Dunia pendidikan, sebagai kawah candradimuka tempat generasi muda ditempa dan dipersiapkan untuk masa depan, seharusnya menjadi ruang yang aman dan kondusif untuk bertukar pikiran, berdiskusi, dan bahkan berdebat secara sehat.Â
Namun, kehadiran cancel culture di lingkungan pendidikan telah menimbulkan kekhawatiran dan pertanyaan mendasar, mungkinkah kita tetap berdiskusi tanpa harus saling membenci dan menjatuhkan?
Apa itu Cancel Culture?
Cancel culture adalah fenomena sosial yang kompleks dan kontroversial. Secara sederhana, cancel culture dapat diartikan sebagai upaya untuk "membatalkan" atau "menghapus" seseorang atau kelompok dari ruang publik karena dianggap melakukan kesalahan atau pelanggaran etika.Â
Tindakan "pembatalan" ini bisa berupa boikot, penolakan, pengucilan, hingga perundungan daring. Dalam era media sosial yang serba cepat dan mudah, cancel culture dapat menyebar dengan sangat cepat dan memiliki dampak yang luas.
Fenomena ini sering kali dipicu oleh komentar atau tindakan seseorang yang dianggap tidak pantas, menyinggung, atau diskriminatif.Â
Masyarakat, terutama melalui media sosial, kemudian menyerukan untuk "membatalkan" orang tersebut, baik dengan cara berhenti mengikuti akun media sosialnya, memboikot produk atau karya mereka, hingga menuntut agar mereka kehilangan pekerjaan atau posisi.Â
Tujuannya adalah untuk memberikan konsekuensi atas tindakan atau ucapan yang dianggap salah, serta untuk menunjukkan bahwa perilaku tersebut tidak dapat diterima.
Namun, cancel culture juga memiliki sisi negatif. Sering kali, "pembatalan" dilakukan secara terburu-buru dan tanpa memberikan kesempatan bagi orang yang bersangkutan untuk menjelaskan diri atau meminta maaf.Â
Akibatnya, seseorang bisa kehilangan reputasi, pekerjaan, atau bahkan mengalami trauma psikologis yang mendalam.Â
Selain itu, cancel culture juga dapat memicu polarisasi dan perpecahan di masyarakat, di mana orang-orang terbagi menjadi kelompok yang mendukung atau menentang "pembatalan" tersebut.