Mohon tunggu...
Jumari (Djoem)
Jumari (Djoem) Mohon Tunggu... Seniman - Obah mamah

Hidup bergerak, meski sekedar di duduk bersila.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cemburu 2

8 April 2011   17:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:00 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Dengan kedua tangannya, segera dibasuh muka yang dihinggapi kesedihan itu. Air berkecipak membuat riak bergelombang-gelombang. Air itu dirasanya begitu segar membasahi wajahnya. Lalu timbulah keinginan untuk mandi di telaga itu. Maka ditanggalkanlah satu persatu busana yang membungkus tubuhnya.

Tubuh mungil ramping dan mulus itu segera tanpa busana, hanya selembar kain yang menutup pahanya. Segera bergegas dia menuju tepi telaga, tetapi ketika dia melongok ke bening air telaga sumala betapa terkejut gadis jelita tersebut, seakan tak percaya melihat wajahnya di air. Oh wajah itu sudah berubah menjadi kera, banyak bulu di wajahnya, mulutnya, hidungnya, matanya sudah berubah tanpa dia sadari. Kesadaran total belum dia dapatkan karena kondisi kaget tersebut, kembali dia melongok untuk memastikan praduganya. Benar saja yang terjadi, Anjani jelita sekarang berubah menjadi menjadi kera betina, lalu dia memandang ke dua tanganya dan ternyata memang benar sudah berubah. Tanganya ditumbuhi bulu-bulu bak seekor kera. Langsung dia sadar dan paham bahwa penyebabnya adalah air telaga tersebut. Segera dia urungkan niat untuk mandi,

“Dewata dosa apalagi yang telah kulakukan, petaka apa yang menghampiriku dan keluargaku?”

Gadis itu menangis di bawah pohonyang rindang di tepi telaga sumala tersebut, sambil mengenakan pakaianya kembali. Ratapan tangis kepedihan, tangisan kepiluan dan rasa bersalah yang berkepanjangan. Anganya berkumandang, andaikata dia mengetahui akibat dari keteledorannya jadi seperti ini, andakata dia mengikuti kata ibunya, andaikata cupu itu tidak diketahui oleh adiknya.

“Ibu, maafkan anakmu!!” Teriaknya keras sekali, memecahkan udara di sekelilingnya, menyelinap ke tiap penjuru hutan dan suara itu sampai ke telinga Guwarsa dan Guwarsi yang sedang menangis pula meratapi nasibnya. Sejenak mereka berdua tersentak dan sadar kalau itu suara kakaknya Anjani.

“Ada apakah gerangan?”

“Jangan-jangan Kak Anjani juga sudah mandi dalam telaga ini.”

“Ayo kita cari dimana Kak Anjani berada.”

Langsung saja mereka berlari mencari sumber suara, untuk memastikan apa yang sedang terjadi. Semak belukar dia lalui tanpa rasa takut terhadap duri yang siap menggores kulit mereka. Dan akhirnya mereka menemukan kakaknya Anjani yang duduk di bawah pohon sambil kepalanya merunduk disembunyikan di dua belah pahanya. Menyadari ada yang datang Anjani segera melongok dan terperanjat karena ada dua ekor kera yang menghampirinya.

“Kak, jangan takut, ini aku Guwarsa dan di samping kananku adalah Guwarsi.”

“Iya kak, ini adik-adikmu. Wajah kakak kenapa?”

Anjani langsung merangkul mereka berdua dan tangisan menyayat hati kembali terdengar lagi. Bukan tangisan kematian, tetapi tangisan kegelisahan dan keputus asaan, tangisan rasa bersalah dan penyesalan.

Sementara sang Surya tampak tersenyum di ufuk barat, bergegas mereka bertiga pulang ke Padepokan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun