Dalam selimut heningnya malam, kulangkahkan kaki bersama Ibu secara perlahan menapaki dinginnya sapuan bayu malam di sepanjang trotoar untuk pulang ke rumah. Tak terucap sepatah katapun dari bibir ini untuk menggetarkan susana, begitu juga dengan Ibu. Bibir indah yang kukenal selalu melantunkan kalimat-kalimat syahdu, seakan tak mau lagi memancarkan cahaya lewat tuturan kalimat yang menyentuh kalbu. Bayu seakan ingin menampar wajahku, hanya rasa penyesalan yang terungkap lewat deraian air mata yang seolah tak mau menutup mata airnya. Seakan tak ada lelahnya ia terus mengalir di pipiku.
Kubergegas ke kamarku begitu sampai di dalam rumah. Sambil memegang tanganku, Ibu mengantarku masuk ke kamar. Ibu menemaniku, menyapu punggungku. Terlihat bibir Ibu bergerak seakan ingin berbicara, namun ditutupnya kembali. Tak sengaja bola mata ini melihat genangan air mata yang sedikit lagi akan jatuh di pipi Ibu. Kucoba meleraikan suasana. Kugenggam tangan Ibu, dengan sedikit gerakan manja kumainkan jemari Ibu. Tak kusadari instingku menarik kepalaku sampai terjatuh dipangkuan Ibu. Terbayang kembali hari-hari yang pernah kulalui bersama Ibu. Bermanja, berhalusinasi, meluahkan amarah, dan masih banyak lagi kenangan indah yang selalu kulalui bersama Ibu. Hambar rasanya kamar ini tanpa bisingnya suara petuah dari Ibu. Suara yang selalu menegurku bila kusalah, suara yang selalu mengingatkanku bila kulalai, suara yang selalu menghampiriku bila aku masih terjaga. Sungguh berdosa diri ini yang telah melukai hati Ibu. Tak dapat kutakarkan berapa dalam luka yang sudah kutorehkan dihati Ibu.Â
Terdengar suara Ibu sedikit bergetar dengan memanggil namaku "Ndah... Kamu anak gadis Ibu satu-satunya. Naluri Ibu sedikitpun tak tersentuh kala kau perkenalkan Ibu dengan teman-teman priamu. Aku ini Ibumu Ndah.. Ibu dapat merasakan lelaki mana yang baik budinya, yang baik hatinya, yang pas untuk kamu. Ini bukanlah masalah harta, pangkat atau paras. Tetapi seberapa besar tanggung jawab mereka terhadapmu kelak. Yang Ibu harapakan adalah kau menemukan laki-laki yang dapat menggantikan posisi Ayahmu. Yang dapat menjagamu, membimbingmu, sama seperti bagaimana Ayahmu menjaga dan bertanggung jawab terhadap Ibu dan adik-adikmu. Maafkan Ibu karena pernah salah memilih jodoh untukmu. Ibu jadikan itu sebagai pelajaran berharga agar Ibu dapat lebih hati-hati lagi dalam melihat pria yang baik untukmu. Kamu mengerti maksud Ibu kan Ndah..?" Aku mengangguk, mencoba untuk melepaskan betapa egoisnya diriku.
Memang sebelumnya Ibu pernah menjodohkanku dengan seorang anak teman lamanya. Kami sempat dekat, bahkan sempat juga menjalin hubungan asmara lantaran Ibunya dan Ibuku sudah setuju dengan perjodohan ini. Pria itu baik orangnya, meski agak sedikit temperamen. Perlahan kujejaki sifatnya. Aku... aku... aku beneran jatuh cinta padanya. Mungkin itu sudah sifatku, sangat mudah untuk jatuh cinta.Â
Ah sial...... Aku dibohongi, aku dimanfaati. Bahkan bukan aku saja yang dibohongi dan dimanfaati, tapi Ibuku juga.Â
Ibu pernah membayar uang kuliahnya, katanya regis untuk seminar proposal. Entah berapa nominal yang harus dibayar, tapi laki-laki itu meminta dalam jumlah yang cukup besar kepada Ibuku.Â
"Endah... Mas malu mau ngomongin ini sama kamu. Bisa bantu Mas tidak?" Dengan lembutnya Mas Ganjar mulai memainkan aktingnya. Oh iya,, namanya Mas Ganjar. Nama yang begitu bermartabat, tapi tak semartabat orangnya. "Bantu apa Mas?" begitu polosnya aku waktu itu karena cinta, sebenarnya cinta sedang membutakanku, tapi aku tak menyadarinya. "Tolong bantu Mas untuk bayar pendaftaran seminar semester ini, bisa tidak Ndah? Insya Allah kalau sudah punya uang nanti Mas balikin"Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â "Nanti Endah bilangin Ibu dulu ya Mas, Endah ga punya duit. Lagi bokek." Sambil tertawa geli aku mencoba untuk menghibur Mas Ganjar.
Bukan hanya sekedar memberikan uang kepadanya, tetapi Ibu selalu memenuhi kebutuhannya juga, sampai pada jenis makanan kesukaannya, semuanya Ibu siapkan saat Ia bermain ke rumah. Bak raja Ibu memperlakukannya.
belakangan kami mendengar bahwa Mas Ganjar akan segera menikah. Mas Ganjar mempunyai perempuan lain selain aku, dan perempuan itu tengah mengandung anak Mas Ganjar, usia kandungannya sekitar tiga bulan. Bagai disambar petir kabar itu harus menembus dinding telingaku. Namun aku bersyukur, bahkan sangat bersyukur, tujuh bulan bersama Mas Ganjar Alhamdulillah.... aku belum diapa-pain olehnya. Â Tak terlintas sedikitpun dipikiranku, Mas Ganjar yang terlihat kalem, ternyata gemar bermain wanita juga.
Yang bodoh itu aku, jelang beberapa bulan setelah dekat dengan Mas Ganjar, aku pernah diteror lewat telepon dan sms dari seorang perempuan yang mengaku bahwa dia adalah kekasih Mas Ganjar. Tapi semua kegelisahan lewat keluhan yang kuceritakan pada Mas Ganjar seketika terhapus setelah ditepis oleh mulut manis Mas Ganjar yang bertopeng malaikat itu.
Aku yang bodoh, aku yang salah, karena terlalu mudah untuk jatuh cinta, sampai tidak menyadari akan permainan cinta yang dimainkan oleh perasaan sendiri.Â