Mohon tunggu...
Jufri Zal
Jufri Zal Mohon Tunggu... -

Manusia biasa yang gila menulis. Untuk melihat kumpulan artikelku bisa kunjungi blog www.jufrizal.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kebo Lajang (1)

4 November 2012   13:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:59 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi itu. Jam menunjukan angka 6 lewat sedikit. Mataku masih sayu. Sesekali memaksakan membuka mata, tapi aku ingin terus larut dengan alam mimpi. Mimpi yang tidak sampai satu episode. Semalaman bergadang. Tiba-tiba Telepon gengamku berbunyi dan bergetar keras. Ngilu rasanya jari-jarimenekan tombol di telepon genggam.

“Ade Infan memanggil”

Nama itu muncur di layar telepom genggamku. Deringnya makin menyesakin telinga. Tiba-tiba bunyi itu lenyap. Tak berapa lama, bunyi keras kembali terhempas lewat lobang suara telepon genggam.

“Ya, hallo!! kataku. Sambil meletakan telepon gengam ke telingan.

Telepon gengam hanya tersimpuh di telingan yang datar. Aku tak kuasa memegangnya lama-lama.

“Ada apa?” tanyaku. Singkat.

“Alamak, belum bangun!! Ujar Ade.

“Pagi ini kita mesti buru-buru pesan tiket kapal. Aku ke kos kau ya?” ujarnya. Nyaring.

“Iya,” jawabku. Singkat.

Percakapan itu akhirnya lepas. Dan akupun merasa menghirup udara kebebasan. Akupun kembali ke alam mimpi. Lupa akan percakapan tadi. Hilang. Entah berapa lama aku hilang dari bumi ini. Aku terbang ke alam penuh ilusi kembali.

Dan tiba-tiba.

Tuk..tuk..tuk”

Alamak!! Suara bunyi apa lagi? Tanya aku dalam pikiran.

Bergegas pasang sayap. Aku mau terbang kembali ke alam nyata rasanya. Aku kembali mendarat. Bola mata kembali terbuka lebar-lebar.

“Asalammualikum...Juf, juf!!” panggil Ade sambil mengetuk pintu.

“Alamak, batal sudah aku menjamah bidadari dalam mimpiku!!” celutuh aku.

Kaki aku berat tuk melangkah ke luar dari kamar. Suara nyaring Ade dan dentuman pintu bagai suara beduk yang membangunkan lelap tidurku.

“Iya..iya..,” ujarku.

Pintu terbuka lebar. Udara pagi menyambar pori-poriku yang baru saja terbuka. Di hadapan, Ade berdiri dengan gagah perkasa. Roman wajahnya kelihatan segar, beda denganku. Muka kusut. Aku berdiri dengan pose kaku di hadapan Ade seperti patung duka cita.

“Aku mandi dulu,” ujar aku dengan suara berat.

“Gak usah mandi,” pinta Ade.

“Apa? Kau dengan gagahnya ke pelabuhan, sedangkan aku!!” kataku.

“Kita buru-buru. Cuci saja mukanya, tidak usah  mandi,” Ade. Memaksa.

“Oke,” jawab aku.

Sepeda motor melaju cepat ke pelabuhan. Di pelabuhan aku kembali mematung. Ade bergegas ke loket. Loket mulai sesak. Lelaki dan perempuan bercampur baur. Ada bergaya kota dan bergaya kampungan. Pagi itu aku entah jadi golongan apa? Aku hanya bisa bermain mata melihat suasana di pelabuhan.

Tiba-tiba lewat perempuan Tionghoa bersama keluarganya. Rambutnya terurai panjang. Matanya sipit dengan tatapan tajam. Alunan langkahnya bagai dawai gitar. Aku menikmati irama langkahnya. Rok mini bercorak alam. Menambah imajinasiku.

“Alamak, luar biasa! Aku. Takjub.

Gadis Tinghoa itu berlalu saja di hadapanku. Sorotan mataku hanya bisa mengiba. Mulai berduka setelah irama langkahnya menjauh dan menjauh dari pendengaran. Hanya hiburan sesaat saja ternyata.

Di kampus. Teman-teman aku sedang berkumpul. Mereka menunggu harapan dari kami di pelabuhan. Aku dan Ade bagai pahlawan di pagi buta bagi mereka. Kesaktria yang lusuh. Tak ada senjata perisai. Hanya nafas bau naga senjata kami.

