Mohon tunggu...
Juharmin Suruambo
Juharmin Suruambo Mohon Tunggu... -

Saya pecinta alam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

MENAKAR ESOK (Bag. 1)

7 Mei 2014   19:19 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:45 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hujan belum berhenti, butiran air masih jatuh perlahan, langit pun masih mendung, cahaya matahari belum menampakkan panasnya. Dengan perlahan dan sedikit menengok ke langit, dia berdiri dan keluar dari tempatnya berteduh. "Akhirnya bisa lanjutkan perjalanan pulang" gumamnya. Sebuah keranjang anyaman rotan yang berukuran kira-kira tinggi 60 cm dan berdiameter 30 cm dipikulnya kembali. Keranjang berisi singkong dan daun kelor yang selama 2 jam tadi sejak ia mulai berteduh karena hujan setia duduk menemaninya merupakan perangkat penting untuk membawa pulang hasil kebunya di rumah. Dengan sedikit menarik nafas, ia pun melanjutkan perjalanan pulangnya.

Aini, itulah namanya, seorang wanita miskin yang harus berjuang sendiri dalam menafkahi dan membesarkan kedua putranya. Suami Aini telah menghadap Sang Illahi karena sakit keras. Suami Aini yang bernama Heru adalah seorang nelayan tangkap. Telah 3 tahun Heru meninggal dan selama itu pulalah Aini mulai berjuang sendiri.

Sinar matahari seakan beringas dan menurunkan sinarnya melalui celah-celah awan mendung yang retak. Aini telah berada di depan sebuah gubuk tua yang terlihat basah kuyup karena siraman air hujan. Atapnya yang teranyam dari daun nipa masih menitikkan tetesan-tetesan air. Dari dalam gubuk yang disebutnya rumah, keluar dua bocah laki-laki. “Inaku...Inaku”, teriak bocah-bocah itu yang nyaris serentak. La Sula dengan umur 6 tahun dan La Ola dengan umur 4 tahun. Mereka adalah anak dari Aini dengan almarhum suaminya Heru. La Sula, anak pertamanya telah duduk di bangku kelas 1 sekolah dasar.

Hari pun berganti, waktu terus berjalan tanpa berhenti dan seakan tak peduli dengan situasi Aini yang terus berjuang demi anak-anaknya.

9 tahun telah berlalu sejak meninggalnya suami Aini, Heru. Anak-anaknya, La Sula telah berumur 15 tahun sedangkan adiknya La Ola telah berumur 13 tahun. Aini pun semakin mendekati usia tuanya, sombongnya waktu dan kerasnya kehidupan telah melemahkan kekuatan Aini untuk terus berjuang. Satu-satunya hal yang tidak pernah lemah adalah harapan dan semangatnya.

Pada suatu ketika Aini pun sakit. “Sula, kemasi buku-bukumu nak”, ucap ibunya Aini lemas. “Iya Inaku, Sula dan Ola mau pamit sekolah sekarang”, kata Sula kepada ibunya, Aini. Sebenarnya hari itu, La Sula dan La Ola tidak ingin ke sekolah. Mereka tak kuasa meninggalkan ibunya dalam kondisi sakit. Tetapi ibunya memaksa mereka untuk tetap ke sekolah dan meyakinkan mereka bahwa ibunya baik-baik saja.

Dalam perjalanan ke sekolah, La Sula dan La Ola nampak lemas tak bersemangat. Kekhawatiran mereka akan kondisi ibunya terlalu besar. “Ola, kau teruskan jalanmu ke sekolah, kakak harus kembali ke rumah untuk merawat Ina”, kata La Sula tiba-tiba. “Aku ikut kakak”, pinta La Ola. “Jangan, kau harus ke sekolah”, ucap la Sula.

Selama ibunya sakit, La Sula tidak pernah lagi ke sekolah. Hari-hari La Sula dijalani dengan merawat ibunya dan menggantikan pekerjaan ibunya di kebun. Adiknya La Ola hanya bisa membantu saat pulang sekolah.

Setelah 16 bulan, Aini berjuang melawan sakitnya, akhirnya ia pun meninggal. Satu lagi, ujian hebat itu datang kepada La Sula dan La Ola. Mereka sendiri, tetapi waktu terus berjalan, mereka dipaksa melanjutkan perjalanan hidup, tanpa ayah dan ibu.

#bersambung#

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun