Lama ga nongol di Kompasiana, kangen juga. Ingin nulis, nulis apa juga bingung, akhirnya apa saja yang ada dikepalaku saat ini aku tuangkan dalam tulisan amburadul ini.
Pernah ada teman cerita bahwa dulu waktu penjajahan Kolonial Belanda, banyak tempat-tempat yang memang sengaja untuk tidak dihuni. Kenapa? Ingatkah bahwa amsterdam itu posisinya lebih rendah dari laut? Mungkin saya salah mendengarnya. Tetapi mengapa mereka mampu menggunakannya dan posisi sungai di ubah sedimikian rupa sehingga aliran lancar dan bersih juga bisa dijadikan tempat rekreasi. Nah waktu menjajah Indonesia, meskipun Belanda yang berkuasa, toh Belanda tidak melakukan Indonesia sebagai tempat untuk diperas atau dihabiskan. Belanda masih sangat mempertimbangkan kondisi geografis di tiap daerah jajahannya. Di Jakarta ada bangunan hotel mewah Hilton namanya (mungkin) di situ dulu memang sengaja tidak didirikan bangunan, karena itu merupakan wilayah hutan kota, supaya polusi udara bisa berkurang.
Jadi secara politik kita terjajah, tetapi secara geografis bumi Indonesia dijaga ekosistemnya. Bandingkan dengan situasi sekarang, seperti kasus Gunung Sumbing, saya pernah naik sampai kepuncaknya, dan sepanjang perjalanan hanya ladang rakyat setempat, pepohonan yang tinggi dan rindang hampir tidak ada. Ladang tersebut hampir sampai puncak, lebih tepatnya habisnya hutan-hutan pohon yang kecil dan mulai tumbuhnya bunga adelweis. Akibatnya di tiap musim penghujan daerah sekitar gunung bahkan sampai ke Parakan dan Temanggung terkena imbasnya. Banjir bandang. Belum lagi saya ketika mendaki gunung lawu dari sisi utara jalur candi Cetha, juga sudah dirambah oleh petani setempat. Yang saya bayangkan apa mereka tidak capek untuk berjalan naik turun tiap harinya. Terus dibandingan dengan hasil yang mereka dapat dari hasil pertanian tersebut apa sebanding? Untuk mendapatkan secukup nasi guna bertahan hiduplah yang membuat manusia makin membabi buta. Artinya ada kesalahan dalam sistem pemerintahan ini, sehingga hak yang paling asasi dari penduduk dan rakyatnya belum tercukupi.
Ekosistem di berbagai belahan dunia ini memang sekarang sudah sedikit banyak mengalami kekacauan. Ambisi seseorang telah mengalahkan dan meluluh latahkan segala berbabagi bentuk ekosistem. Sehingga ketika salah satu unsur mati, maka yang lainnya juga akan menyusul. Hal ini yang sudah dipahami oleh manusia tetapi sulit untuk melakukannya, karena memang berhubungan dengan toleransi dan kesadaran. Sebagai contoh dahulu ada ular yang hidup di sawah, namanya ular sawah. Ular ini sebenarnya adalah teman bagi para petani untuk menjaga sawahnya dari hama tikus. Tetapi sekarang ular itu sudah jarang di dapati di pemataang sawah. Jadinya hama tikus makin merajalela di beberapa tempat. Hilangnya ekosistem juga salah satu pemicu mempercepatnya proses pemanasan bumi, sehingga lapisan ozon mulai menipis, sebab banyak bakteri, kotoran, asap yang menghasilkan karakter panas di muka bumi. Lama-lama bumi bisa menjadi MATAHARI ya, katanya matahari itu adalah seperti bumi yang kebakaran dan sampai sekarang belum padam. Isu global worming diamini bahwa 20 % adalah disebabkan oleh peternakan. Kenapa? Untuk lebih jelasnya lihat videonya di sini.
Rusaknya alam adalah salah satu pertanda hancurnya bumi, itu memang benar, setelah melihat video di atas. Semoga saja pencegahan dapat dilakukan, dengan cara mogok makan daging selama beberapa waktu secara serentak seluruh bumi kalau perlu. Atau pemanfaatan gas tersebut, seperti adanya program biogas yang pernah dicanangkan oleh pemerintah. Mungkin itu adalah salah satu menanggulangi penumpukan kotoran hewan. Tak kalah menarik adalah point pertama, Kelihaian Belanda dalam memberdayakan bumi, tidak merusak justru menjaga keseimbangannya. Semoga tulisan yang amburadul ini bermanfaat terimakasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H