Sepertinya kita kalah, tiket kapal sudah di serang balatentara musuh,” tutur Ade.

Seketika, kabar kekalahan itu aku sampaikan kepada bala tentara yang sudah siap berperang ke pulau Sabang.

“Tiket sudah habis, kita batal menjajaki ke pulau Sabang,” kataku, lewat ujung telepon gengam.

Tragis!!

Kabar buruk itu membuat kawan-kawan ngilu telingan mendengarnya. Mereka mati kuku. Menghela napas panjang. Menampar semangat.

Aku tak kuasa rasanya melihat mereka nanti banjir air mata. Apalagi tentara cewek yang mukanya telah menempel perisai bedak berkulit cap “badak”. Aku tak ingin melihat muka cap badak mereka meleleh.

“Sudah, bilang saja tadi kita bercanda,” tutur Ade.

“Terlalu dini jika kita mengatakan kemenangan ini,” ujarku.

Ade tertawa tercekik. Sesakali dia di bawah alam sadar melihat gitar berjalan di hadapannya.

“Alamak!! Ternyata anak ini juga tidak mau melewatkan syurga dunia yang sedang melenggok-lenggok di pelabuhan,” pikir aku dalam hati.

Ternyata, inilah imbalan untuk kami berdua setelah memburu waktu dan bergulat dengan pagi agar tidak kesiangan sampai ke pelabuhan.

Setelah itu kamipun kembali ke barak. Mereka semua menunggu kedatangan kami penuh harap. Aku dan Ade ibarat pahlawan kesiangan yang akan membawa berita kemenangan bagi teman-temanku.

“Bagaimana? Tanya Bustami, penuh harap.

Dia adalah manusia paling awal aku kenal saat aku menjajakan telapak kaki di kampus. Pemuda kampung lulusan pasantren. Roman wajahnya gagah perkasa, banyak gadis desa sepertinya mengiba untuknya agar dijadikan sang kekasih.

Aku menegurnya waktu ia sedang menempel di dinding seperti cicak jantang yang kehilangan cicak betina.

Dia culun sekali waktu itu. Akupun sempat kegirangan melihatnya. Sehati dengan karakter aku, Cuma bedanya aku kalah gagah dengan dia. Ibarat mobil balapan, aku ketinggalan tujuh tiang listrik dengannya. Tapi kini dia sudah berubah total. Dia menajdi kesatria sesungguhnya di kampus.

“Sudah bereskan tiketnya,” tanya bustami lagi.

“Beres,” jawab Ade.

“Kita mesti berkemas. Cewek-ceweknya sudah hadir semua? Kata bustami, semangat.

-----****-----

Kaca mata besar dan topi daun pandan jadi atribut teman-temanku saat melangkah dalam kapal yang akan memberangkatkan kami ke pulau Sabang. Mereka seperti artis yang kehilangan penggemarnya.

Aku tertawa dalam hati. Sesakali melihat mereka dengan melempar senyum. Merekapun mendaratkan kembali senyumnya.

Akhirnya peran artis gadungan mulai beraksi di atas kapal. Ada yang bernyanyi dan ada yang berlagak DJ.

“Mentri aku mana? Tanya Ade.

“Lagi grogi dia,” jawab Bustami.

Ya, aku sedikit berbangga diri di kampus. Teman-teman aku mempercayai aku menjabati Mentri Informasi dan Komunikasi (Infokom) Pemerintahan Mahasiswa.

“Mantap!! Mantap sekali mentri kau itu Ade,” Bustami. Memuji.

“Bedalah kami dengan Advokasi,” Tutur Ade, berbangga.

Bustami di kampus dipercayai menjabat Mentri Advokasi Pemerintahan Mahasiswa. Dan Ade sendiri berada di jajaran kementrian Infokom.

Seperti di acara infotaiment, artis ibu kota tak luput dari gosip-gosip murahan. Begitu juga teman-temanku yang sedang berperan jadi artis gadungan. Dan aku jadi pejabat negara yang dituduh dekat dengan seorang gadis.

“Si gadis,”

Kode itu menjadi pembuka awal untuk tuduhan kedekatan pejabat negara dengan artis gadungan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun