Mohon tunggu...
Jujun Junaedi
Jujun Junaedi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Pendidik dari Bandung 31324

Pendidik dan pemerhati lingkungan. Aktif mengedukasi di sekolah berwawasan lingkungan di Kota Bandung sejak 1997

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

PPN 12 Persen, Kado Tahun Baru: Selamat Tinggal Uang Receh

23 November 2024   16:12 Diperbarui: 23 November 2024   18:59 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun baru, harapan baru. Namun, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, tahun baru 2025 hadir dengan kejutan yang kurang menyenangkan yakni rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. 

Kenaikan ini, meski terkesan kecil, namun memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap kehidupan sehari-hari. Ibarat pepatah, "sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit", kenaikan PPN ini akan terus menumpuk dan berdampak pada daya beli masyarakat.

"Selamat tinggal, uang receh," mungkin menjadi ungkapan yang sering kita dengar di tengah isu kenaikan PPN ini. Uang receh, yang selama ini kita anggap remeh, ternyata memiliki peran penting dalam transaksi sehari-hari. 

Dengan kenaikan PPN, harga barang dan jasa akan ikut naik, dan otomatis uang receh yang kita terima sebagai kembalian akan semakin sedikit, bahkan mungkin tidak ada sama sekali.

Hilangnya uang receh ini bukan hanya sekadar masalah praktis dalam mengelola keuangan, namun juga membawa konsekuensi psikologis. Uang receh, sekecil apapun nilainya, memberikan rasa kepuasan tersendiri ketika kita menerimanya. 

Hilangnya kepuasan kecil ini secara tidak langsung dapat mempengaruhi mood dan persepsi kita terhadap kondisi ekonomi.

Uang Receh: Simbol Kecil, Dampak Besar

Uang receh, simbol kecil namun bermakna dalam transaksi sehari-hari, kini semakin jarang ditemui di saku kita. Kenaikan PPN 12% telah mengubah lanskap ekonomi, memaksa kita untuk beradaptasi dengan era digital dan transaksi non-tunai. 

Dulu, uang receh menjadi semacam penyeimbang dalam transaksi, memberikan fleksibilitas bagi pembeli dan penjual. Namun, dengan semakin tingginya harga barang dan jasa, uang receh seolah menjadi korban pertama.

Hilangnya uang receh bukan hanya sekadar masalah praktis dalam mengelola keuangan, namun juga membawa konsekuensi psikologis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun