Seperti biasanya, pagi itu aku pergi menyambangi toko. Tampak motor berjubel di halaman parkir toko, tidak menyisakan tempat untuk pengunjung yang baru datang.Â
Di seberang jalan aku melihat seorang nenek sedang menuntun sepedanya. Ada rombong bambu yang dipasang di boncengan sepedanya. Rombong itu tampak bergerak-gerak, si nenek berusaha menjaga keseimbangan sepedanya agar tidak oleng. Samar-samar kudengar  suara tangisan dari dalam rombong itu. Aku penasaran dan mendekati si nenek. Kaget, tampak dua bocah kecil duduk di dalam rombong itu.Â
Di sebelah kanan seorang anak laki-laki usia empat tahunan. Sementara di sebelah kiri duduk seorang anak perempuan berusia sekitar 5 tahunan. Keduanya membawa sebungkus mi instan yang terkenal dengan mi sehat itu. Anak perempuan itu menangis tersedu-sedu. Si nenek berusaha  menenangkannya, tapi tidak berhasil. Tangisan anak itu semakin pecah.
Â
"Nek, kenapa cucunya menangis?" tanyaku.
"Anu..., Bu. Cucu saya lagi rewel," jawabnya sambil terkekeh, "Tadi saya habis jualan sayur, ketemu mereka di depan toko. Lalu saya ajak mampir ke toko untuk beli gula dan roti. Lah, di dalam malah minta yang lainnya. Saya kira minuman, karena namanya mirip nama buah, tahunya mi mahal. Jadi, uangnya hanya cukup untuk beli gula dan mi saja. Rotinya ga kebeli, Â terus nangis," kembali tawa si nenek berderai.
Lidahku tercekat. Ucapan si nenek adalah tamparan keras untukku. Ada rasa bersalah menggelayuti pikiranku. Ya Rabb, itu adalah barang daganganku. Apakah aku berdosa, mengambil keuntungan dari si nenek yang hidupnya pas-pasan ini? Pikiranku bercampur aduk tidak karuan.
"Ini buat beli roti cucunya ya, Nek," kuulurkan selembar uang lima puluh ribuan ke si nenek.
"Tidak usah, Bu matur nuwun, nanti takut jadi kebiasaan. Untung masih bisa beli gula. Gula dan kebutuhan pokok lainnya di sini murah kok, Bu," jawab si nenek dengan sopan. Aku berusaha memaksanya, namun si nenek yang berhati emas itu bersikeras menolak pemberianku. Aku tertegun sesaat. Tak henti aku mengagumi sikap si nenek.
Pagi itu, aku mendapat pelajaran berharga dari seorang nenek yang penyabar dan bersahaja itu. Badannya yang ringkih tak menyurutkan usahanya untuk tetap dapat bertahan hidup. Pada zaman yang penuh tantangan dan godaan ini, si nenek dengan lapang dada menerima suratan takdir dan tetap memegang erat prinsip hidupnya "pantang meminta bantuan selagi bisa berusaha sendiri".Â
Sungguh, tidak banyak ditemukan orang seperti itu. Kuikuti ayunan kakinya bergerak menjauh mengayuh sepeda  bututnya sembari menatap terik matahari yang membakar kulitnya yang sudah keriput itu. Tak sadar, pedih menyebar ke ulu hatiku. Betapa malunya aku, perjuangan hidupku tak ada artinya bila dibandingkan dengan kerja keras dan tangguh itu.
Kepekaan rasa dalam menangkap pesan dari setiap peristiwa yang Allah perlihatkan kepada kita, adalah batu asah untuk membuat hati dan jiwa kita semakin tajam memaknai arti kehidupan dan segala misteri yang terkandung di dalamnya.
Bojonegoro, 2021
Dikutip dari naskah buku saya "Mengasah Ujian Menjadi Berlian"