Saat berada di Pondok Pesantren Sukorejo, tengah sibuk mencari data untuk melengkapi tesis, sebuah pesan masuk ke ponsel saya pada tanggal 17 November 2024. Dari Divisi Keilmuan UKPK UIN KHAS Jember, pesan itu berbunyi, "Assalamualaikum, Mas Juf. Mohon maaf mengganggu waktunya. Kami dari Divisi Keilmuan, dan Senin besok (18 November 2024) akan mengadakan Kajian Triwulan Pertama bagi angkatan 25. Dan kami meminta tolong ke Mas Juf untuk menjadi pemateri di mata kajian Pengantar Teori Sosial. Sebelumnya mohon maaf, mas. Karena H-1 baru mengkonfirmasi . Njenengan berkenan nggih, mas? Untuk jam nya dimulai pukul 19.00 sampai dengan 21.30 di kantor UKPK, mas."
Sejenak saya terdiam, merenungi permintaan itu. Di sela kesibukan tugas akhir saya di Pascasarjana S2 UIN Kiai Achamd Siddiq Jember, pesan tersebut mengingatkan saya akan pentingnya peran berbagi ilmu, terutama untuk membangun pemahaman dasar di bidang teori sosial, terlebih sebagai Alumni UKPK yang dulu pernah berproses di organisasi ini. Dengan keyakinan bahwa ini adalah bentuk kontribusi kecil yang berarti, saya menyatakan kesediaan. Dalam kesempatan ini, saya memilih membahas "Paradigma Fakta Sosial," sebuah konsep fundamental yang menjadi fondasi penting dalam memahami dinamika masyarakat. Tema ini saya rasa relevan, tidak hanya untuk memperkenalkan kerangka berpikir dalam teori sosial, tetapi juga untuk menumbuhkan wawasan kritis dalam melihat realitas sosial.
Dalam melihat relaitas sosial, masyarakat selalu menjadi ruang interaksi yang dinamis, di mana berbagai fenomena sosial saling memengaruhi. Ketimpangan ekonomi, konflik kelas, dan perubahan nilai merupakan sebagian dari persoalan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Untuk memahami berbagai permasalahan ini, paradigma fakta sosial menjadi alat analisis yang sangat penting. Paradigma ini tidak hanya membantu menjelaskan hubungan antara struktur sosial dan individu, tetapi juga menawarkan wawasan tentang bagaimana norma dan institusi bekerja menjaga keteraturan masyarakat.
Paradigma fakta sosial, sebagaimana dijelaskan oleh George Ritzer, melihat masyarakat sebagai realitas yang objektif. Norma, nilai, dan institusi yang ada dalam masyarakat tidak hanya hadir untuk dipatuhi, tetapi juga memiliki kekuatan untuk membentuk perilaku individu. Pendekatan ini menawarkan cara pandang yang lebih terstruktur dalam memahami bagaimana masyarakat berfungsi, bagaimana konflik terjadi, dan bagaimana perubahan sosial berlangsung.
Kontribusi Karl Marx dalam paradigma fakta sosial berfokus pada analisis konflik kelas. Marx memandang masyarakat kapitalis selalu diliputi oleh konflik antara kelas pemilik modal dan kelas pekerja. Menurutnya, sistem ekonomi kapitalis menciptakan ketimpangan yang menyebabkan eksploitasi terhadap pekerja. Ketimpangan ini tidak hanya mencerminkan persoalan ekonomi, tetapi juga menyentuh dimensi sosial yang lebih luas. Marx mengusulkan bahwa perubahan sosial hanya dapat terjadi melalui perjuangan kelas yang revolusioner. Perspektif ini membantu menjelaskan bagaimana konflik struktural dalam masyarakat dapat menjadi pendorong bagi terjadinya perubahan.
Pemikiran Emile Durkheim menyoroti pentingnya solidaritas dalam menjaga kohesi masyarakat. Durkheim memperkenalkan konsep solidaritas mekanis dan solidaritas organis untuk menjelaskan bagaimana masyarakat dapat bertahan di tengah perbedaan individu. Solidaritas mekanis muncul pada masyarakat tradisional, di mana kesamaan nilai dan kepercayaan menjadi perekat sosial. Sebaliknya, solidaritas organis berkembang dalam masyarakat modern dengan pembagian kerja yang kompleks, di mana individu saling bergantung satu sama lain. Konsep ini menggarisbawahi peran norma dan nilai sebagai pengikat yang memastikan masyarakat tetap teratur.
Talcott Parsons melengkapi paradigma fakta sosial dengan menyoroti pentingnya keseimbangan dalam sistem sosial. Parsons memandang masyarakat sebagai sebuah sistem yang terdiri dari elemen-elemen saling berhubungan. Ketika satu elemen terganggu, sistem memiliki mekanisme adaptasi untuk mengembalikan keseimbangan. Institusi seperti keluarga, agama, dan pendidikan memainkan peran penting dalam mentransmisikan norma dan nilai yang dibutuhkan untuk menjaga stabilitas masyarakat. Pendekatan Parsons membantu menjelaskan bagaimana sistem sosial mampu bertahan menghadapi tantangan dan perubahan tanpa kehilangan stabilitasnya.
Paradigma fakta sosial tidak hanya membahas bagaimana masyarakat bekerja secara teori, tetapi juga memberikan panduan praktis untuk menganalisis fenomena sosial. Dalam paradigma ini, struktur sosial dipahami sebagai realitas yang objektif. Norma dan nilai dilihat sebagai alat yang digunakan untuk mengatur perilaku individu. Konflik dan solidaritas menjadi dua sisi yang saling melengkapi dalam membentuk dinamika masyarakat. Pendekatan ini memungkinkan kita untuk memahami bagaimana berbagai elemen masyarakat saling berinteraksi dan menciptakan perubahan.
Kajian berbasis paradigma fakta sosial memberikan banyak manfaat dalam analisis sosial kontemporer. Pemikiran Marx membantu kita memahami ketimpangan ekonomi dan bagaimana relasi kuasa dalam masyarakat menciptakan pola dominasi. Konsep solidaritas Durkheim membantu menjelaskan bagaimana norma dan nilai berfungsi menjaga keteraturan sosial di tengah keragaman individu. Gagasan Parsons tentang keseimbangan sistem memberikan wawasan tentang bagaimana institusi bekerja untuk menciptakan stabilitas dalam masyarakat yang terus berubah.
Paradigma fakta sosial juga relevan untuk memahami fenomena yang lebih luas, seperti globalisasi, perubahan budaya, dan transformasi institusi sosial. Pendekatan ini memberikan kerangka yang kuat untuk menganalisis bagaimana norma, nilai, dan institusi bekerja di tengah dinamika global yang semakin kompleks. Analisis ini tidak hanya memberikan wawasan teoretis, tetapi juga menawarkan solusi praktis untuk menghadapi tantangan sosial.