Bukan makan enak tapi makan yang mengenakan.
Bukan barang bagus.
Tapi barang yang membaguskan.
Dan...
Bukan tempat indah.
Tapi tempat yang mengindahkan.
Itulah perbedaan yang hakiki dan yang semu.
Makan enak kalau hati sedang tak selera.
Makanpun menjadi tak enak.
Barang bagus kalau hati  tak berkenan jadi tak bagus.
Tempat indah kalau hati lagi tak nyaman jadi tak indah.
Bahagia, sedih, indah, semua seakan semu.
Bahkan kadang kita menciptakan sendiri rasa-rasa itu hanya untuk memanipulasi.
Semua seakan sandiwara.
Ketika menampakkan kesediham karena butuh iba.
Ketika sedang memperlihatkam kebahagian karena tak mau terlihat merana.
Dan ..
Ketika nampak baik
Karena ada kepentingan.
Semuanya seakan semu belaka.
Kejujuran.
Apa adanya.
Berangsur-angsur tersamarkan dan hilang.
Berganti kebohongan-kebohongan.
Kebohongan lama belum terselesaikan.
Datang lagi kebohongan yang baru.
Terus dan terus seperti itu.
Sandiwara, dagelan.
Berjalan dengan tanpa rasa berdosa.
Semua dilakukan dengan begitu bangga.
Selama ini kita padamkan riak hati nurani.
Kita tutup telinga untuk mengabaikannya.
Kita tutup mata untuk mengaburkannya.
Sehingga ia tenggelam dalam angan yang mencekam.
Kapankah hati nurani bertengger manis dan cantik.
Kapan hati nurani bisa berdiri kokoh tanpa limbung dengan angin keserakahan.
Dan
Kapan ia akan melalap semua kedustaan.
Kapankah....
Dan kami menunggu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI