Mohon tunggu...
jufriyanto
jufriyanto Mohon Tunggu... Ilmuwan - Mas Juff

Tajam Berpikir Lembut Berdzikir

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Memahami dan Mengaktulisasikan Makna

29 Maret 2023   15:26 Diperbarui: 29 Maret 2023   15:27 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Makna tidak memiliki kekayaan apa-apa dalam bahasan dan perenungannya tanpa adanya bantuan pemikiran yang bersumber dari teori-teori dan penemuan penemuan ilmiah. Maksudnya pemikiran disini adalah pemikiran filsafat secara khusus. Model pemikiran tersebut sedikit berbeda dengan pemikiran keilmuan, karena ia merupakan hasil perenungan dalam hakikat ilmu dan dalam pemikiran itu sendiri, yang senantiasa mendapatkan pengaruh dan memperbaharui diri dengan pendalaman terhadap khazanah keilmuan yang membentuk suatu persoalan pokok dalam kerja filsafat. 

Maka tidaklah mengherankan jika dalam analisis semiotika bahasa, ia dianggap sebagai salah satu analisa ilmiah terpenting yang ditemukan oleh ilmu-ilmu kemanusiaan abad ini. Ia juga meletakkan pengaruhnya yang kuat dalam khazanah pemikiran umum. Penemuan ini terwujud bersamaan dengan lahirnya ilmu bahasa di tangan Linguis terkenal bernama Ferdinand de Saussure. Sedangkan peletak dasar ilmu Semiotika adalah seorang Filsuf Besar Amerika Carl Pierce, seperti yang telah dikenal bersama dan ditulis secara terperinci oleh 'Adil Fakhuri dalam bukunya yang berjudul Tayyarat fi al Simiyya'. 

Kata Simiyya' memiliki bentuk yang sama dengan Kimiyya', seperti yang telah diketahui oleh sebagian orang, yaitu ilmu tentang tanda dan petunjuk, yang disebut juga Semiotika atau Semiologi dalam bahasa Eropa. Saya lebih banyak menyebut kata Simiyya' untuk Semiologi, karena kata tersebut dalam bahasa Arab bermakna tanda, seperti yang disebutkan dalam Kamus Lisan al-'Arab. Jadi, ada kedekatan lafadz antara kedua kata tersebut. Kata Simiyya', Simah dan Sima bermakna sama, karena berasal dari satu akar kata, yaitu Sawm. Sedangkan Semiologi berasal dari Bahasa Yunani (Sema), yang berarti tanda. Ada persamaan bunyi dan makna antara kedua kata di atas, sehingga kita dapat menganggapnya bersumber dari satu akar kara. Hal tersebut banyak terjadi, seperti kata Lughah dalam bahasa Arab dan Logos dalam bahasa Yunani. Maka bukanlah sesuatu yang mengherankan apabila dari mulut yang berbeda kadangkala lahir kemiripan dalam sebagian kosakata bahasa, sintaksis secara umum dan kaidah linguistiknya secara universal. 

Analisis Semiotika mencerminkan pengulangan pembacaan dalam memahami suatu tanda ke arah perubahan pola hubungan antara penanda dan petanda, atau pengaturan ulang pola hubungan antara kaca, benda dan makna. Pemahaman luas dan umum selama ini bahwa tanda itu berkaitan dengan eksistensi inderawi-eksternal dan lebih condong ke arah tersebut secara langsung. Makna makna pun mendasarkan diri pada gambaran tanda dengan struktur khusus tersebut, bahkan secara tertulis berdasarkan suatu kesesuaian antara penanda dan petanda yang kemudian melahirkan suatu makna. Padahal ilmu bahasa modern bekerja di seputar pemahaman ini, dengan suatu pernyataan: "Tanda itu terbagi ke dalam dua bagian: penanda, yaitu rumus, gambaran bunyi, tulisan, dan yang kedua adalah petanda, yang terbagi lagi menjadi dua bagian, yaitu Unsur Eksternal (Obyek) dan Pemahaman (Deskripsi Akal Budi). Dengan kata lain, ada tiga unsur yang membentuk struktur kerja semantis (maknawi), yaitu rumus atau kata yang mencerminkan suatu benda, pemahaman atau sesuatu yang menjadi interpretasi benda tersebut dan unsur eksternal (objek dari rumusan atau benda tersebut). Sebuah makna berdasarkan gambaran ini, tidak lahir hanya dengan salah satu unsur-unsur tersebut, melainkan perpaduan dari ketiga unsur tersebut yang menyempurnakan penyandaran suatu benda kepada objeknya dengan bantuan unsur ketiga, yakni pemahaman. Maksudnya adalah interpretasi objek dan menerjemahkannya dalam deskripsi akal budi, yang kadangkala disebut makna. 

Dari sini, diketahui bahwa tanda itu tidaklah berkaitan dengan unsur eksternal secara langsung, akan tetapi lebih cenderung ke arah penanda yang lain, yaitu pemahaman atau deskripsi akal budi. Demikianlah posisi deskripsi akal budi di antara tanda dan rujukannya yang merupakan satu bentuk independen yang memiliki hakikat dan bagian eksistensialnya. Contohnya adalah ketika kita mendengar dan membaca kata Insan. Kita tidak akan membayangkan sesuatu yang ada di luar batin, dalam bahasa kita dan kepada sesuatu yang kita sebut insan secara langsung. Tapi yang kita bayangkan adalah deskripsi dan makna sepanjang yang kita pahami dan merupakan ungkapan interpretasi kira terhadap kata tersebut. 

Paparan diatas merupakan gambaran terbaru tentang tanda yang berasal dari pemikiran Barat. Akan tetapi hal itu tidak terjadi dalam pemikiran Arab Klasik yang tampak pengaruhnya saat ini dalam berbagai aspek dan bidang studi Linguistik. Seorang ahli Linguistik Arab, Yahya ibn Hamzah, ketika berbicara tentang hubungan antara bahasa dengan benda, menerangkan dengan jelas bahwa kata-kata itu pada hakikatnya menunjukkan makna-makna akal budi tanpa terkait dengan eksistensi eksternal. Hal tersebut juga ditunjukkan oleh Adil Fikhuri dalam karyanya yang telah disebutkan. Studi Studi Logika tersedia dari sumbernya seperti pembacaan tentang hubungan antara tanda dan rujukannya, atau antara penanda dan petandanya. Studi logika membedakan suatu benda berdasarkan empat tingkatan atau empat bentuk, yaitu eksistensi kebendaan (fisik), eksistensi akal budi (non fisik), eksistensi verbal (lisan) dan eksistensi tulisan. 

Pernyataan bahwa suatu benda itu memiliki eksistensi non fisik (akal budi) berarti bahwa deskripsi akal budi membentuk ukuran optimisme dan posisinya dalam wilayah makna. Untuk itu, meringkas deskripsi tersebut tidaklah mungkin berdasarkan rujukan yang dipergunakannya dan berdasarkan tanda, baik dalam ungkapan bunyi maupun tulisan. 

Karena alasan-alasan diatas, deskripsi akal budi tidak mungkin juga untuk menjauh dari ketiga bentuk lainnya. Suatu benda, pemahaman, ungkapan dan tulisan merupakan ukuran-ukuran temporal-fleksibel-struktural yang tidak harus saling menyesuaikan satu sama lain, akan tetapi tersusun satu sama lain dalam hubungan interpretatif, saling berinteraksi, berdialog, saling memberi referensi dan saling menggantikan posisi masing-masing. Kenyataannya adalah bahwa deskripsi akal budi yang merupakan terjemah dari pemahaman terhadap suatu rujukan, pada saat yang sama telah membentuk suatu tanda lain, menciptakan penanda yang menunjukkan eksistensi petanda lain, serta membuat suatu rumusan yang memberikan referensi bagi lahirnya sebuah deskripsi yang tidak henti-hentinya muncul di dalam akal budi, sehingga kemudian menjadikan ungkapan yang ada tidak mampu untuk membongkar hakikat objek. Maka kemudian apakah yang terjadi, jika sebuah persoalan tidak berkaitan dengan objek yang menunjukkan kepada sebuah benda, tapi berkaitan dengan ungkapan otentik tentang aspek-aspek batini-internal dan sama sekali tidak berkaitan dengan aspek eksternal, seperti universalitas, partikularitas, pemahaman, makna dan ungkapan lain yang menunjukkan bahwa objek-objek tersebut merupakan sarana pemahaman yang memproduksi makna, sehingga di dalamnya, banyak kata yang mengacaukan pemikiran di balik selubung makna dan serangkaian pemahaman. 

