengan Malaikat Hujan saat tokoh itu pergi.
·Sungguh, jika saja kamu ada, kini, di sinilah aku. Berdiri di bawahhujan, di tempat kamu biasa menari, entah berapa putaran waktu yanglalu. Apakah aku sedih? Ataukah bahagia? Aku pun tak tahu. Hujanmasih mengingatkanku pada sabetan-sabetan rotan itu. Hujan masihmengingatkanku saat seorang anak kecil dilempar ke jalanan, ke bawahhujan. Hujan masih membuat langitku mengabu parau. Tapi, hujan jugamengingatkanku padamu. Dan, di sudut itu, langit yang membirusempurna menyembul di balik awan kelabu. Persis seperti mimpi-mimpiyang pernah kaurajutkan untukku.
Terbersit pertanyaan seperti ini dalam benak saya: Apakah tokoh MALAIKAT HUJAN adalah halusinasi AKU? Ataukah alter ego? Karena menurut saya, jika Malaikat Hujan adalah alter ego si tokoh, maka cerpen ini menjadi inspiratif bagi orang-orang yang mengalami gangguan emosional untuk coping (mengatasi) kondisi psikologis mereka dengan cara mencintai diri sendiri.
Saat Hazuki tidak secara eksplisit dan detil menjelaskan siapa Malaikat Hujan, maka enigma (teka-teki) ini membuat kaya dalam interpretasi. Kita diajak bebas berimajinasi dan bersenang-senang dalam teks, sesuai yang dikemukakan oleh Barthes. Tokoh Malaikat Hujan akan terkenang sebagai sosok si misterius.
DASAR PENILAIAN LMCR
Ada yang menganggap cerpen ini amburadul atau absurd sehingga tidak layak dimenangkan. Ada yang menganggap dewan juri tidak memiliki standar jelas dalam penilaian. Ada yang menganggap buku antologi yang diluncurkan PEDAS atas lomba tersebut ternyata jelek sekali. Kebetulan saya dan bunda Elisa Koraag (Icha) berperan sebagai penyaring 40 besar dari total cerpen yang masuk.
Dasar penilaian saya tidak 90% faktor EYD, melainkan IDE CERITA. Dalam workshop editorial di salah satu penerbit mayor yang cukup punya nama yang pernah saya ikuti, saya menyadari pentingnya MEMBACA secara tuntas lebih dahulu, bukan langsung gatal mengomentari typo atau kesalahan EYD. Kecenderungan kita membaca dan langsung mengoreksi itulah yang tidak baik, sehingga kita menjadi pembaca yang kurang sabar. Baca awal lalu akhir, dan selesai lalu terlalu mudah menyimpulkan.
Nah, untuk membuat saya membaca dari awal sampai akhir (bahkan dalam skimming—membaca cepat) dalam DIKSI, raga sebuah tulisan. Diksi yang mengalir dengan tempo yang tertentu akan membuat pembaca terus terhanyut. Diksi yang menjemukan akhirnya membuat saya tutup naskahnya.
Lalu yang paling utama adalah relevansinya dengan tema, yaitu “Lelaki dan Hujan”. Pemahaman Hazuki terhadap tema merupakan yang paling menonjol di antara yang naskah yang lain, yang menurut kami (para penilai) umumnya cerpen menggunakan hujan hanya sebagai latar. Tapi dalam cerpen ini, “Lelaki dan Hujan” adalah simbol pergumulan jiwa si tokoh AKU.
Jadi, kami punya dasar penilaian yang tepat dalam memilih pemenang lomba kali ini, ditunjang para pendekar persilatan yang kawakan dalam eksplorasi kata-kata. Saya pun, menjadi dibukakan saat membaca cerpen yang memiliki pesan yang positif dalam mengatasi kesedihan dan luka hati, yaitu CINTAI DIRIMU SENDIRI.
Nah, sahabat Pedas, jangan lewatkan petualangan kalian dalam eksplorasi kata-kata. Grup PEDAS ini ibarat ranah taman kanak-kanak kalian. Pertengkaran adalah wajar. Yang tidak dikenankan adalah dendam dan iri hati. “Anak” bandel, liar, inovatif dan berjiwa bebas selalu disukai karena mereka dianggap simbol pembaharuan. Jadikan karya (anak) kita sebagai karya yang membaharui kesenangan membaca.
GBU,
SH
9 Juli 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H