Mohon tunggu...
Jumari (Djoem)
Jumari (Djoem) Mohon Tunggu... Seniman - Obah mamah

Hidup bergerak, meski sekedar di duduk bersila.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Semar Kembar 4

24 Agustus 2011   21:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:29 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bukannya pamer atau pengin dapat tepuk tangan. Setelah lama saya menghilang, dan ini memang kebiasaan saya tiap bulan romadlon, yaitu belajar dan mengkreasi dunia yang saya giluti. Akhirnya malam nanti, saya dan kawan-kawan menawarkan sebuah perenungan selama romadlon, yaitu bentuk pertunjukan wayang baru, dengan durasi waktu yang singkat sekitar 2 sampai 3 jam. Wayang format baru ini saya beri nama "Wayang Keroncongan", kenapa demikian? Keroncongan adalah identik dengan orang kelaparan, artinya sebagai pengingat kami, bahwa karya ini dimulai di bulan romadlon. Selain itu, ansamble atau musik yang kami gunakan sebagai alat pengiring pertunjukan wayang ini adalah musik keroncong. Meskipun tidak secara totalitas, karena pertimbangan gaya aneka etnik yang mencoba kami pertahankan, supaya khas Indonesia, khusus jawanya masih terasa.

Wayang Keconcongan ini kami format seminim mungkin, dengan maksud supaya wayang ini bisa hadir di tengah ruang keluarga atau ruang obrolan. Cocok untuk acara arisan keluarga, arisan RT, RW, Kelurahan dan arisan-arisan lainnya. Wayang yang kami bawa hanya tokoh-tokoh yang dibutuhkan dalam cerita, dengan menggunakan Kelir (layar) berukuran 2 m. Tidak perlu kotak wayang, atau atribut lain wayang lainnya. Sebagai penggantinya hanyalah kesepakatan baru yang kami buat sebagai simbol komunikasi antara dalang dan musisi. Sindhen di sini memang kami kesampingkan, kami lebih suka bawa penyanyi cowok, selain bertugas jadi musisi, juga supaya perhatian penonton tidak pada pesindhen (vokal cewek). Selain itu juga alasan pengurangan musisi.

Instrumen yang kami gunakan adalah, cak cuk, guitar, selo, pringsilan (pring bilah sembilan) yang kami buat, perkusi dari karet, violin, aneka suling bambu dan peluit sebagai signal dalang pada pengrawit (musisi). Dalam proses ini saya melibatkan teman saya Bagus TW yang memiliki basic musik klasik barat dan Dwi yang menguasai musik keroncong. Sedangkan kebanyakan musisi adalah teman kos saya (solidaritas teman kosan) meskipun mereka sebenarnya baru sekali ini bermain musik. Pertimbangannya bukan karena susah mencari teman proses, tetapi saya ingin merasakan auranya berproses dengan teman-teman serumah dan teman-teman yang awam terhadap alat musik. Dan rupanya ini sangat menarik, karena harus terjadi penyederhanaan dalam garap instrumentalianya, alias disesuaikan dengan skill mereka. Hal ini menantang bagi ego teman-teman yang sudah mahir, sehingga rasa sabar dan rasa tidak jenuh terpaksa di uji di proses ini. Sangat cocok diwaktu bulan puasa seperti ini.

Boneka wayang masih menggunakan wayang biasa gaya solo, karena bagi saya sendiri lebih akrab dengan tokoh-tokoh wayang solo, supaya lebih mudah dalam memberikan roh atau memberikan kharakternya. Rencana kedepan sih kalau diijinkan oleh alam, mencoba membuat bentuk baru, itupun juga masih jangka panjang, karena banyak pertimbangan dalam membuatnya. Yang pasti adalah pertimbangan finansial.

Malam ini Wayang Keroncongan akan pentas perdana di Yogyakarta, tepatnya di Sanggar Bengkel di daerah Nitiprayan. Saya yang akan bertindak sebagai dalangnya, dan cerita yang akan kami suguhkan malam ini adalah SEMAR KEMBAR 4. Cerita ini sebenarnya pernah dilakonkan oleh Mas Parman dengan wayang climennya dengan judul Semar Mencari Jati Diri. Di sini saya lebih mengetengahkan cerita tentang seorang tokoh Semar yang diidolakan oleh banyak orang, sehingga tidak sedikit orang yang bangga disebut sebagai Semar. Semar adalah aliran kiri, yaitu yang selalu berpihak kepada rakyat kecil. Dimana di era sekarang ini negara ini sangat miskin orang yang peduli dengan orang kecil (rakyat).

Akhrinya saya berharap dukungan doa-doa dari teman-teman sekalian, semoga pentas nanti malam berjalan lancar sesuai dengan harapan kami. Dan sesungguhnya yang terpenting bagi saya dan kawan-kawan adalah saat prosesnya, sedangkan pementasan ini sendiri adalah tempat untuk uji nyali. Karena seusai pementasan, esok harinya akan diadakan diskusi.

Sinopsis

Krisis multidimensi melanda Astina dan Amarta. Keduanya terserang penyakit kurang PEDE terhadap segala kebijakan kenegaraan. Di tengah krisis mental dan moralitas tersebut, terdengarlah nama Semar ada dimana-mana, yang menjadikan bingung para Kurawa dan Pandhawa. Kurupati segera memerintahkan Kurawa untuk menangkap Semar atas hasutan Sengkuni yang mengira bahwa segala krisis itu dikarenakan oleh Ki Lurah Semar.

Semar-semar yang adapun dikumpulkan dan saling bertemu satu sama lainnya, tindak pidanapun dikacaukan oleh ulah semar-semar tersebut karena berebut saling benar. Sementara itu Nalagareng dan Punakawan membuat sebuah patung semar, karena menganggap semar telah tiada. Benarkah semar telah tiada, lalu kapan dia meninggal atau semar telah pergi, bagaimana dengan semar-semar yang di hukum di Astina?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun