Tahun 2006 dan 2007
1. Gongan bu, Bacheng Huaren Gongguan Dangan (Gong An Bu-Risalah Rapat Dewan Dewan Cina). Vol. 6, Xiamen: Xiamen University Press. 355 hlm
Tahun 2008
1. Cina en de Nederlanders, Geschiedenis van de Nederlands-Cina betrekkingen 1600-2008, Zutphen: Walburg Pers, 255 hlm
2. Ryu ke Mitsubachi, Chugokukai-eki ada orandajin yonhyakunenshi, (The Dragon dan Lebah madu, empat ratus tahun kegiatan Belanda di China Coast) transl. Fukami Sumio, Fujita Kayoko, Koike Makoto, Tokyo: Koyo Shobo, 235 hlm.
3. Terlihat Kota Canton, Nagasaki dan Batavia dan Kedatangan Amerika Cambridge.: Harvard University Press, 114 hlm
C.Deskripsi Buku
Judul: Persekutuan Aneh: PemukimCina, WanitaPeranakan, danBelanda di Batavia VOC
Penulis: Leonard Blusse
Penerbit: LKIS, Yogyakarta,
Terbit: Agustus 2004
Tebal: xx + 532 halaman
Memahami Jakarta pada masa kolonial yang kala itu masih disebut Batavia memang menarik. Pasalnya, dari situlah kita dapat melihat dimensi-dimensi sosiologis-politis yang kemudian membentuk Jakarta masa kini. Buku ini rasanya adalah salah satu referensi yang dapat menambah derajat pemahaman kita mengenai dimensi-dimensi tersebut.
Pada bagian awal buku ini pembaca mungkin akan terperangah mengetahui bahwa Batavia pada abad 17 ternyata tidak lebih dari sebuah kota perbudakan. Kala itu perbudakan mendapat tempat yang subur karena memiliki payung legalitas dari pemerintah kolonial. Penyebabnya pemerintah memiliki kepentingan untuk menempatkan pekerja murah untuk mengembangkan Batavia menjadi kota dagang.
Akibatnya budak tidak hanya didatangkan dari berbagai pulau di luar Jawa seperti Maluku, Sulawesi atupun Bali, melainkan juga dari luar negeri seperti India, Srilanka, hingga Filipina. Para budak ini kemudian diperjualbelikan oleh tuan-tuan mereka. Di kemudian hari kedatangan para budak di batavia memunculkan masalah kemasyarakatan tersendiri di Batavia, mulai dari pergundikan, kriminal, hingga kekerasan.
Kemunculan budak dan pendatang ke Batavia telah menjadikan kota ini sebuah kuali adukan (melting pot). Namun itu pun memunculkan potensi gesekan. Kehadiran kelompok etnis Cina misalnya, telah memicu konflik tersendiri. Salah satu yang tercatat dalam buku ini adalah kebiasaan berjudi yang kerap berujung pada keributan. Akibatya pemerintah harus membatasi perjudian.
Namun, situasinya menjadi dilematis. Pasalnya, di satu sisi, pemerintah yang berkuasa memperoleh pendapatan dari perjudian tersebut. Setiap rumah judi ataupun pesta-pesta yang menyelenggarakan perjudian, diharuskan menyerahkan semacam pajak kepada pemerintah Batavia.
Masalah lain yang juga sering muncul ke permukaan pada abad 17 adalah konflik antar pemeluk agama. Hal ini terjadi antara penganut Kristen dan Katolik. Kala itu para pendeta Kristen terang-terangan menolak misi yang dijalankan oleh pemuka agama Katolik. (hal. 239-254). Bahkan tanpa segan mereka menganggap ibadah ataupun ritus yang dipimpin oleh pemuka Katolik dianggap ilegal.
Hal yang harus dicatat mengenai hubungan antar pemeluk agama pada masa kolonial adalah kenyataan Islam yang terus berkembang dan memegang peranan penting. Bahkan kemudian pemerintah Hindia Belanda lebih membuka kesempatan untuk perkembangan Islam ketimbang agama Katolik.
Pada halaman 217-220 bahkan disampaikan bahwa Islam tidak dianggap sebagai “bahaya”, sebaliknya banyak ulama Islam yang dianggap dapat bekerja sama dengan pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa Islam memiliki posisi khusus.
Hal berbeda dialami oleh praktik-praktik relijius yang dilakukan oleh etnis Cina. Dalam buku ini praktik keagamaan yang dilakukan oleh etnis Cina cenderung dianggap membuat keributan. Tidak mengherankan jika pemerintah perlu untuk melarang kegiatan tersebut.
Buku ini menarik untuk memahahami kehidupan masyarakat kolonial Batavia. Sayangnya, catatan yang banyak didasarkan pada dokumen administrasi pemerintahan ini, tidak diformulasi dengan cara yang lebih cair. Padahal cara yang lebih cair akan membuat pembaca lebih asyik mengikuti “perjalanan ke masa lalu” ini.
D.Isi Buku
Batavia merupakan pusat perdagangan internasional bentukan Belanda. Sebagai pusat perdagangan yang berskala internasional, banyak pedagang-pedagang asing yang berdagang di Batavia, salah satunya adalah orang-orang Cina. Pada awal kedatangannya, banyak diantara orang-orang Cina tersebut yang hanya berniat untuk berdagang. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka seringkali menetap di Batavia sekedar untuk menunggu iklim yang baik untuk kembali ke negara asal mereka. Selain itu, tidak sedikit orang-orang Cina yang merasa nyaman tinggal di Batavia.
Namun, sejak masa dinasti Han (206 SM-220 M) dan dinasti Jin (265-420 M) telah terjalin hubungan diplomatik antara Cina dengan Nusantara. Hubungan antara Cina dengan Nusantara dapat diketahui dengan peninggalan benda-benda, seperti guci, keramik, ataupun mangkuk yang memiki corak Cina. Selain itu, terdapat pula misi perjalanan yang terkenal, dipimpin oleh pelaut Cina Laksamana Cheng Ho yang melewati beberapa daratan di Nusantara.
Dalam sejarahnya, tercatat pada masa pemerintahan Jean Jacques Specx dalam kurun waktu 1629 sampai 1632, orang-orang Cina di Batavia diberikan berbagai kemudahan. Hal ini membuat banyak orang-orang Cina yang menetap di Batavia. Selain itu, peningkatan usaha tebu membuat orang-orang Cina secara ekonomi mengalami peningkatan yang signifikan. Selain itu, pemerintah memberikan kemudahan lain yaitu orang-orang Cina yang kaya raya diperkenankan tinggal didalam tembok Batavia (didalam kota Batavia). Untuk membatasi banyaknya populasi Cina di Batavia, pada tanggal 21 Mei 1690 pemerintah melakukan pembatasan. Orang-orang Cina yang menetap di Batavia harus mengurus izin kepada Kapiten Tionghoa (penghubung antara orang Cina dengan pemerintah Belanda atau dengan pribumi).
Peraturan-peraturan yang diterapkan oleh pemerintah VOC seringkali berubah-ubah sesuai dengan kepentingan pemerintah VOC yang seringkali merugikan rakyat, dalam hal ini merugikan orang-orang Cina. Pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap pendatang yang berasal dari Cina pada tanggal 28 Mei 1706 sedikit dilonggarkan. Namun, pada tahun 1727, peraturan tersebut kembali diperketat. Tarik ulur peraturan yang hanya menguntungkan pihak pemerintah semacam ini seringkali terjadi. Dalam hal mengurus perizinan pun, orang-orang Cina kerap kali dipersulit bahkan diperas. Hal inilah yang menurut Prof. Dr. Hembing Wijayakusuma sebagai bom waktu yang kemudian meledak pada pemberontakan tahun 1740. Sejalan dengan itu, J. T. Vermeulen menyebutkan bahwa tragedi tahun 1740 bukan hanya melibatkan orang-perorangan, melainkan terdapat lembaga-lembaga lain yang terlibat.
Ledakan jumlah populasi Cina di Batavia yang sebelumnya berjumlah 7.550 jiwa tahun 1719 menjadi 10.574 pada tahun 1739, disinyalir menjadi penyebab tidak amannya situasi di Batavia. Padahal dinegeri asal mereka, dalam kurun waktu antara 1736 hingga 1796 sedang mengalami masa keemasan pemerintah Qianlong yang berhasil meningkatkan jumlah penduduk, pertumbuhan perekonomian, dan memperluas wilayah Cina. Dari jumlah populasi tersebut, hampir setengahnya merupakan orang-orang Cina yang tidak memiliki pekerjaan. Ketika Adriaan Valckenier menjabat Gubernur Jendral pada tahun 1737, situasi tersebut bertambah pelik. Perdagangan opium yang dilegalkan oleh pemerintah membuat banyak orang Cina dan pribumi menjadi penghisap opium yang secara langsung memnyebabkan mereka hidup bermalas-malasan. Hal tersebut berdampak langsung pada meningkatnya jumlah kriminalitas di Batavia. Namun disisi lain, pemerintah menerapkan pajak per kepala yang sangat tinggi sehingga mereka semakin terjepit secara ekonomi. Dalam penerapan pajak, mereka lebih tinggi dari pajak yang diterapkan pada pribumi, sementara dihadapan hukum mereka sama seperti orang-orang pribumi. Ketidakadilan ini berlangsung secara terus menerus.
Sementara itu, pemerintah Belanda mengalami penurunan secara ekonomi yang disinyalir karena tindakan korupsi pegawai-pegawai pemerintah. VOC yang sebelumnya selalu menjadi pesaing bagi EIC, saat itu mengalami kemunduran. Kota-kota yang menjadi basis penghasil pundi-pundi uang bagi VOC tidak masuk dalam tiga besar kota di Asia yang mengalami kemajuan ekonomi yang pesat. Untuk menangani hal tersebut, pemerintah menerapkan pajak yang tinggi, baik bagi orang yang berpenghasilan ataupun tidak sekaligus mengirimkan van Imhoff ke Batavia. Suasana Batavia pun semakin mencekam dengan terjadinya perampokan, penjarahan dan pemerkosaan. Pemerintah pun berkesimpulan bahwa yang melakukan tindakan tersebut adalah orang-orang Cina.
Selain itu, dalam kurun waktu antara 1737 hingga 1740, banyak desas desus berkembang yang intinya mengadu-domba antara orang-orang pribumi dan orang-orang Cina. Hal tersebut membawa dampak pada terjadinya kecemburuan sosial yang tidak jarang berujung konflik fisik. Pemerintah pun seringkali menganggap bahwa kapitan Cina tidak mampu bekerja dengan baik. Pengangguran pun semakin meningkat di Batavia ditambah lagi merosotnya ekonomi orang-orang Cina.
Apabila menyimak dari sudut orang-orang Cina, mereka cukup sabar dalam menghadapi tindakan sewenang-wenang pemerinta VOC. Mereka berharap tindakan yang mereka lakukan dalam upaya merespon perlakuan pemerintah dapat merubah apa yang terjadi. Namun, apa yang mereka harapkan tidak menjadi kenyataan. Penangkapan-penangkapan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap orang-orang Cina untuk menjadikan mereka sebagai budak, penarikan pajak yang tinggi, pemerasan, penganiayaan, bahkan pembunuhan yang dilakukan oleh pemerintah VOC cukup membuat orang-orang Cina di Batavia merasa perlu untuk melakukan pemberontakan. Puncaknya adalah penangkapan besar-besaran yang dilakukan mulai dari Bekasi hingga Tanjung Priok ketika perayaan imlek yang menyulut kemarahan orang-orang Cina.
