Dilansir dari katadata.co.id, ada 132 laporan yang dinyatakan sebagai tindak pidana Pemilu karena memenuhi unsur formil dan materiil. Ada 442 laporan dianggap tidak terbukti. Rata-rata pelanggaran pemilu ini didominasi politik uang.
Politik uang memang berbahaya. Kebebasan berdemokrasi timpang. Bisa dibajak, lalu tumbuh gap-gap sosial. Hanya dikuasai oleh pemodal yang umumnya tumbuh dari patronase kekuasaan yang sudah barang pasti adalah pemodal. Faktanya demkian.
Misalkan, di Sulawesi Tenggara. Figur lolos di DPR-RI, yakni mereka yang dihasilkan dari patronase. Ada mantan kepala daerah hingga anak kepala daerah. Jika dibijaki, tentu ini adalah takdir. Apa hanya berhenti disini?
Upaya semua pihak diharapkan. Urgensi pengawasan dari kelembagaan sangat perlu. Demikian pula halnya pengawasan partisipatif dari masyarakat. Terlebih sudah ada produk hukum yang secara fungsional berupaya untuk memberangus kejahatan politik uang.
Kita bisa contohi tindak tegas terhadap  Mandala Shoji dan Lucky Andriani pada Pileg lalu.
Mandala dan Lucky ketahuan membagikan kupon undian berhadiah umrah agar dipilih ketika berkampanye di Pasar Gembrong Lama, Johar Baru, Jakarta. Keduanya terbukti melanggar Pasal 280 angka 1 huruf j Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Karenanya, Mandala dan Lucky divonis tiga bulan penjara dan denda Rp 5 juta subsider 1 bulan penjara.
Saya berharap tindak tegas wajib dilakukan. Qou vadis demokrasi kita harus dijawab. Salah satunya penegakan hukum terhadap politik uang. Karena ini mencederai demokrasi kita secara subtantif. Demokrasi tidak boleh kehilangan makna. Kedaulatan rakyat harus diperkuat dan tumbuh sebagai kekuataan, agar tidak dicegat oleh simpang kekuasan yang hanya dinikmati elit kapital.
Satu sisi memang ini dilematis juga. Disisi lain, bisa didefinisikan sebagai kejahatan. Pun demikian, politik dijebak delusi budaya. Selama ini masyarakat kita mengenal budaya terima kasih atas kerja-kerja tertentu, sehingga nyaris tak ada jasa yang diganjar pemberian berupa materi.
Delusi itu tumbuh dalam kerangka kontestasi politik. Masyarakat menganggap sebagai budaya terima kasih. Nahasnya, kerja-kerja pemenangan sangat sulit dilakukan tanpa imbalan. Upaya tukar jasa berlangsung sebagai hal yang sulit dicegah.
Terlebih di tengah hiruk kejenuhan politik. Tumbuh satu golongan yang apatis. Kontestasi demokrasi dianggap penuh intrik dan kebohongan. Semua harapan yang diserap oleh janji saat konstestasi tak kunjung terealisasi. Akhirnya, diakhiri dengan menjual suara. Politik uang jadi satu-satunya cara untuk mengobati titik jenuh itu.
Apapun rupa dilematisnya, tak ada ampunan. Politik uang tetaplah ujud kejahatan. Penting untuk diakhiri.