Tahun 1999, ketika internet masih menjadi barang mewah dan komputer belum seumum sekarang, saya memutuskan untuk menyelami dunia teknologi di desa terpencil Sumedang. Penelitian ini, bagaikan petualangan menelusuri sebuah benua yang belum terjamah, penuh dengan tantangan dan kejutan.
Bayangkan saja, di tengah hamparan sawah dan rindangnya pepohonan, saya mencari jejak digital yang nyaris tak ada. Di desa-desa tersebut, listrik saja masih sering padam, apalagi komputer. Namun, semangat untuk mengungkap bagaimana teknologi menembus batas-batas geografis mendorong saya terus maju.
Hari demi hari saya habiskan untuk berkeliling desa, mengetuk pintu demi pintu, bertanya tentang penggunaan teknologi. Tatapan heran dan pertanyaan-pertanyaan polos seringkali menyambut kedatangan saya. "Komputer? Untuk apa itu, Kang?" begitu kira-kira pertanyaan yang sering saya dengar.
Setelah berhari-hari mencari, akhirnya saya menemukan beberapa rumah yang memiliki televisi. Bagi mereka, televisi adalah jendela dunia yang memperlihatkan kehidupan di luar desa. Beberapa anak muda yang beruntung memiliki kesempatan untuk belajar di kota, membawa pulang pengetahuan tentang komputer dan internet. Mereka inilah yang menjadi narasumber berharga bagi penelitian saya.
Tantangan yang dihadapi
Akses jalan yang buruk seringkali menjadi penghalang utama. Jalanan tanah yang berlumpur saat musim hujan dan berdebu saat kemarau membuat perjalanan menjadi sangat melelahkan. Tak jarang, sepeda motor yang saya tumpangi harus terjebak di tengah sawah. Namun, semangat untuk menggali lebih dalam tentang kehidupan masyarakat desa di era digital mendorong saya untuk terus melanjutkan perjalanan.
Selain aksesibilitas, keterbatasan listrik juga menjadi kendala yang cukup berarti. Banyak rumah di desa yang belum teraliri listrik sehingga saya harus mencari tempat yang memungkinkan untuk mengisi daya laptop dan ponsel. Kadangkala, saya terpaksa meminta izin untuk menumpang listrik di warung atau rumah kepala desa. Bayangkan saja, melakukan wawancara sambil bergelut dengan nyamuk dan suara jangkrik yang bersahutan.
Kurangnya literasi digital di kalangan masyarakat desa juga menjadi tantangan tersendiri. Banyak responden yang belum familiar dengan istilah-istilah teknis terkait teknologi informasi. Saya harus bersabar menjelaskan dengan bahasa yang sederhana dan memberikan contoh-contoh yang relevan dengan kehidupan sehari-hari mereka. Tak jarang, mereka justru mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membuat saya berpikir lebih dalam tentang teknologi dan penggunaannya.
Kendala lain yang tak kalah penting adalah kurangnya data sekunder yang dapat dijadikan rujukan. Pustaka di desa sangat terbatas dan informasi yang tersedia di internet pun masih sangat minim. Oleh karena itu, saya harus mengandalkan data primer yang diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi langsung.
Penemuan-penemuan menarik
Di tengah keterbatasan teknologi, semangat inovasi masyarakat desa Sumedang sungguh mengagumkan. Banyak di antara mereka yang berhasil memanfaatkan perangkat sederhana untuk menyelesaikan masalah sehari-hari. Seorang petani misalnya, memodifikasi radio transistor tua menjadi alat penyiram tanaman otomatis dengan memanfaatkan sensor cahaya. Saat matahari terbenam, radio akan mengaktifkan pompa air kecil yang terhubung dengan selang, menyirami tanaman secara berkala. Inovasi sederhana ini sangat membantu mereka menghemat waktu dan tenaga.