Pemboikotan produk Israel dan perusahaan yang diduga sebagai afiliator pendukung agresi militer tersebut menjadi salah satu aksi yang sedang gencar disuarakan. Aksi tersebut merupakan respon dari eskalasi konflik antara Israel dan Hamas di wilayah Gaza yang sudah menelan belasan ribu korban jiwa, khususnya anak-anak dan warga sipil tak berdosa. Keadaan ini sangat menyayat rasa kemanusiaan, wajar jika akhirnya menciptakan gelombang solidaritas internasional demi mendukung kemerdekaan Palestina. Menanggapi gerakan tersebut, Majelis Ulama Indonesia turut mengeluarkan Fatwa Nomor 83 Tahun 2023 yang menyatakan bahwa mendukung kemerdekaan Palestina bukan sekadar sikap moral, tetapi juga menjadi kewajiban agama. Sedangkan mendukung atau menggunakan produk yang berafiliasi dengan Israel dinilai sebagai sesuatu yang haram. Lewat keputusan tersebut, masyarakat diimbau untuk mengambil langkah tegas dalam mengikuti gerakan boikot produk afiliator negara zionis tersebut.
Pandangan kontemporer terhadap aksi boikot produk pendukung Israel menimbulkan pro kontra dikalangan masyarakat. Beberapa orang menilai hal ini sebagai bentuk solidaritas kemanusiaan terhadap warga Palestina. Namun, ada juga yang melihatnya sebagai pendekatan yang kompleks dan kontroversial dalam diplomasi konsumen. Suara masyarakat memandang peran penting dalam membentuk pandangan kontemporer terhadap boikot barang-barang yang menjadi afiliator bagi Israel sebagai kompleksitas masalah geopolitik global dan hak asasi manusia. Sebenarnya aksi boikot dapat dianggap sebagai bentuk diplomasi konsumen dalam mencerminkan individu yang ingin berpartisipasi aktif terhadap isu-isub global melalui pilihan konsumsi mereka. Lantas memunculkan benak tanya apakah aksi memboikot produk Israel adalah solusi yang efektif atau hanya sebatas reaksi terhadap konflik kemanusiaan yang terus berkecamuk?
Meninjau dari sejarah dinamika konflik global, boikot sudah muncul sebagai strategi politik yang mengekspresikan kontradiksi terhadap sesuatu hal sehingga dapat memengaruhi perubahan. Efektivitas aksi boikot dibuktikan dalam dua perjalanan sejarah, yaitu kampanye boikot terhadap minyak sawit dari Myanmar dan kampanye boikot terhadap praktik apatheid di Afrika. Boikot tersebut memberikan tekanan ekonomi yang signifikan berupa berhentinya investasi dari institusi keuangan juga perusahaan internasional sehingga memaksa rezim untuk mempertimbangkan perubahan. Aksi boikot terhadap produk ekspor minyak sawit di Myanmar berkontribusi pada pembebasan tokoh oposisi dan transisi menuju pemerintah Myanmar yang lebih terbuka, sementara aksi boikot internasional terhadap rezim apartheid di Afrika telah melahirkan presiden pertama yang terpilih secara demokratis yaitu Nelson Mandela. Kedua hal tersebut menunjukkan keberhasiloan aksi boikot ekonomi dalam mengubah kebijakian politik dan menghentikan ketidakadilan sosial.
Berkaca dari dua konflik tersebut, kondisi Gaza dalam tiga dekade terakhir juga sama-sama memprihatinkan. Sepanjang era blokade Israel, warga Gaza terus mengalami pelanggaran HAM dan ketidakadilan sosial setiap waktu. Karena itu, aksi memboikot produk-produk Israel dan pendukungnya diharapkan berpotensi memberikan tekanan ekonomi terhadap Israel juga sebagai langkah preventif dalam mencegah kontribusi finansial terhadap agresi Israel kepada Palestina. Aksi ini tidak terbatas pada sektor ekonomi, tetapi juga merupakan bentuk tekanan moral dan politik terhadap pelanggar hak asasi manusia. Aksi boikot ekonomi Israel tentunya bisa mengkolektifkan opini global guna mendorong perdamaian dunia. Sehingga disimpulkan bahwa boikot produk Israel menjadi instrumen efektif dalam mendukung hak asasi manusia.
Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia menjadi dasar yang memperkuat narasi bahwa boikot bukan sekadar respons politik, melainkan juga refleksi pada nilai-nilai keadilan dalam keyakinan beragama. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah juga menegaskan mengenai tata cara boikot produk-produk yang mendukung Israel agar tidak merugikan pihak-pihak pelaku ekonomi dalam negeri. Pemerintah mengimbau masyarakat untuk memboikot produk-produk prioritas yang dinilai memang menjadi afiliator terhadap agresi militer Israel. Keputusan ini dibuat untuk menjawab pertanyaan sejumlah pihak yang mempermasalahkan sektor ekonomi dalam negeri jika dilakukan aksi pemboikotan. Penggolongan produk-produk prioritas boikot diharapkan dapat meningkatkan efektivitas keberhasilan aksi ini dengan tetap memperhatikan sektor ekonomi dan ketenagakerjaan dalam negeri.
Meskipun boikot mampu menjadi sarana untuk mengekspresikan keberpihakan pada keadilan, perlu diakui bahwa aksi boikot bukanlah solusi tunggal dalam menyelesaikan konflik global Palestina-Israel. Aksi boikot tentunya perlu diimbangi dengan upaya diplomasi agar bisa membawa kedua belah pihak dalam meja perundingan. Peran kanal-kanal media sosial sangat diperlukan untuk menarik atensi masyarakat luas terhadap konflik yang sedang diperjuangkan. Mengingat bahwa Israel juga mendapatkan dukungan dari Amerika Serikat sebagai negara adidaya dalam dunia internasional, tentunya masyarakat harus lebih getol dalam menyuarakan diplomasi kemanusiaan. Kombinasi dari tekanan publik juga upaya diplomatik menciptakan dimensi landasan yang lebih kokoh untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H