Gubernur Jendral Valckenier bahkan memerintahkan langsung untuk melakukan pembersihan terhadap orang-orang Cina setelah menerima surat dari de Roy tertanggal 4 Februari 1740. Selain itu, Valckenier pun memerintahkan van Imhoff untuk melakukan pembersihan terhadap orang-orang Cina. Inilah nantinya yang membuat Valckenier dan van Imhoff saling menuduh dalam hal siapa yang seharusnya bertanggung jawab dalam pemberontakan yang pada akhirnya menyebabkan Valckenier harus menyerahkan kekuasaan pada van Imhoff dan dihukum hingga meninggal dunia.
Pembersihan terhadap orang-orang Cina tersebut disertai dengan perampasan harta benda, penangkapan, penganiayaan, pembakaran, dan pembunuhan dengan kedok pelaksanaan resolusi 25 Juli 1740. Selain itu, pemerintah merasa takut apabila kejadian pemberontakan Pieter Erberveld pada tahun 1722 terlang kembali. Dengan mengkambinghitamkan Kapiten Cina, yaitu Nie Hoe Kong, pemerintah melakukan tindakan diluar perikemanusiaan hingga akhirnya pada tanggal 12 Oktober 1740 banyak mayat yang ditemukan di Kali Angke. Nama Angke (Ang berarti merah dan Ke berarti kali) sendiri digunakan untuk mengabadikan peristiwa berdarah tersebut.
Berbicara mengenai suatu peristiwa, pasti disertai dengan dampak yang ditimbulkan. Pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang Cina di Batavia yang seyogyanya adalah upaya untuk melindungi diri mereka justru membuat mereka tersisih. Pemerintah yang awalnya mengizinkan mereka tinggal didalam tembok kota Batavia harus rela keluar dari kota Batavia dan menetap di daerah yang sekarang bernama Glodok. Selain itu, jumlah mereka pun menurun drastis karena orang-orang Cina banyak yang meninggal pada peristiwa berdarah tahun 1740.
Sejak peristiwa berdarah tersebut praktis kondisi perekonomian di Batavia porak poranda. Keadaan tersebut dikarenakan orang-orang Cina yang pada masa sebelumnya merupakan tulang punggung perekonomian di Batavia. Keberadaannya secara tidak langsung turut mensejahterakan keuangan VOC. Namun setelah pemberontakan dan aksi pembersihan terhadap orang-orang Cina, VOC baru merasakan arti penting keberadaan orang-orang Cina di Batavia. Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, VOC memberikan pengampunan pada orang-orang Cina yang tersisa (berjumlah 3.431 jiwa), permasalahan perizinan dicabut, dan mengalokasikan mereka ke tempat yang bernama Diestpoort (Glodok).
Setelah pemberontakan tersebut, pada tahun 1741, Hereen XVII memutuskan Valckenier dinyatakan bersalah dan dihukum hingga akhirnya meninggal pada 20 Juni 1751, tepat 1 tahun setelah masa jabatan van Imhoff berakhir. Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur Jendral, van Imhoff ditunjuk dengan misi mengembalikan kondisi perekonomian yang telah porak poranda. Van Imhoff yang ikut dalam operasi pembersihan terhadap orang-orang Cina di Batavia berbalik 180 derajat menjadi lebih memperhatikan kondisi orang-orang Cina. Sebaliknya, orang-orang Cina yang tersisa pun berusaha membangun kembali perekonomian dan menata ulang kehidupan mereka. Dalam setiap tindakannya, mereka lebih berhati-hati agar peristiwa memilukan tahun 1740 tidak terulang kembali.
Dalam hal tempat tinggal, orang-orang Cina diberikan tempat di Diestpoort di luar tembok kota Batavia. Namun, kemudian van Imhoff memberikan kebebasan pada mereka untuk tinggal ditempat-tempat lain, salah satunya adalah di Pecinan. Usaha yang dilakukan oleh orang-orang Cina pasca pemberontakan untuk mempertahankan eksistensinya pun cukup beragam. Beberapa diantara mereka ada yang menjadi petani, budak, tukang kayu ataupun pegawai pemerintah, namun tidak sedikit yang menjadi pedagang hingga menjadikan kawasan Dietspoort sebagai tempat perniagaan. Usaha yang dilakukan tersebut lambat laun membuat kondisi ekonomi mereka perlahan mulai membaik walaupun tidak secemerlang seperti awal-awal abad 17.
