Masa Sekolah Menengah Atas (SMA) sering disebut sebagai fase krusial dalam perjalanan pendidikan seorang individu. Di antara padatnya jadwal pelajaran dan dinamika pertemanan, ada satu momen yang kerap menjadi sumber kecemasan, kebingungan, dan perdebatan hangat, penjurusan atau penentuan peminatan studi. Ini adalah saat di mana siswa dihadapkan pada pilihan jalur tradisionalnya IPA, IPS, atau Bahasa yang konon akan sangat menentukan langkah selanjutnya, termasuk pilihan program studi di perguruan tinggi.
Proses penjurusan ini bukannya tanpa polemik. Selama bertahun-tahun, sistem yang diterapkan di sekolah-sekolah menengah atas di Indonesia telah mengalami berbagai 'utak-atik'. Ada yang merasa sistemnya terlalu kaku dan usang, tidak lagi relevan dengan tuntutan zaman atau perkembangan psikologi remaja. Di sisi lain, ketika ada pembaruan atau perubahan kebijakan, muncul keraguan apakah itu benar-benar perbaikan atau justru terasa seperti sistem baru yang 'asing' dan sulit dipahami, baik oleh siswa, orang tua, maupun guru.
Jika menengok ke belakang, model penjurusan yang cukup lama berlaku cenderung bertumpu pada capaian akademis semata. Nilai rapor pada mata pelajaran tertentu seperti Matematika, Fisika, Biologi (untuk calon IPA) atau Ekonomi, Sosiologi, Geografi (untuk calon IPS) menjadi penentu utama. Ujian penempatan atau tes psikologi (jika ada) seringkali hanya berfungsi sebagai pelengkap, bukan faktor penentu utama.
Sistem 'usang' ini memiliki kelemahan yang kentara. Pertama, ia menciptakan hierarki semu antarjurusan, dengan IPA seringkali dianggap sebagai jurusan 'terbaik' atau paling bergengsi, sementara IPS dan Bahasa dipandang sebagai pilihan 'kedua' atau 'ketiga'. Pandangan ini menekan siswa dengan potensi di bidang lain untuk memaksakan diri masuk IPA demi status atau harapan orang tua.
Kedua, pendekatan yang hanya berbasis nilai mengabaikan faktor krusial lainnya, minat dan bakat siswa. Seorang siswa mungkin memiliki nilai Biologi yang tinggi, namun passion sebenarnya ada di bidang seni atau sosial. Dipaksa masuk jurusan IPA hanya karena nilai tinggi bisa membuatnya tertekan, kehilangan motivasi, dan akhirnya tidak berkembang optimal di bidang yang diminatinya.
Ketiga, sistem lama cenderung kaku dan tidak memberikan ruang bagi eksplorasi. Sekali masuk jurusan, siswa sulit berpindah meskipun kemudian menyadari pilihannya tidak tepat. Ini berujung pada penyesalan di kemudian hari atau kesulitan saat memilih jurusan kuliah yang benar-benar diminati.
Menyadari kelemahan sistem berbasis nilai murni, muncul gagasan pembaruan. Konsep 'Peminatan' diperkenalkan, menekankan bahwa pilihan jurusan seharusnya didasarkan pada minat dan bakat siswa, bukan hanya nilai akademis. Sistem ini berupaya lebih berpusat pada siswa, mengakui keunikan setiap individu dan potensi mereka di berbagai bidang.
Dalam sistem 'terbarukan' ini, peran konseling sekolah diperkuat. Psikolog atau Guru Bimbingan Konseling (BK) diharapkan dapat membantu siswa mengenali potensi, minat, dan nilai-nilai diri mereka melalui tes psikologi, wawancara, dan diskusi. Sekolah juga didorong untuk menyediakan informasi yang memadai mengenai berbagai pilihan jurusan dan prospek kariernya.
Namun, implementasi di lapangan seringkali tidak semulus konsep di atas kertas. Bagi banyak pihak, sistem peminatan yang konon 'terbarukan' ini justru terasa 'asing' atau membingungkan. Apa penyebabnya?
Salah satu alasannya adalah kesenjangan antara konsep dan praktik. Meskipun retorika bergeser ke 'minat dan bakat', pada kenyataannya, nilai rapor atau hasil tes akademis seringkali masih menjadi filter utama dalam menentukan kelayakan siswa masuk ke jurusan tertentu. Ini membuat sistem 'terbarukan' terasa seperti sistem 'usang' yang dibungkus ulang dengan istilah baru.
Selain itu, kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia juga menjadi tantangan. Tidak semua sekolah memiliki Guru BK dengan kapasitas yang memadai untuk melakukan asesmen minat bakat secara komprehensif. Alat tes psikologi yang digunakan mungkin bervariasi kualitasnya, dan waktu yang dialokasikan untuk sesi konseling seringkali terbatas mengingat jumlah siswa yang banyak.