Seorang kawan berujar: "Tak ada ruang lagi bagi kita untuk jadi kontestan pesta demokrasi lima tahunan?
Mengapa? Tanyaku.
"Sebab tak ada saluran gagasan dan pemikiran didalam. Yang ada adalah arus kekuatan kapital. Jika tak punya, pupuslah harapan kita untuk jadi kontestan. Cukup tinggal di luar konstestasi. Pemilih pun masih menghendaki itu. Sulit ditangkal,"
Benar kegundahan kawan saya. Barangkali ini hanya segelintir dari hirap asa tentang demokrasi.
Pasca Orde Baru, ruang demokrasi terbuka lebar. Dan itulah tujuannya. Yakni mengakhiri oligarki kekuasaan yang selama ini berjalan. Hingga siapapun bisa berkompetisi di dalam. Mereka bisa calon, dan berharap dipilih oleh rakyat.
Sayangnya bayang-bayang oligarki itu kembali tumbuh. Dikuasai oleh mereka yang melakukan semua cara demi mendulang suara.
Barangkali, satu hal yang mainsteram dari upaya itu, yakni politik uang. Yakni memberi atau menjanjikan sesuatu hal yang berbau rupiah, agar dipilih. Sedari awal terbukanya kebebasan berdemokrasi, politik uang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari tubuh demokrasi lima tahunan.
Politik uang didefinisikan sebagai kejahatan demokrasi. Olehnya, pelbagai regulasi perundangan diupayakan untuk mencegat guritanya. Memang persimpangan jalan demokrasi kita, tak lebih dari pesta perayaan janji dan pemberian. Yang dihasilkan dari perayaan ini, adalah mereka yang tak tercegat, dan pasti pelaku politik uang.
Negara jua sudah membuat instrumen kelembagaan untuk menjaga warwah demokrasi.
Misal, Bawaslu. Diantaranya, bertujuan agar demokrasi kita tak terjebak gurita politik uang. Nahasnya, gurita ini terus berjalan. Tentu saja, dengan ragam modus dilakukan untuk diselipkan di ruang-ruang kontestasi.
Pra pileg 2019 saja, Kepolisian RI sudah mencatat ada 554 laporan dugaan pelanggaran Pemilu 2019 yang diterima Sentra Gakkumdu.