Apapun obyek dan referensi yang dipergunakan, suatu tanda saat ini dipahami sebagai sebuah wilayah makna yang sempit, atau kandungan makna yang tidak henti-hentinya memancarkan makna yang berbeda dengan dirinya sendiri. Hal itu adalah suatu kemampuan semiotik, karena ia memiliki kemungkinan membutuhkan serangkaian tanda-tanda lain yang membuat beragam makna berpola dan tidak berhenti pada beberapa pertanda. 

Dengan itu, setiap pernyataan melahirkan sebuah kemungkinan untuk interpretasi yang mengalihkan kita dari satu informasi makna kepada informasi makna yang lain selamanya, dari strata metaforis menjadi strata pluralis, dari satu cakrawala ilmiah menjadi cakrawala ilmiah yang lain, sehingga suatu teks dapat dijadikan sebagai permainan bebas yang terbuka terhadap beragam pembacaan, dengan kemampuan setiap penanda untuk menghasilkan penanda yang lain, atau kemampuan setiap petanda untuk melahirkan sebuah analogi baru sebagai akibat dari adanya penanda lain yang bersifat maya. 

Proses ini adalah proses peralihan antara beberapa penanda dan perubahan antara beberapa pertanda karena adanya sebab-sebab maya---menurut Jacques Derrida disebut al-ta'wim. Hal itu diterangkan oleh Abdullah Ibrahim dalam makalahnya tentang metode Pemisahan (Pelepasan) ala Derrida, yang terangkum dalam sebuah buku Yang berjudul Ma'rifah al-Akbar.

Kesimpulannya adalah bahwa analisis Semiotik mengandung tiga aspek penting, yaitu (1) Celah yang terbuka antara tanda (simbol) dan pemikiran, atau antara pembicaraan dan pandangan, karena kita selamanya membicarakan sesuatu yang tidak tampak, atau kita menggunakan simbol yang tidak menunjukkan identitas dirinya, tapi menunjukkan identitas yang lain. Celah ini yang membuat hal yang dibicarakan menjadi sesuatu yang serba mungkin dan tidak terbatas kemampuannya sampai suatu saat tertentu. (2) Bahwa tidak mungkin ada sebuah pemikiran tanpa suatu sistem bahasa dan sistem tanda (simbol). Untuk itu, kosa kata menciptakan sesuatu dengan makna tertentu. (3) Bahwa tidak ada pemikiran tanpa gambaran-gambaran dan analogi-analogi, atau tidak ada pemikiran tanpa aspek imajinasi-simbolik. 

Paparan di atas menyusun sisi objektif dari berbagai kreativitas pemikiran yang kita persiapkan dan kita ulangi kembali dalam bentuk yang lebih dekat dengan ketidakteraturan dan kemonotonan. Kalau kita tidak mampu untuk berpikir tanpa sarana bahasa dengan sistem simbol dan kebebasan metaforanya sementara pada saat yang sama suatu tanda menunjukkan deskripsi akal budi yang berada di semesta imajinasi dan dunia ide saja, sebelum ia menunjukkan suatu identitas kongkrit maka hal itu menunjukkan bahwa sebuah pemikiran hanya dapat berhubungan dengan suatu kreativitas dan mencakup benda-benda yang identitasnya berada di alam khayal saja, apapun referensi, objek, gagasan yang ditawarkan atau arah yang dikehendaki. 