Hembing Wijayakusuma, Pembantaian Massal 1740; Tragedi Berdarah Angke, Penerbit Pustaka Populer Obor, Jakarta, 2005, hlm. 10.
Hembing Wijayakusuma, Pembantaian Massal 1740; Tragedi Berdarah Angke, Penerbit Pustaka Populer Obor, Jakarta, 2005, hlm. 118.
Hembing Wijayakusuma, Pembantaian Massal 1740; Tragedi Berdarah Angke, Penerbit Pustaka Populer Obor, Jakarta, 2005, hlm. 121.
E.Penutup
Berawaldenganpemilihansumber yang terkesananehbagikebiasaansejarawan, Leonard Blussemenampilkancatatanharianserdadu VOC, buku diary seorangperempuan yang tersisihkan,danarsipgerejasebagaisumberpenulisannya.DengansumberituBlussedapatmenuliskansebagiankisah di Batavia sekitarabad XVII.Sumber yang terkesan non-penguasaini, membukasisi lain kehidupan VOC di negerijajahannya, Batavia.
Dalambukuini, Blussemenunjukanpadapembacauntukmelihatsumber yang tidakdipublikasikankolonial.Bagisejarawan Indonesia, arsipgerejainitidakpernah di jamahsamasekali, padahalarsipinimemuatrekamjejaksosial-politikjaman VOC.
PenulisanBlusseiniseolah-olahhadiahbesarbagipenjelasansejarahrelasisocialberbagaikelompok di HindiaBelanda, terutama Batavia.
Denganmenggunakanperspektifhumanisme, BlussemencobamenampilkansisigelapkehidupanKolonial VOC. Tulisannyainimengulaskorbanperempuandananak-anak yang hidup di Batavia secarakritisdantajam.Perbudakanperempuan China, penindasankaumperempuan Batavia, danposisirendahkaumperempuanBelandaadalahsisigelap VOC yang kurangtergarapdantersentuhdalamkajiansejarahkolonial.
Padaperiodeitu, Batavia biasdikatakansurganyaperempuan yang datingdariberbagaipenjuru Eropa, China, bahkanwilayahHindiaBelanda.Banyakdariperempuantersebutdijadikanistriolehkompeniselamamenjalankanpekerjaannya di HindiaBelanda.Disaatkompenihabismasakontrak, perempuan yang dijadikanistriiniditinggal.Tidakjarangperempuan-perempuaninimenjadigelandangan, bahkanmemilikianaktanpabapak.
Secaraluas, Blussemencobamemaparkankedudukanperempuan Batavia di matakolonial.Disampingitu, bukuinijugamencobamemahamiperempuan yang bergerakmelawansystemkolonial yang tiran. Sistem yang dimaksud, berupayamembodohiperempuan agar mengikutikehendakkompenidengankedokotoritasgereja.Kompenimemanfaatkansystemreligi yang adahanyadagelanmereka agar dianggapsahmenyetubuhiperempuandanpergiseenaknya.Bertubi-tubiBlussemenuliskanrekamjejakhitam yang terjadi di Batavia danmembukacakrawalapikiranbahwacolonialmencobamemperkosanalarjuganasibperempuanlewatsuatusistem.Hal iniberulang, perempuantetapsajadicampakanapabilasuaminyaselesaikontrakkerjadanbalikkenegaranya.
Selanjutnya, bukuinimenampilkankisahperempuan yang melawankekuasaantirankolonial, salahsatunyaada di babpertengahan. Perempuan yang digambarkaninibernama Cornelia yang menggugatsalahsatuanggotaMahkamahPengadilan di HindiaBelanda, John Bitter (suaminya).Aksikerasperjuangan Cornelia van Nijenroodehingga di tingkatpengadilanmerupakanaksiperlawanantiranidomesticdanketidakberdayaanperempuanHindiaBelandaterhadapsystempolitik yang dibangunolehPemerintahHindiaBelanda. HukumBelandaabad ke-17 berbicarakedudukanyuridiswanita yang bersuami, praktistidakada: de vrouw is onbekwaam. Artinya, wanita yang telahmenikahtidakpunyawewenanghokumterikatpadasuatuperjanjian.Jadi, harta yang dikumpulkandengankeringatnyasendiriakandimilikiolehsuami, iasendiritakberhakatashartaitu (hal 365).
Ulasanlaindaribukuinidenganmenelitikompleksitaspolitikdanekonomi yang komprehensif. Bukuiniberupayamengangkatkorban-korbanpergolakanitukewilayahlebihluas.Suara-suaraparakorbaninidijadikansebagaisumberutamadanactorterpentingdalampenulisan.Terdapatcontohkasuslain yang terdapatbukuinidankorbannya orang China di Batavia. Blussemencobamenguraikedudukan orang China ketikadibawahkekuasaan VOC.
BerawaldaripengusiranrakyatpribumikeBanten,VOCmenjadikan Batavia sebagaikawasan yang terlindungiuntukkepentingankompenidanmenarikpedagangantarpulau. Dengandatangnyaparapedagangdaripenjuruwilayah, orang China mendapatposisispecialbagi VOC. Hal initidakterlepasdarikarakterulet orang China danmasuknya China padajaringanperdaganganbaikitupulauataupunantarpulau. Dampaknya, China mampumendatangkanbukanhanyapedagang, akantetapipenggaraptanah yang nantinyaakanjadituantanah.
Padamasaawal di Batavia, hubungan VOC-China sangatlahmesra, haliniterlihatdarisalingmembantudiantarakeduanyaketikaperangmelawanrakyatpedalamanJawa.Selainitu, merekabekerjasamadisaatkeduanyaadakepentingan di Banten. Makasetelahnyadibentuksuatusystemkepemerintahanbaikitupolitikatauhukum yang lebihrapioleh VOC danmenguntungkankeduapihak.Pada Bab III danbab IV, Blussemengkajijaringanperdagangan Eropadanperdagngan China initerjalindandapatmemainkanfungsi-fungsinya. Hal initerlihatdenganadanyauangtimah, yang menandakanbahwamerekapernahbekerjasama di Jawa. Dan dariberbagaihaldiatas, tidakdapatditolakbahwa orang China memilikiposisiberbedapadastrukturmayarakat Batavia dibawah VOC.
PembahasandalambukuinibertambahbriliandannyelenehketikaBlussemampumengobrak-abrikhubungan VOC dan China yang jarangsekaliterungkitpadacatatan lain. Bluseemenjelaskankolonisasiantara VOC-China iniberujungkegagalandanBlussemelakukanpendekatannyamelalui data statistickependudukanpadasaatitu, karenapadaperiodeitusudahadapendataanpenduduk yang hilirmudik di Batavia.
Bermuladarisystempolitik VOC yang mengelompokanpemukimanpendudukkarenamajemuknya Batavia mendapatkegagalan.Reproduksi yang terjadidipemukiman VOC atausesama orang Eropatidakberjalandenganlancar.Sebagaigantinya, VOC melakukanhal yang samasepertihalnya Portugiskawindenganpribumi. Akan tetapi VOC tidakterlalubanyakmemilihpribumi, tapilebihbanyakmemilih partner dagangnya, China.Kolonisasidalambentuklainitu pun terhambat di tengahjalanolehkarenamunculeksespergundikan yang mengancampertambahanketurunan. Kolonisasimacamini pun hanyamenghasilkan data statisticbayi yang meninggalkarenakeguguran.Makadalamhalini VOC menggunakangerejasebagaialatuntukmendisiplinkanperempuan-perempuanitu.Caranyadenganmenikahkanmerekasecaragerejawidanmembaptisanak-anak yang berayah Kristen.Dan padabagianini, Blussemenamainyadenganpersekutuananeh.Kolonisasi VOC dengan China di Batavia inimerupakanpersekutuananeh yang benar-benaraneh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H