Semar senyam senyum melihat situasi yang semakin kacau dan serba ga karu-karuan. Senyuman kepedihankah? Senyuman kegembiraankah? Samar tak terlihat jelas, di raut wajah sang Badranaya, tak menggambarkan kabar yang pasti. Samar, sesamar nasib anak kolong jembatan yang ntah sampai kapan akan berubah. Di balik kekerasan dera jaman yang ga berkemanusiaan, meskipun jelas terlihat tubuh Semar adalah wujud manusia, tetapi tetap samar, apakah dia cewek atau cowok. Kalau cewek kenapa pakai dikuncung rambutnya, sedangkan kalau cowok mengapa dia punya payudara. Seperti lantunan syair para dalang ketika menceritakan sang Semar.
Semar berada dalam kesamaran, samar atau was-was, khawatir, takut dan membuat wajah orang pucat pasi. Samar waktunya, samar ruangnya, dan samar sekatnya. Antara sakit dan ga sakit, antara tidur dan ga tidur, antara berdiri dan duduk, antara ngomong dan tidak, antara becanda dan serius, dan ribuan antara lainnya. Kadang pasti kadang ragu, kadang indah kadang buruk, kadang dibutuhkan kadang dibuang, kadang datang dan kadang pergi. Semar selalu bersemayam dimana tempat, memenuhi ruang dan waktu, memenuhi segala aktifitas, memenuhi segala alam, nir, rasa, rahsa telah keberebegen Semar, penuh berjubal, namun tetap kosong, dan tatkala kosong maka akan segera diisi. Semar sumurnya hidup, karena ruangnya yang tiada batas, di atas meja makan, dimeja kepresidenan, di karang pedesaan, di kota, di kolom jembatan, di pabrik, di apotik, rumah sakit, panti jompo dan ruang serta dimensi waktu lainnya. Semar menjelma sumur, sumber bersih sekaligus kotor yang alami, meskipun kotor kelihatan bersih, meskipun bersih namun kotor. Semar Samar Sumur sumadya sahari ratri, 24 jam full aktifitasnya tiada henti, tak terhentikan, namun dia berhenti, tak bergerak namun dia bergerak. Foto diambil dari:Â http://wayang.wordpress.com/2010/07/20/ki-semar/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H