Karenanya, bukanlah suatu kesulitan untuk memilih satu di antara pemikiran materialisme dan pemikiran idealisme, atau antara mazhab yang menyatakan bahwa eksistensi itu hanya ada di alam nyata dan mazhab berikutnya yang menyatakan bahwa alam ini hanyalah penampakan dan pengaruh dari alam lain yang bersifat maya. Kesulitannya adalah ketidaksesuaian antara apa yang kita pikirkan dengan apa yang kita lihat, atau ketidaksesuaian antara apa kita bicarakan dengan apa yang kita pikirkan, baik ketika kita membicarakan tentang persoalan materi, fisik, atau tentang Tuhan dan Ruhani, arau ketika kita mempersoalkan tentang sejarah dan memikirkan tentang ilmu alam, atau ketika kita percaya kepada Yang Transenden dan memikirkan sesuatu yang metafisik. 

Referensi dan obyek-obyek eksternal menjadi sama, apabila dipandang dari sudut pandang ini, atau sudut pandang di antara diri kita dengan berbagai intensitas metaforis dan sarana teori pemahaman. Dari sinilah dibutuhkan aplikasi dari metode Fenomenologi, dimana prinsipnya menghubungkan banyak teori dan struktur pemikiran dengan hubungan yang terus-menerus antara satu makna dengan makna yang lain, atau dari satu semesta dengan semesta yang lain, atau dari suatu eksistensi menjadi eksistensi baru, sebagai upaya untuk mencapai hakikat yang sebenarnya dari segala sesuatu. 

Pencapaian kepada suatu identitas berarti mengarahkan segala pembicaraan ke arahnya yang tidak akan dapat dicapai kecuali dengan perubahan antara banyak benda dan penamaannya dengan banyak terma. Namun hal ini tidak mungkin, karena tidak ada suatu entitas yang dapat dirujuk kepada beragam entitas lainnya, atau memiliki sifat yang sama dengan entitas yang berbeda tersebut, atau berwujud sebuah entitas yang sulit untuk didefinisikan. 

Tapi yang mungkin dinyatakan adalah bahwa segala sesuatu mungkin untuk dikembalikan kepada sesamanya, selama ia berasal dari satu sumber dalam satu wilayah dan mencerminkan satu terma eksistensial yang merupakan pusat dari persamaan dan perbedaan, dimana suatu benda dapat dianalogikan dengan nama, ide atau sifat benda lain. 

Hal itu merupakan kemungkinan ontologis yang terbuka untuk menjadikan pengetahuan sebagai suatu rangkaian hasil perenungan yang membentuk penafsiran baru sebagai hasilnya, bahkan merupakan bentuk perluasan makna lama yang berdasarkan pengungkapan simbol-simbol dalam bentuk rumusan yang harus dibongkar akumulasi makna dan kandungan metaforanya. Pada akhirnya, entitas itu tidak ada tanpa nama. Sebuah nama adalah petunjuk yang harus dipahami dan ditafsirkan. Tidak ada penafsiran yang hampa dari analogi pinjaman dan term-term lain untuk menerangkan identitas dan sifat sifatnya. 

Singkat kata, pengetahuan tentang sesuatu tidak akan sempurna tanpa analogi pinjaman yang dasarnya adalah penyandaran sesuatu kepada sesuatu yang lain dengan sifat-sifat tertentu, apabila sebuah universalitas terkait dengan universalitas yang lain. Objek-objek tentang interpretasi simbol dan pengetahuan ini, dapat dilihat dalam pembacaan Nietzsche terhadap kata-kata Ibn "Arabi, khususnya pada sebuah pernyataannya yang berbunyi "Siapa yang mengetahui hakikat sesuatu, maka ia telah menerima kunci ilmu pengetahuan".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun