Generasi Z, dengan semangat mudanya yang membara dan akses mudah terhadap teknologi, tengah menghadapi dilema unik dalam mengelola keuangan. Di satu sisi, mereka didorong oleh semangat "You Only Live Once" (YOLO) untuk menikmati hidup semaksimal mungkin.
Namun, di sisi lain, kesadaran akan pentingnya menabung untuk masa depan terus tumbuh. Konflik antara keinginan untuk bersenang-senang dan kebutuhan untuk berinvestasi pada masa depan inilah yang seringkali menjadi dilema finansial generasi ini, terutama saat gaji pertama cair.
Godaan Konsumerisme di Era Digital
Kemudahan akses terhadap berbagai platform belanja online, serta pengaruh dari media sosial yang menampilkan gaya hidup konsumtif, membuat generasi Z semakin tergoda untuk membelanjakan uangnya.
Promosi menarik, diskon besar-besaran, dan tren terbaru yang bermunculan setiap saat membuat mereka sulit menahan diri untuk tidak membeli barang-barang yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan.
Tekanan Teman Sebaya
Tekanan untuk mengikuti tren dan gaya hidup teman sebaya juga menjadi faktor yang mendorong generasi Z untuk lebih konsumtif. Mereka ingin terlihat keren, up-to-date, dan tidak ketinggalan zaman. Hal ini membuat mereka seringkali merasa perlu membeli barang-barang yang sama dengan teman-temannya, meskipun sebenarnya tidak sesuai dengan budget.
Tekanan untuk mengikuti tren dan gaya hidup teman sebaya ini seringkali diperkuat oleh keberadaan media sosial. Platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube menampilkan gaya hidup mewah dan konsumtif yang seolah-olah menjadi standar keberhasilan. Generasi Z yang menghabiskan banyak waktu di platform-platform ini tak jarang merasa terdorong untuk memiliki barang-barang yang sama dengan influencer atau teman-teman online mereka.
Fenomena fear of missing out (FOMO) juga turut memperparah situasi. Takut ketinggalan tren terbaru atau momen seru bersama teman-teman membuat banyak generasi Z merasa perlu membeli barang-barang tertentu atau mengikuti kegiatan tertentu. Ketakutan akan penilaian negatif dari lingkungan sosial membuat mereka enggan untuk menolak ajakan untuk berbelanja atau menghadiri acara-acara yang membutuhkan pengeluaran finansial.
Selain itu, adanya kelompok-kelompok pertemanan yang sangat erat dan memiliki nilai-nilai konsumtif yang sama juga dapat mempengaruhi perilaku belanja generasi Z. Mereka cenderung saling mempengaruhi untuk membeli barang-barang yang sama atau mengunjungi tempat-tempat yang sama. Hal ini menciptakan semacam kompetisi tidak tertulis di antara teman-teman, di mana siapa yang memiliki barang atau pengalaman yang paling baru dan paling menarik akan dianggap lebih keren.
Kondisi ini semakin diperparah oleh kemudahan akses terhadap kredit. Kartu kredit, pinjaman online, dan layanan paylater membuat generasi Z seolah-olah memiliki uang yang tak terbatas. Padahal, mereka sebenarnya sedang menumpuk utang yang akan menjadi beban di masa depan.