Mohon tunggu...
Jufri Erdogan Hobamatan
Jufri Erdogan Hobamatan Mohon Tunggu... -

Direktur Lingkar Muda Lembata [LINGKAR MATA]

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sasando dari Sunda Kecil

16 November 2012   18:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:13 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jufri Erdogan [Direktur Lingkar Muda Lembata – LINGKAR MATA]

NTT menyimpan banyak warisan budaya bernilai tinggi dan tetap lestari hingga saat ini. Salah satunya adalah instrumen musik tradisional Sasando dari pulauRote,Nusa Tenggara Timur.Secara harfiah nama Sasando menurut asal katanya dalam bahasa Rote, sasandu, yang artinya alat yang bergetar atau berbunyi. Konon sasando digunakan di kalangan masyarakat Rote sejak abad ke-7.

Bagian utama sasando berbentuk tabung panjang yang biasa terbuat dari bambu. Lalu pada bagian tengah, melingkar dari atas ke bawah diberi ganjalan-ganjalan di mana senar-senar (dawai-dawai) yang direntangkan di tabung, dari atas kebawah bertumpu. Ganjalan-ganjalan ini memberikan nada yang berbeda-beda kepada setiap petikan senar. Lalu tabung sasando ini ditaruh dalam sebuah wadah yang terbuat dari semacam anyaman daun lontar yang dibuat seperti kipas.

Sasando bukan sekadar harpa, piano, atau gitar tetapi tiga alat musik dalam satu ritme, melodi, dan bass. Di tangan pemain ahlinya alat musik tradisional sasando dapat menjadi harmoni yang unik. Hanya dengan satu alat musik sebuah orkestra dapat diperdengarkan. Dalam khazanah bunyi di Nusantara, sasando termasuk unik. Instrumen dengan sistem tangga nada heksatobik atau enam nada ini mempunyai gaya melodi yang terdengar lain dibandingkan dengan musik lain di Indonesia. Melodinya menggunakan gaya menurun ke bawah, descending movement, yang mengingatkan pada gaya Afrika. Menurut Musisi Indonesia Dwiki Dharmawan Sasando adalah alat musik yang khas dan tak mudah untuk dimainkan, memiliki kesulitan yang tak main-main. Suaranya yang indah ternyata memang mampu membuat siapa pun ikut bergoyang.

Seperti alunan nada musik pada umumnya, senandung lembut sasando kerap hadir di lembah-lembah imajinasi kita anak-anak FLOBAMORA [sebutan lain untuk NTT]. Kadang ia mampu memaksa tetesan airmata, namun ia juga mampu mengahadirkan simpul senyum bahagia karena kerinduan pada kampung halaman. Meskipun merupakan alat musik tradisional, universalitas sasando berlaku menyeluruh. Alat musik luar biasa ini  ibarat masterpiece maestro yang terpendam. Sebagai budaya peninggalan masa silam yang bernilai tinggi, sekaligus mengisahkan leluhur penciptanya yang memiliki kecerdasan yang luar biasa terhadap bangsa ini. Melestarikan instrumen musik tradisional ini diharapkan menjadi inspirasi, terutama bagi kaum muda NTT  guna memacu diri mejadi generasi hebat berkemampuan melahirkan karya karya monumental, menumbuhkan jiwa patriotisme, mendamaikan hati yang gundah dan mempunyai efek terapi rekreatif.

Belajar dari saung Angklung Mang Udjo

Wisata Saung Angklung Udjoterletak di Jln. Padasuka 118, Bandung Timur Jawa Barat, Saung ini merupakan sanggar seni, laboratorium pendidikan, sekaligus sebagai obyek wisata budaya Sunda khas Jawa Barat. Di Saung Angklung Udjo (SAU) wisatawan akan dimanjakan dengan berbagai seni Sunda yang spektakuler. Seperti demontrasi wayang golek, upacara heleran, tari tradisional, angklung pemula, angklung orchestra masal dan arumba. Alat musik angklung telah resmi diakui dan dikukuhkan oleh badan PBB, UNESCO, sebagai warisan budaya dunia pada 16 November 2010.

Saung Angklung Udjo (SAU) merupakan sebuah tujuan wisata budaya yang lengkap, karena SAU memiliki arena pertunjukan, pusat kerajinan bambu dan workshop untuk alat musik bambu. Produksi instrumen angklung dilakukan untuk keperluan intern pertunjukan dan penjualan. Produk alat musik bambu tradisional seperti angklung, arumba, calung dibuat dan dijual kepada pembeli. Saung angklung membuat kebijakan untuk menstimulan perekonomian masyarakat setempat dengan menerapkan pola kemitraan. Sebuah konsep wisata budaya ideal yang memadukan unsur kesenian alat musik tradisional yang atraktif dan edukatif.

Jadi, bagi kita yang menganggap budaya etnik adalah kuno, kita sesungguhnya adalah orang yang ketinggalan zaman. Karena pada kenyataannya tren dari dunia Barat mengarah pada pelestarian budaya tradisi. Dan ketidaktahuan kita telah menyebabkan Indonesia melewatkan kesempatan besarnya untuk dikenal oleh dunia luas. Bukalah mata Anda. Pada masa ini, saat semua hal menjadi sama, memegang teguh budaya menjadi satu-satunya ‘harapan’ kita untuk menjadi bangsa yang berkarakter dan tidak kehilanagan identitasnya. Dan janganlah menganggap budaya asing selalu lebih agung dari budaya lokal kita.

Melihat hal ini, kita berharap pemerintah daerah NTT punya tekad kuat untuk terus menerus berupaya melestarikan, mengembangkan dan mempromosikan sehingga orang makin berminat terhadap musik Sasando. Sebagai orang NTT kita patut menghargai musisi-musisi lokal maupun nasional yang mulai memadukan sasando dengan alat musik modern. Seperti konser sasando yang dipimpin Konduktor Dwiki Darmawan  beberapa waktu lalu di aulta Eltari Kupang. Tentu, rasa senang dan suka akan alat musik tradisional ini merupakan kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur. Namun itu saja tidak cukup dengan suasana yang berubah hening, tepuk tangan meriah dan teriakan sukacita dari penonton bergema setiap kali alat musik tradisional sasando musik dan lagu daerah terdengar dari atas panggung. Sekadar menjadi penikmat dan pendengar belum cukup untuk melestarikan budaya kita. Kita harus menjadi pelaku terhadap warisan leluhur kita sendiri.

Oleh karena itu kepada masyarakat NTT terlebih generasi muda dan semua komponen untuk membangun kesadaran kolektif belajar mencintai, melestarikan, mempromosikan salah satu ikon instrumen musik tradisional khas NTT. Dengan dukungan semua pihak, dan promosi yang intens maka saya optimis, Sasando bukan saja bisa menjadi icon budaya daerah, tapi juga icon nasional bahkan icon dunia yang layak mendapat penghargaan dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan [UNESCO] sebagai warisan dunia. #17/11/2012 at diponegoro 29 jakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun